Mohon tunggu...
Mahbubah mahmud
Mahbubah mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Petualang literasi

Seseorang yang ingin terus belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Luruh

30 September 2020   10:17 Diperbarui: 30 September 2020   10:25 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Mahbubah Mahmud

 "Bunda, Bund," panggilnya di depan pintu. Lagi, dia mengetuk pintu. Lalu berputar membelakangi. 

Aku hanya mengintip dari jendela kamar. Kubuat seolah-olah rumah ini kosong, penghuninya sedang pergi. Seluruh ruangan segaja kumatikan lampunya. Hanya menyisakan teras dan halaman. 

Aku masih menahan isak. Masih tak bisa menjelaskan padanya tentang alasan keputusanku tak lagi mau menemui. Hp kumatikan. Khawatir dia menelpon dan mendengar nada dering dari dalam. Demikian juga dengan AC. 

Kulihat dia melangkah ke luar halaman. Menstarter sepeda motor bututnya. Mungkin dia putus asa, dikira aku benar-benar tak ada di rumah. 

*** 

Tiga tahun lalu. Aku kalang kabut mencari dompet. Kutumpahkan seluruh isi tas. Benda itu tak juga kutemukan. Padahal di dalamnya terdapat kartu ATM, SIM, KTP, dan lima kartu lain yang semuanya penting. 

Kuingat-ingat lagi tadi jalan lewat mana dan mampir ke mana saja. Tiba-tiba kepalaku berdenyut. Pusing memikirkan ke mana dompet itu perginya. Semakin dipikir semakin buntu. 

"Assalamualaikum." Terdengar seseorang mengucap salam di luar. 

Tanpa mengeraskan suara kujawab salamnya. Kepalaku masih berdenyut. Setengah limbung aku berjalan membuka pintu. Berdiri di hadapan, seorang anak laki-laki muda  dengan senyum menyungging di bibir. 

Seperti dejavu, sekilas seperti pernah bertemu dengannya, tapi di mana? 

"Siapa?" tanyaku. 

"Maaf, ini rumah Bu Retno Wilujeng?" 

"Iya, saya sendiri. Ada perlu apa ya, Dik?" Dia mengeluarkan sebuah dompet hitam dari dalam tas coklat selempangnya. 

"Ini dompet Ibu, saya temukan tergeletak di jalan Ubi." Seketika mataku terbelalak saking gembiranya. 

Ingin rasanya kupeluk erat ia. Namun urung. Aku tidak mengenalnya. 

*** 

Dua minggu berlalu. Kuminta dia datang ke sebuah kafe melalui pesan WA. Kami bertemu. Aku ingin mentraktir dan mengenal lebih jauh dalam suasana santai. Sebagai balas budiku. 

Kopi hitam Arabica dan roti bakar madu menjadi pilihannya. Aku sendiri memesan Lechee tea dan Samosa. 

Sebuah mata bening dengan alis tebal, wajah bulat dan bersih, membuatnya terlihat menarik. Ada rasa nyaman menatapnya. Aku tersenyum sinis. Dua puluh tahun aku dalam kesunyian. 

Duniaku terhenti sejak saat itu. Baru sekarang aku kembali memerhatikan wajah seorang pria. Sepertinya ini konyol. Kupikir hal ini hanyalah sebuah kekaguman biasa, karena kebetulan dia mempunyai wajah yang enak dilihat. Tidak mungkin akan terjadi sesuatu yang lebih. Apa lagi jika harus dihubung-hubungkan dengan rasa. 

Kami berbicara banyak hari itu. Namanya Anugrah. Dia memperkenalkan diri waktu di rumahku. Sebuah nama yang indah. Aku melihat caranya makan roti bakar, menyesap kopi arabica dengan matanya yang terpejam. Semuanya seolah menyihirku. Aku mulai terhipnotis. 

Sejumput rasa menelusup di dada, seperti sebuah biola yang digesek, menimbulkan melodi indah. Senja mulai turun. Kami berpisah sampai di pintu kafe. Kuingin dia bermain ke rumah sesekali waktu. Anugrah mengambil tanganku dan menciumnya. Tak ada yang aneh, usianya lebih muda dua puluh tahun dariku. Semuanya tampak wajar, seorang anak sedang salim pada ibunya. 

*** 

Malam itu ia datang, ditemani cahaya rembulan yang sempurna dan gemintang memesona. Aku mengajakya keluar. Sekadar jalan-jalan mengusir penat karena kerja seharian. Binar bahagia memancar dari bola matanya. 

Di bawah temaram lampu kota aku duduk di boncengannya dengan memakai motorku. 

"Pegangan, Bund. Biar nggak jatuh," pintanya sambil mencoba menggapai tanganku. 

Aku melingkarkan tangan di perutnya dengan dada berdesir. Terasa menyenangkan. Di saat yang sama sekelabat bayang menyedihkan di masa silam singgah. Seperti dejavu. Aku segera mengenyahkan. 

"Kita ke mana, Bund?" Suaranya memecah lamunanku. 

"Terserah kamu aja. Bunda lama gak keluar malam. Gak ngerti tempat asyik buat nongkrong." 

"Jadi terserah Nunu, nih?"

 "Hu'um. Biar ngerti tempat nongkrongnya anak muda," jawabku sedikit berkelakar. 

Motor kami melaju membelah jalanan kota yang masih terlihat geliatnya. Lalu berbelok menuju arah alun-alun. Anugrah memelankan lajunya, kemudian menepi. Aku turun. Dia memarkir sepeda di parkiran selatan. Cukup dekat dengan pintu masuk. 

Banyak sekali pedagang dan penjual jasa main untuk anak-anak. Kami berjalan beriringan layaknya ibu dan anak bujangnya. Tempat ini cukup ramai menurut ukuranku yang asosial. Aku lebih sering sendiri. Menyendiri tepatnya. Luka di masa lalu terhadap seorang lelaki membuat sebuah lubang menganga di dalam sini. 

Malu dan sakit hati telah dicampakkan dan dikhianati. Membuat aku memenjara diri dari hubungan dengan dunia luar, terutama laki-laki. 

Kehadiran Anugrah benar-benar merupakan anugerah buatku. Dua puluh tahun. Harus selama itukah hatiku menghapus luka? 

Di sebuah kursi taman yang terbuat dari besi, dia duduk, dan memberi ruang padaku untuk duduk di sebelahnya. Menghadap jalanan yang masih ramai. Diterangi lampu kota temaram. Seorang penjual minuman datang menawarkan dagangan. Dia memesan kopi instan. Cekatan penjual itu menyeduh di cup kertas. 

"Bunda minum apa?" tawarnya padaku. 

"Milo hangat," jawabku tanpa menolehnya. Aku masih asyik dengan cara kerja tukang kopi. Anugrah lebih dulu menerima cup kopinya, kemudian aku. Sejenak kami sama terdiam. Menikmati minuman hangat di genggaman masing-masing. 

Diam-diam aku memerhatikan. Rambut ikalnya tertiup angin malam. Rahangnya kokoh, bahunya bidang dan tegap. Matanya teduh. Kembali dada ini berdesir lembut.  Ada yang berdegup. Tak kuduga dia menoleh, mata teduhnya menatapku, lalu tersenyum lembut. Aku gelagapan dan berusaha mengalihkan pandangan. 

Dia menyentuh jemari kiriku yang tidak memegang cup Milo. Menggenggamnya dan mengelus pelan, kemudian melepasnya. Hatiku semakin tak karuan. 

"Bunda, boleh saya bertanya?" Tanyanya. Aku menoleh. 

"Ya. Tentu saja boleh," jawabku gugup. 

"Kenapa, Bunda tidak menikah?" Ya, beberaoa kali bertemu aku dan Anugrah pernah membicarakan statusku, karena dia tak pernah melihat siapa pun di dekatku baik saat di rumah maupun di luar. 

Entah laki-laki atau perempuan. Aku memang hidup sendiri di kota ini. Demi menyembuhkan luka yang teramat dalam di masa lalu. Dan aku juga belum menikah. Selalu menghindar saat ada yang berusaha dekat maupun menjodohkan dengan siapa saja. Baik itu teman kantor ataupun kerabat. 

Hatiku terkunci rapat. 

"Hmm, kalau Bunda keberatan, tidak usah dijawab dulu," Anugrah tampak merasa bersalah melihat ekspresi wajahku yang mendadak murung teringat masa silam. 

"Oh enggak. Gak papa kok," jawabku turut serba salah. 

Dia masih menatapku. Kali ini tangannya mengambil cup kertas di tanganku dan meletakkannya di bangku beton pembatas pot bunga taman. Lalu jemari tanganku digenggamnya erat. 

Dia menunggu jawabanku. "Masih belum ada yang menggerakkan hatiku." 

Aku menunduk. Merasa malu membalas tatapannya, dan yang lebih membuatku tak nyaman adalah detak jantung yang semakin tak karuan. Daun-daun pohon Tabebuya luruh tertiup angin. Bunganya jatuh di kursi yang kami duduki. Wajahku yang panas terasa sejuk diterpa angin malam. Aku menarik tangan perlahan. 

Pukul sepuluh malam dia bangkit, membuang sampah cup ke tempat sampah dan mengulurkan tangan mengajakku pulang. 

Sesampai di rumah  Anugrah memasukkan motorku ke garasi. Setelah itu dia mengambil motor bututnya yang ia parkir di bawah pohon jambu. 

Dia berpamitan. Mengambil tangan dan menciumnya pelan. Kali ini agak lama. Satu tangannya ikut menggenggam. 

"Nunu pulang Bunda, selamat beristirahat." 

"Terima kasih sudah mau menemani bunda. Hati-hati di jalan," jawabku seraya menarik tangan. Namun hatiku enggan melepasnya. 

Dia mundur selangkah. Lalu mengucap lagi sebelum pergi. "Nunu sayang Bunda." 

Aku menutup pintu. Menata hati dan pikiran. Haruskah aku jatuh cinta pada laki-laki yang lebih pantas menjadi anakku? 

*** 

Setelah hari itu hubunganku dan Anugrah semakin dekat. Aku membantunya mencari beasiswa di Universitas. Tiga tahun hubungan kami berjalan baik. 

Aku semakin menyayanginya demikian juga dia terhadapku. Cinta membuat segala keindahan berkelindan. Tanpa memandang usia yang terpaut delapan belas tahun. Kesibukannya mengajar dan menulis lepas di beberapa media online membuatku selalu menunda pertemuan dengan keluarganya. Padahal aku ingin sekali bertemu dan mengenal lebih dekat. Meski kutahu, hubungan kami akan banyak mendapat tentangan. 

Disamping sibuk, aku juga harus menyiapkan diri dan mental untuk menerima hal terburuk. Penolakan misalnya. Aku belum siap. 

Hari itu Anugrah telah menyelesaikan pendidikan diplomanya. Aku diminta hadir di acara wisuda. Aku hadir, tetapi tidak ikut masuk ke dalam gedung di mana prosesi dilakukan. Kukirim pesan lewat HP bahwa aku menunggu di belakang. Belum siap bertemu dengan keluarganya. 

Beberapa jam sudah berlalu. Satu-persatu para undangan keluar gedung aula. Aku masih menunggu hingga hampir semua orang pulang. Tempat acara mulai sepi. Kulihat seorang wisudawan keluar masih memakai ... lengkap dengan toga. Di sampingnya berjalan seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahunan yang tidak asing bagiku. Dia menatapku sejenak lalu menyalamiku. Matanya berkaca-kaca. Aku mulai setengah sadar apa yang terjadi. Dia juga. Mendadak perempuan itu menubrukku. Memeluk erat sambil menangis. 

*** 

Cerita dua puluh tiga tahun lalu bergulir. Saat itu aku masih sekolah SMA. Di usia yang masih labil aku berpacaran dengan kakak kelas bernama Reno. Sebenarnya aku anak baik, ceria, dan rajin. Sayangnya Reno telah mengubah semuanya. Suatu hari ia mengajakku ke rumahnya. Katanya mau dikenalkan dengan kedua orang-tuanya. 

Setiba di sana, rumah sepi. Awalnya kita hanya ngobrol. Aku bertanya mengapa sepi? Ke mana Mama dan Papa? Dia mengajakku ke kamar. Dalihnya di sana ada Mamanya yang ingin bertemu. Tak disangka, dia mengunci kamar dan melakukan pemaksaan hubungan terlarang. 

Sepulang dari rumah Reno aku gemetar. Bermacam-macam pikiran berkecamuk. Antara benci, malu, takut, dan jijik pada diri sendiri. Sedangkan Reno sudah tak lagi peduli. Dia pergi ke lain hati seolah tak pernah terjadi apa-apa denganku. 

Kesedihan itu bertambah saat sebulan kemudian aku tidak haid.ya, aku hamil. Lima bulan aku menyembunyikan hal ini pada Ayah dan Ibu. Aku begitu takut. Bermacam-macam obat kutelan untuk mengugurkan kandungan tapi tidak berhasil. 

Bulan keenam Ibu mengetahui karena melihat pembalut yang dibelikan setiap bulan menumpuk di rak. Juga melihat perubahan tubuhku yang tidak seperti biasa. Aku ditanya apa yang terjadi. 

Aku menceritakan semua. Bahwa aku diperkosa oleh pacar sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu juga Ibu. Sama sekali tak menyangka bahwa ini terjadi pada putrinya yang selama ini dianggap penurut, pandai, dan baik. Akhirnya dicarilah jalan keluar. 

Setelah tahun ajaran baru aku diungsikan ke rumah Mbak Ijah pembantu di rumah Ibu. Aku melahirkan di sana. Namun, musibah datang. Sehari paskah melahirkan aku mengalami depresi. Istilah jaman sekarang disebut babyblues. 

Aku jijik melihat bayiku. Tidak mau menyusui, tidak mau melihat, dan selalu ingin membunuhnya. Melihat kondisiku seperti itu, Ayah dan Ibu segera membawaku ke rumah kembali. Sedangkan bayiku tetap di desa bersama Mbak Ijah. 

Mbak Ijah sangat senang dengan bayiku. Dia minta ijin untuk mengadopsi. Sedangkan aku sudah tak ingin melihatnya sama sekali. Sebab dia adalah luka yang digoreskan oleh seorang yang sangat kubenci. Ayah dan Ibu setuju. Mbak Ijah sudah tidak lagi bekerja di rumah kami, tetapi kiriman uang dan segala kebutuhan bayiku tetap dipenuhi orang tuaku. 

Aku kembali bersekolah. Reno sudah lulus dan tak tampak batang hidungnya lagi. Semua berjalan normal. Hanya satu yang belum sembuh, aku tak bisa melihat bayi. Selalu ketakutan dan ingin pergi. Hal yang sama terjadi jika ada laki-laki yang ingin mendekati dan ingin mengutarakan perasaan. 

Trauma itu tiba-tiba hadir lagi dan itu membuatku terguncang. Akhirnya aku memilih pergi dari kotaku dan mencari pekerjaan sesuai bidang. Berharap tak ada tetangga atau kerabat yang bertanya kapan aku menikah. Di kota ini aku tak mengenal siapa-siapa. 

Tak disangka, saat aku sudah bisa berdamai dengan keadaan, kami dipertemukan. Esoknya setelah kami bertemu di acara wisuda Anugrah, Mbak Ijah bercerita bahwa rumahnya yang di desa diminta kembali oleh suaminya karena sudah bercerai. 

Dia membawa Anugrah pergi ke kota Surabaya untuk mencari kerja dan sekarang sedang mengontrak di Bendul Merisi. Mbak ijah membuka warkop kecil-kecilan. 

Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu wanita perawakan sedang itu ingin mencariku sekadar melepas rindu dan bertukar kabar. Namun, ia belum berhasil menemukanku terkendala waktu. Sekarang semua terkuak sudah. 

Anugrah putraku. Dia yang kubuang jauh agar tak mengingatkan pada peristiwa pahit itu. Luruh rasanya hatiku. Bagai dihujani ribuan batu.

Proling 30 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun