Sejumput rasa menelusup di dada, seperti sebuah biola yang digesek, menimbulkan melodi indah. Senja mulai turun. Kami berpisah sampai di pintu kafe. Kuingin dia bermain ke rumah sesekali waktu. Anugrah mengambil tanganku dan menciumnya. Tak ada yang aneh, usianya lebih muda dua puluh tahun dariku. Semuanya tampak wajar, seorang anak sedang salim pada ibunya.Â
***Â
Malam itu ia datang, ditemani cahaya rembulan yang sempurna dan gemintang memesona. Aku mengajakya keluar. Sekadar jalan-jalan mengusir penat karena kerja seharian. Binar bahagia memancar dari bola matanya.Â
Di bawah temaram lampu kota aku duduk di boncengannya dengan memakai motorku.Â
"Pegangan, Bund. Biar nggak jatuh," pintanya sambil mencoba menggapai tanganku.Â
Aku melingkarkan tangan di perutnya dengan dada berdesir. Terasa menyenangkan. Di saat yang sama sekelabat bayang menyedihkan di masa silam singgah. Seperti dejavu. Aku segera mengenyahkan.Â
"Kita ke mana, Bund?" Suaranya memecah lamunanku.Â
"Terserah kamu aja. Bunda lama gak keluar malam. Gak ngerti tempat asyik buat nongkrong."Â
"Jadi terserah Nunu, nih?"
 "Hu'um. Biar ngerti tempat nongkrongnya anak muda," jawabku sedikit berkelakar.Â
Motor kami melaju membelah jalanan kota yang masih terlihat geliatnya. Lalu berbelok menuju arah alun-alun. Anugrah memelankan lajunya, kemudian menepi. Aku turun. Dia memarkir sepeda di parkiran selatan. Cukup dekat dengan pintu masuk.Â