Oleh Mahbubah Mahmud
 "Bunda, Bund," panggilnya di depan pintu. Lagi, dia mengetuk pintu. Lalu berputar membelakangi.Â
Aku hanya mengintip dari jendela kamar. Kubuat seolah-olah rumah ini kosong, penghuninya sedang pergi. Seluruh ruangan segaja kumatikan lampunya. Hanya menyisakan teras dan halaman.Â
Aku masih menahan isak. Masih tak bisa menjelaskan padanya tentang alasan keputusanku tak lagi mau menemui. Hp kumatikan. Khawatir dia menelpon dan mendengar nada dering dari dalam. Demikian juga dengan AC.Â
Kulihat dia melangkah ke luar halaman. Menstarter sepeda motor bututnya. Mungkin dia putus asa, dikira aku benar-benar tak ada di rumah.Â
***Â
Tiga tahun lalu. Aku kalang kabut mencari dompet. Kutumpahkan seluruh isi tas. Benda itu tak juga kutemukan. Padahal di dalamnya terdapat kartu ATM, SIM, KTP, dan lima kartu lain yang semuanya penting.Â
Kuingat-ingat lagi tadi jalan lewat mana dan mampir ke mana saja. Tiba-tiba kepalaku berdenyut. Pusing memikirkan ke mana dompet itu perginya. Semakin dipikir semakin buntu.Â
"Assalamualaikum." Terdengar seseorang mengucap salam di luar.Â
Tanpa mengeraskan suara kujawab salamnya. Kepalaku masih berdenyut. Setengah limbung aku berjalan membuka pintu. Berdiri di hadapan, seorang anak laki-laki muda  dengan senyum menyungging di bibir.Â
Seperti dejavu, sekilas seperti pernah bertemu dengannya, tapi di mana?Â
