Mohon tunggu...
Mutia Masugi
Mutia Masugi Mohon Tunggu... Administrasi - Story Teller Relief Candi Borobudur dan penulis buku dongeng anak Pangeran Sudhana dan 17 Kisah Lainnya berbasis seni membaca Relief Candi Borobudur

Mudahnya berbagi lewat apa saja, termasuk berbagi kisah-kisah sederhana yang mampu membangun karakter.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salju Abadi

20 Agustus 2022   11:54 Diperbarui: 20 Agustus 2022   11:58 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PHOTO BY : PINTEREST

Burung yang terbang tinggi cemburu melihat gerak-gerik raja dan ratu negeri itu mudah tertebak. Selembar daun kering pun akan tahu jika mereka pergi atau sekadar bergerak dua inci. Setiap hari tawa renyah terdengar dari dalam rumah kayu beratap daun kering.

Kepulan asap dapur terlihat setiap pagi dari bagian belakang rumah. Kadang, suasana mendadak riuh ketika ratu sibuk menumbuk tanaman obat untuk raja yang sedang sakit kusta, tapi ulat malah asyik memakan sayuran miliknya. Pada sore hari, raja menatap rindu pada ratu yang pulang membawa sekeranjang sayur dan buah untuknya.

"Kau tidak menyesal hidup di hutan denganku, Sambula?" Untuk kesekian kalinya raja negeri Kasi bertanya. Ratu hanya menggeleng. Baginya pertemuan dan jatuh cinta teramat mahal untuk digadaikan dengan sakit atau kematian. Jika harus kehilangan suami, ia tentu tidak sudi jika hanya menjadi petapa abad itu.

Sudah menjadi rahasia umum, kejadian tidak terduga bisa saja menjadi kejutan yang harus siap diterima oleh semua penghuni istana. Kamar megah menjadi tempat siapa saja mati suri. Tidak terkecuali raja dan ratu sekalipun. Ketika mata terpejam, keduanya melihat padang ilalang hijau, lalu cahaya besar. Di saat cahaya itu hendak direngkuh, mereka justru terbangun di gubuk tempat pengasingan. Kusta dianggap penyakit para pendosa. Mereka yang terjangkit harus menyingkir jauh hingga kematian atau keajaiban datang. 

***

Barangkali segalanya akan tetap sama. Andai saja Sambula tidak pergi ke telaga.
Hari itu hutan diterpa gerimis selembut pasir gurun. Sambula meletakkan keranjang buahnya di tepian telaga. Meski udara sedang dingin, tubuhnya terasa gerah. Ia memutuskan untuk mandi sebentar di telaga.  Pohon besar tumbuh mendekati langit, rimbun hijau di kiri-kanan cukup melindunginya dari pandangan pemburu atau pengelana yang lewat sewaktu-waktu.

Ratu tidak menyadari bahwa dua bola mata besar sedang mengintipnya dengan birahi dari balik semak-semak. Air liurnya menetes, membuat kawanan semut serdadu tenggelam seketika. Burung liar bercicit memperingatkan, tapi ratu tidak mengerti bahasa mereka. Ia menggosok lengan dan pundak dengan gemulai. Ikatan rambutnya terlepas, setengah tubuhnya  terendam. Air telaga sebening kaca memantulkan kulitnya yang kuning cerah. Bertambah birahilah si raksasa. 

"Siapa kamu, wanita cantik?! Apa yang kau lakukan di hutan seorang diri?" Suara parau menggelegar, membuat Sambula tercekat.  Kawanan kelelawar yang menggantung di gua tepat di belakangnya, berhamburan keluar meski malam belum menjelang. Wanita pewaris tahta itu memberanikan diri melihat sumber suara. Sesosok raksasa bertaring tajam berdiri di hadapannya dengan wajah bengis. 

"A-aku," -ia menutup dada dengan dua telapak tangan dan ujung kain- "ratu kerajaan ini.  Enyah! Jangan menggangguku!"
"Apa yang kau lakukan di hutan seorang diri, wong ayu?"

"Aku sedang menjaga suamiku yang sakit."

"Oh ... kalian diasingkan? Menyedihkan sekali."

Sambula menahan hawa panas dan aroma bau dari dengus napas raksasa. "Jangan lancang! Enyah kau!"

"Wanita secantik dirimu, lebih baik menjadi istriku saja." Suara raksasa melunak. "Aku akan memberi semua yang kau mau. Untuk apa menyia-nyiakan hidup dengan laki-laki tidak berguna?" 

"Meski kau beri seisi dunia, aku tidak sudi!"

Raksasa murka. Kulitnya yang kehijauan menghitam seperti daun terbakar. Ia membuka mulut dan jari-jarinya lebar-lebar. Memperlihatkan taring dan kuku setajam belati.

"Kalau begitu, akan kulumat saja tubuhmu menjadi makananku!"

"Cabik-cabik dagingku jika kau mau! Lebih baik aku mati!" Jerit sang ratu menggetarkan tahta Raja Dewa. Seketika Sakra turun dari tahta sepesat bola cahaya. Menghantam, lalu mengikat raksasa  itu tanpa ampun, -"jika kau berani menyakiti wanita ini, kuremukkan kepalamu!" Raja Dewa melemparkannya jauh ke belahan bumi lain. 

Sambula menjatuhkan diri di tanah. Ia lega telah selamat. Kalimat penghiburan Raja Dewa dibungkus senyum mengantarnya pulang. Rupanya Sakra tak punya cukup banyak waktu untuk sekadar menjadi saksi mengapa Sambula pulang terlambat.

Sambula merasa sekujur tubuhnya berkeringat. Dingin udara senja yang merambat malam terasa menusuk kulitnya, membeku hingga ke tulang. Bukan karena ia memakai kain basah setengah badan. Tapi ketakutan, kekalutan, dan penyesalanlah yang membuat udara dingin itu hadir membungkusnya. Perlahan wanita itu mendekati suaminya yang memandanginya dengan tatapan curiga. Mencecarnya dengan banyak pertanyaan seperti seorang pesakitan.

"Mengapa kau pulang terlambat, Sambula?"

"Ketika aku mandi di telaga ... "

Raja menuding wajahnya. "Kau menghianatiku!"

Sekuat tenaga wanita itu membela diri dan bersumpah, suaminya tetap tidak percaya.

Wanita itu beringsut. Berjalan ke sudut ruang dengan kedua lututnya, menggeser tempayan berisi air, menaburkan bubuk herbal, mencelupkan kain, memeras, lalu membasuh luka Sotisena seperti biasanya.

"Aku bersumpah. Jika yang kukatakan adalah kebenaran, dewa akan membuat luka ini sembuh."

Seperti karat yang luruh oleh asam, luka di sekujur tubuh Raja Kasi sembuh seketika. Raja takjub, namun tetap curiga. Harum yang menguar dari tubuh wanita itu membuat dadanya terbakar api cemburu. Ia ingat pada pagi berembun yang damai. Ketika wanita yang dicintainya itu belum tergoda dan ternoda.

***

Satu demi satu selir memasuki pemandian. Memandangi ratu dengan tatapan sinis sambil berkisah tentang petualangan mereka di ranjang raja semalam. Buli-buli berisi air hangat dan sari kembang beserta kelopaknya tidak berhenti dituangkan hanya demi menjaga agar kulit mereka tidak beku dan berkerut karena dingin.

Ketiga dayang pendamping termenung. Sambula tahu, semua sulit berempati padanya. Kisah perzinahannya dengan pemburu atau pengelana hutan memang menarik untuk digunjingkan. Sambula tersenyum kecut. Menepuk kelopak bunga yang berenang ke arahnya, lalu pergi meninggalkan pemandian, sebelum pelayan selesai merapikan jubahnya.

Di sudut taman, isak tangisnya pecah. Beradu dengan gesekan daun jendela istana yang sengaja tidak ditutup hingga malam hari. Napasnya terputus-putus merapalkan kata penyesalan dan baru terhenti ketika ayah mertua yang telah lama menyepi menjadi petapa datang menemuinya.

Meski telah menjauh dari kehidupan duniawi, lelaki tua itu akan datang bahkan jika menatunya meminta bantuan di tengah malam karena tangannya berdarah terkena jarum. Sambula tidak bisa mengingat sejak kapan lelaki itu menjaganya seperti puteri kandung.

"Tiga ratus gajah dan ribuan pemanah melindungimu siang dan malam. Mengapa hatimu lara, puteriku?"

"Ayahanda, manusia yang paling aku rindu ada di hadapanku. Tapi aku tak bisa menyentuhnya. Baginya aku bukan istri yang setia. Tidakkah itu membuat gila? Di pengasingan, ada keindahan saat kami masih diizinkan menatap langit senja, untuk tertawa lepas, membelah sama banyak buah yang kami punya, mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi di atas tempat tidur jerami, aku merasakan hangat kulitnya lewat genggaman."

Suasana senyap untuk beberapa saat. Seorang pengawal mengikuti langkah raja. Sang petapa menunjuk lantai, memberi isyarat bahwa raja yang baru saja dibawa ke hadapannya bukanlah penguasa negeri itu, tetapi anak laki-lakinya.

"Apa yang kau kenakan, anakku?"

Sang raja merunduk, "Baju kebesaran, ayah."

"Lalu di baliknya?"

"Tubuhku."

"Bukalah. Lihat bekas luka di permukaan kulitnya, lalu pejamkan matamu. Apa yang kau ingat?"

"Aroma anyir, busuk, dan perih."

"Saat meninggalkan istana tanpa penghormatan, kau hanya sebentuk punggung di hadapan orang lain. Tidak satupun sudi meraih tangan atau melihat dadamu yang bidang. Hanya wanita ini yang berjalan dan hidup denganmu. Jika ia menginginkan orang lain, bukankah cukup mudah untuk menyingkirkanmu di dalam hutan? Wanita ini memiliki banyak pilihan, tetapi hatinya tetap jatuh padamu. Dirimulah penghianat sesungguhnya! Buang saja baju zirahmu! Tak pantas kau sandang gelar ksatria jika kau perlakukan wanita dengan tidak adil!"

Baling-baling raksasa seakan berputar di atas kepala dan telinga raja dan menghempaskannya ke masa lalu. Kulitnya terasa perih seperti terkelupas. Aroma anyir dan busuk berbaur harum tubuh Sambula. Rupanya, di tengah sesak karena sesal, Sabula tengah memeluknya.

 Petapa mendekat, menepuk pundak puteranya, "Seorang istri yang penuh kasih sayang sulit ditemukan, begitu juga dengan seorang suami yang baik kepada istrinya. Rajaku, anakku, setialah kepada Sambula." Selesai berucap, petapa meninggalkan keduanya. Raja terisak. Didekatkannya kepala Sambula di dadanya dengan penuh penyesalan. Perkataan ayahnya benar.

Semua orang berpandangan-pandangan, mencari sang juara. Sambula melangkah menuju podium, singgasana tertinggi kerajaan. Geraknya yang lamban menjadi lebih dahsyat dari semua kisah cinta yang pernah dibanggakan para selir di pemandian. Sebagai hadiah kisah cinta, ia pernah memilih pergi tanpa tahu kapan harus kembali. Sejenak raja teringat cawan arak yang berembun pada hari pernikahan mereka. Juga hamparan kain tebal tempat mereka berjalan dan kaki ratu yang dibiarkannya melangkah beberapa meter di depan. Memperlihatkan siluet punggungnya yang sempurna. 

Cinta mensyaratkan pengorbanan dan kesetiaan di luar batas kewajaran. Wanita berparas rembulan itu seperti salju abadi di gurun pasir, putih meski sendiri, dia ... berbeda. Dia Sambula.

---SELESAI---

*)Cerita ini ditulis ulang dari kisah yang terdapat pada Gugus Relief Avadana  Candi Borobudur panil nomor 61-63
Kepustakaan : Anandajoti Bhikku, Avadana, Tradisi Bodhisattwa, Ehipassiko Foundation, Jakarta, 2019.

Indonesia Tripitaka Center (I.T.C), Suttapitaka Kuddakankikaya Jataka Jilid #1 sampai dengan jilid #6
Diterjemahkan dari Bahasa Pali oleh Tim pemerjemah I.T.C., Medan, 2008-2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun