Mohon tunggu...
Mutia Masugi
Mutia Masugi Mohon Tunggu... Administrasi - Story Teller Relief Candi Borobudur dan penulis buku dongeng anak Pangeran Sudhana dan 17 Kisah Lainnya berbasis seni membaca Relief Candi Borobudur

Mudahnya berbagi lewat apa saja, termasuk berbagi kisah-kisah sederhana yang mampu membangun karakter.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salju Abadi

20 Agustus 2022   11:54 Diperbarui: 20 Agustus 2022   11:58 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PHOTO BY : PINTEREST

Suasana senyap untuk beberapa saat. Seorang pengawal mengikuti langkah raja. Sang petapa menunjuk lantai, memberi isyarat bahwa raja yang baru saja dibawa ke hadapannya bukanlah penguasa negeri itu, tetapi anak laki-lakinya.

"Apa yang kau kenakan, anakku?"

Sang raja merunduk, "Baju kebesaran, ayah."

"Lalu di baliknya?"

"Tubuhku."

"Bukalah. Lihat bekas luka di permukaan kulitnya, lalu pejamkan matamu. Apa yang kau ingat?"

"Aroma anyir, busuk, dan perih."

"Saat meninggalkan istana tanpa penghormatan, kau hanya sebentuk punggung di hadapan orang lain. Tidak satupun sudi meraih tangan atau melihat dadamu yang bidang. Hanya wanita ini yang berjalan dan hidup denganmu. Jika ia menginginkan orang lain, bukankah cukup mudah untuk menyingkirkanmu di dalam hutan? Wanita ini memiliki banyak pilihan, tetapi hatinya tetap jatuh padamu. Dirimulah penghianat sesungguhnya! Buang saja baju zirahmu! Tak pantas kau sandang gelar ksatria jika kau perlakukan wanita dengan tidak adil!"

Baling-baling raksasa seakan berputar di atas kepala dan telinga raja dan menghempaskannya ke masa lalu. Kulitnya terasa perih seperti terkelupas. Aroma anyir dan busuk berbaur harum tubuh Sambula. Rupanya, di tengah sesak karena sesal, Sabula tengah memeluknya.

 Petapa mendekat, menepuk pundak puteranya, "Seorang istri yang penuh kasih sayang sulit ditemukan, begitu juga dengan seorang suami yang baik kepada istrinya. Rajaku, anakku, setialah kepada Sambula." Selesai berucap, petapa meninggalkan keduanya. Raja terisak. Didekatkannya kepala Sambula di dadanya dengan penuh penyesalan. Perkataan ayahnya benar.

Semua orang berpandangan-pandangan, mencari sang juara. Sambula melangkah menuju podium, singgasana tertinggi kerajaan. Geraknya yang lamban menjadi lebih dahsyat dari semua kisah cinta yang pernah dibanggakan para selir di pemandian. Sebagai hadiah kisah cinta, ia pernah memilih pergi tanpa tahu kapan harus kembali. Sejenak raja teringat cawan arak yang berembun pada hari pernikahan mereka. Juga hamparan kain tebal tempat mereka berjalan dan kaki ratu yang dibiarkannya melangkah beberapa meter di depan. Memperlihatkan siluet punggungnya yang sempurna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun