Sambula menahan hawa panas dan aroma bau dari dengus napas raksasa. "Jangan lancang! Enyah kau!"
"Wanita secantik dirimu, lebih baik menjadi istriku saja." Suara raksasa melunak. "Aku akan memberi semua yang kau mau. Untuk apa menyia-nyiakan hidup dengan laki-laki tidak berguna?"Â
"Meski kau beri seisi dunia, aku tidak sudi!"
Raksasa murka. Kulitnya yang kehijauan menghitam seperti daun terbakar. Ia membuka mulut dan jari-jarinya lebar-lebar. Memperlihatkan taring dan kuku setajam belati.
"Kalau begitu, akan kulumat saja tubuhmu menjadi makananku!"
"Cabik-cabik dagingku jika kau mau! Lebih baik aku mati!" Jerit sang ratu menggetarkan tahta Raja Dewa. Seketika Sakra turun dari tahta sepesat bola cahaya. Menghantam, lalu mengikat raksasa  itu tanpa ampun, -"jika kau berani menyakiti wanita ini, kuremukkan kepalamu!" Raja Dewa melemparkannya jauh ke belahan bumi lain.Â
Sambula menjatuhkan diri di tanah. Ia lega telah selamat. Kalimat penghiburan Raja Dewa dibungkus senyum mengantarnya pulang. Rupanya Sakra tak punya cukup banyak waktu untuk sekadar menjadi saksi mengapa Sambula pulang terlambat.
Sambula merasa sekujur tubuhnya berkeringat. Dingin udara senja yang merambat malam terasa menusuk kulitnya, membeku hingga ke tulang. Bukan karena ia memakai kain basah setengah badan. Tapi ketakutan, kekalutan, dan penyesalanlah yang membuat udara dingin itu hadir membungkusnya. Perlahan wanita itu mendekati suaminya yang memandanginya dengan tatapan curiga. Mencecarnya dengan banyak pertanyaan seperti seorang pesakitan.
"Mengapa kau pulang terlambat, Sambula?"
"Ketika aku mandi di telaga ... "
Raja menuding wajahnya. "Kau menghianatiku!"