Di kontrakan sebelah, Bangor setiap malam merasa gelisah dan ketakutan. Nyaris setiap malam, ada saja kejadian yang membuatnya semakin ketakutan.
Seperti tadi malam, sekitar tengah malam, bau amis menyengat masuk ke kamar Bangor. Ia pun tidak bisa tidur. Sementara angin malam seakan mengetuk-ngetuk pintu depan rumah. Â Dalam keadaan ketakutan seperti itu, terdengar suara kaki menendang-nendang pintu kamar. Awalnya suaranya pelan. Lama-lama suara itu semakin keras semakin keras. Bukan lagi suara tendangan biasa tapi sudah suara dobrakan.
Dalam ketakutan Bangor melangkah mendekati pintu kamarnya.
"Siapa di luar?" suaranya membentak mengusir takut.
Tak ada jawaban. Suara gedoran itu semakin keras.
Bangor melangkah mendekat pintu dengan tubuh gemetar. Bentakan suaranya tak berhasil menghentikan tendangan di pintu kamarnya.
Ia semakin dekat dengan sumber suara. Tubuhnya semakin gemetar. Ia beranikan diri memutar anak kunci kamar itu. Dan.......sepasang kaki mulus tanpa tubuh sedang menendang-nendang pintu kamarnya. Kaki itu hanya sebatas pinggang. Darah merah segar menetes ke lantai yang berwarna putih. Ia sangat ketakutan. Dengan cepat ia menutup kembali pintu kamar itu.
Ia menyender di daun pintu kamar itu. Sementara tendangan kaki itu masih terus menggetarkan nyalinya.
Sepasang Kaki tanpa tubuh!.       Â
Mata Bangor menghadap ke jendela kamarnya. Angin kencang di luar terdengar menjerit. Jendela kamar terbuka sendiri. Angin menerobos masuk menyingkap gorden. Bersamaan dengan itu dua tangan halus dengan kuku-kuku panjang menyembul dari balik gorden. Ia seakan ingin menerkam leher laki-laki berwajah bulat itu. Seperti potongan kaki tadi, dua tangan ini pun tanpa tubuh. Ia hanya sampai bahu. Darah segar menetes dari bekas potongannya. Tangan itu bergerak dengan menjulur ke depan dengan jari-jari ditekuk. Ia melayang pelan tapi pasti menuju ke arah laki-laki itu. Laki-laki itu tentu sangat ketakutan. Ia terpojok. Ia sembunyi di bawah tempat tidur. Tangan itu terus mengejarnya dan berusaha mencekiknya. Dengan sekuat tenaga ia menghindar dan memukul tangan-tangan itu dengan guling. Sesekali ia berhasil membuat tangan-tangan itu terlempar dan jatuh ke lantai. Tapi setelah itu, tangan-tangan itu bangkit lagi dan mengejar lagi tanpa henti.
Akhirnya ia keluar dari kolong tempat tidur. Tangan itu terus mengejar. Dengan sisa keberaniannya laki-laki bermata juling itu  menangkap kedua tangan itu tapi tangan-tangan itu pintar menghindar. Ia terbang lebih tinggi lagi sehingga Bangor tak mampu menjangkau. Bangor berusaha melempar tangan itu dengan guling. Harapannya tangan-tangan itu kena dan jatuh. Pikirnya, ia akan menangkap kedua tangan itu dan melemparkannya ke luar jendela. Tapi tangan itu begitu lihainya menghindar. Setiap kali Bangor melempar guling ke tangan itu, ia dengan gesit  menghindar ke kiri dan ke kanan. Sesekali ia menukik ke bawah dengan jari menunjuk seperti mata tombak yang mengincar mata Bangor. Tentu saja lelaki juling itu beruaha menghindar. Ita tidak mau matanya buta terkena tusukan kedua tangan halus dengan kuku-kuku panjang meruncing itu.
Pada satu kesempatan kedua tangan misterius itu menukik dengan jari-jari yang siap mencekik leher. Ia bergerak cepat menyasar leher. Untung lelaki berambut keriting itu mampu menghindar. Tapi untuk serangan ke dua kalinya tangan itu nyaris saja mencekik lehernya. Â Dengan reflek Bangor mencengkram tangan itu kuat-kuat sampai kulit tangan itu terkelupas karena sudah mulai lembek. Bau mayat menyengat ke hidungnya. Dengan sekuat tenaga ia lemparkan kedua tangan itu ke jendela. terdengar suara gubrak, jendela tertimpa tangan, dan dengan cepat ia mengunci jendela itu.
Ia bernafas lega. Ia terhindar dari serangan tangan itu. Belum reda badai menerjang dadanya. Muncul lagi tangisan bayi. Suara terdengar sangat dekat sekali. Suaranya datang dari arah langit- langit kamarnya. Tangisan bayi itu sangat keras memekakan gendang telinganya. Ia tutupi telinganya tapi suara terdengar semakin mendekat. Di kamar itu ada lubang kontrol. Lubang itu terbuka dari tutupnya. Perlahan dari lubang itu menyembul bayi mungil masih merah. Tali pusarnya masih menempel. Tangisnya semakin keras mengejar laki-laki itu. Bayi itu seakan menyebut ayah ikut.. ayah ikut...ayah ikut. Â Lelaki itu lari kesana kemari. Tubuhnya bersimbah keringat. Ia sangat ketakutan.
Disaat ia semakin takut, muncul pula dari lubang langit-langit kamarnya itu sepengal kepala perempuan dengan rambut panjang dengan darah segar masih menetes.