Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ciuman Berdarah

30 November 2018   11:30 Diperbarui: 30 November 2018   13:03 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: vampire-1992.blogspot.com

Orang-orang yang melintas di depan kontrakan itu menutup hidung dengan jarinya. Jalannya melipir ke pinggir jalan, menjauh dari kontrakan itu. Bau busuk dan bau amis mengejar setiap orang yang melewati rumah kontrakan itu. Bau busuk itu terkadang hilang tertangkap angin. Lalu muncul dan mengejar lagi.

Tidak hanya itu. Ketika malam merayap. Terdengar suara perempuan menangis mengiris hati yang terdengar dari kamar atas kontrakan itu.  Seakan malam menghujam yang membuatnya tak kuasa menahan tangisnya.

Kalau sudah seperti itu, orang-orang yang mendengar tangisnya itu akan lari tunggang-langgang seperti dikejar anjing. Lupa apa yang dibawa. Tak ingat di depan ada apa. Semua diterjangnya.

Suatu malam, kontrakan sebelah yang terdengar suara tangisnya itu banyak orang berkerumun. Sayup-sayup terdengar orang yang meminta sesuatu.

"Di mana kaki saya? Dimana tangan saya? tolong temukan anggota tubuh saya," kata Lina meracau.

Orang-orang yang ada di kontrakan itu memegang tangan dan kaki Lina. Seorang yang dianggap orang pintar atau orang yang bisa tentang ilmu ghaib diundang untuk menangani Lina.

 "Siapa ini? Jangan ganggu Lina!" teriaknya sambil mencipratkan air ke wajah Lina. "Di mana kaki saya? Dimana tangan saya? tolong temukan anggota tubuh saya." Kata Lina sambil meronta. Ingin membebaskan diri.

Meskipun ada empat orang yang memegangi Lina, tapi tenaga Lina sangat luar biasa. Nyaris saja Lina lepas dari pegangan.

Orang pintar itu sekali lagi mencipratkan air dari mangkok ke wajah Lina sambil mulutnya tak henti-henti komat-kamit.  

"Siapa ini? Jangan ganggu Lina! Pergi jauh ke hutan!"
Kata orang pintar itu mengulang perintahnya. Lina hanya meronta-ronta tak menjawab. Orang pintar itu untuk kesekian kalinya mencipratkan air yang ada di mangkok.   

***

Di kontrakan sebelah, Bangor setiap malam merasa gelisah dan ketakutan. Nyaris setiap malam, ada saja kejadian yang membuatnya semakin ketakutan.

Seperti tadi malam, sekitar tengah malam, bau amis menyengat masuk ke kamar Bangor. Ia pun tidak bisa tidur. Sementara angin malam seakan mengetuk-ngetuk pintu depan rumah.  Dalam keadaan ketakutan seperti itu, terdengar suara kaki menendang-nendang pintu kamar. Awalnya suaranya pelan. Lama-lama suara itu semakin keras semakin keras. Bukan lagi suara tendangan biasa tapi sudah suara dobrakan.

Dalam ketakutan Bangor melangkah mendekati pintu kamarnya.
"Siapa di luar?" suaranya membentak mengusir takut.
Tak ada jawaban. Suara gedoran itu semakin keras.

Bangor melangkah mendekat pintu dengan tubuh gemetar. Bentakan suaranya tak berhasil menghentikan tendangan di pintu kamarnya.

Ia semakin dekat dengan sumber suara. Tubuhnya semakin gemetar. Ia beranikan diri memutar anak kunci kamar itu. Dan.......sepasang kaki mulus tanpa tubuh sedang menendang-nendang pintu kamarnya. Kaki itu hanya sebatas pinggang. Darah merah segar menetes ke lantai yang berwarna putih. Ia sangat ketakutan. Dengan cepat ia menutup kembali pintu kamar itu.
Ia menyender di daun pintu kamar itu. Sementara tendangan kaki itu masih terus menggetarkan nyalinya.

Sepasang Kaki tanpa tubuh!.               

Mata Bangor menghadap ke jendela kamarnya. Angin kencang di luar terdengar menjerit. Jendela kamar terbuka sendiri. Angin menerobos masuk menyingkap gorden. Bersamaan dengan itu dua tangan halus dengan kuku-kuku panjang menyembul dari balik gorden. Ia seakan ingin menerkam leher laki-laki berwajah bulat itu. Seperti potongan kaki tadi, dua tangan ini pun tanpa tubuh. Ia hanya sampai bahu. Darah segar menetes dari bekas potongannya. Tangan itu bergerak dengan menjulur ke depan dengan jari-jari ditekuk. Ia melayang pelan tapi pasti menuju ke arah laki-laki itu. Laki-laki itu tentu sangat ketakutan. Ia terpojok. Ia sembunyi di bawah tempat tidur. Tangan itu terus mengejarnya dan berusaha mencekiknya. Dengan sekuat tenaga ia menghindar dan memukul tangan-tangan itu dengan guling. Sesekali ia berhasil membuat tangan-tangan itu terlempar dan jatuh ke lantai. Tapi setelah itu, tangan-tangan itu bangkit lagi dan mengejar lagi tanpa henti.

Akhirnya ia keluar dari kolong tempat tidur. Tangan itu terus mengejar. Dengan sisa keberaniannya laki-laki bermata juling itu  menangkap kedua tangan itu tapi tangan-tangan itu pintar menghindar. Ia terbang lebih tinggi lagi sehingga Bangor tak mampu menjangkau. Bangor berusaha melempar tangan itu dengan guling. Harapannya tangan-tangan itu kena dan jatuh. Pikirnya, ia akan menangkap kedua tangan itu dan melemparkannya ke luar jendela. Tapi tangan itu begitu lihainya menghindar. Setiap kali Bangor melempar guling ke tangan itu, ia dengan gesit  menghindar ke kiri dan ke kanan. Sesekali ia menukik ke bawah dengan jari menunjuk seperti mata tombak yang mengincar mata Bangor. Tentu saja lelaki juling itu beruaha menghindar. Ita tidak mau matanya buta terkena tusukan kedua tangan halus dengan kuku-kuku panjang meruncing itu.

Pada satu kesempatan kedua tangan misterius itu menukik dengan jari-jari yang siap mencekik leher. Ia bergerak cepat menyasar leher. Untung lelaki berambut keriting itu mampu menghindar. Tapi untuk serangan ke dua kalinya tangan itu nyaris saja mencekik lehernya.  Dengan reflek Bangor mencengkram tangan itu kuat-kuat sampai kulit tangan itu terkelupas karena sudah mulai lembek. Bau mayat menyengat ke hidungnya. Dengan sekuat tenaga ia lemparkan kedua tangan itu ke jendela. terdengar suara gubrak, jendela tertimpa tangan, dan dengan cepat ia mengunci jendela itu.

Ia bernafas lega. Ia terhindar dari serangan tangan itu. Belum reda badai menerjang dadanya. Muncul lagi tangisan bayi. Suara terdengar sangat dekat sekali. Suaranya datang dari arah langit- langit kamarnya. Tangisan bayi itu sangat keras memekakan gendang telinganya. Ia tutupi telinganya tapi suara terdengar semakin mendekat. Di kamar itu ada lubang kontrol. Lubang itu terbuka dari tutupnya. Perlahan dari lubang itu menyembul bayi mungil masih merah. Tali pusarnya masih menempel. Tangisnya semakin keras mengejar laki-laki itu. Bayi itu seakan menyebut ayah ikut.. ayah ikut...ayah ikut.  Lelaki itu lari kesana kemari. Tubuhnya bersimbah keringat. Ia sangat ketakutan.

Disaat ia semakin takut, muncul pula dari lubang langit-langit kamarnya itu sepengal kepala perempuan dengan rambut panjang dengan darah segar masih menetes.

"Mas Bangor....Mas Bangor.....Mas Bangor jangan tinggalkan aku." Kepala itu memanggil-manggil nama lelaki juling itu.

"Siapa kamu?"
"Masa Mas tidak kenal dengan Aku. Aku ini Jelita Mas, kekasihmu." Kata kepala itu.
Kepala itu semakin turun dan berputar mengililingi kamar itu.
"Bukan! Jelita sudah mampus. Gak mungkin ia hidup lagi."
"Mas....bener Mas ini Aku pacarmu yang kau katanya sangat mencintaiku. Mas yang katanya tak bisa hidup tanpamu yang mas tiduri dan mas setubuhi. Akhirnya aku hamil Mas. Janinnya sudah besar. Ia sudah mengenalmu. Tapi apa yang Mas lakukan? Mas membantingku, mencekikku sampai aku tidak bisa bernafas dan mati. Tega kau Mas!"
"Tidak! Aku tidak membunuh! Pergi kau setan!" teriak Bangor.
 
"Tidak sampai disitu, Mas juga dengan sadis mempreteli tubuhku seperti tukang jagal mempreteli kambing potongnya. Mas, kau bangsat!. Kau banjingan! Kau setan yang sesungguhnya!"
"Pergilah kau setan! Kau bukan Jelita."  Teriak Bangor histeris.

"Mas, tapi ada yang sangat aku tak bisa lupakan. Mas menciumku dengan mesra sebelum mas mencincangku. Mas....itu membuatku terkenang. Ingin rasanya kejadian itu terulang kembali. Aku ingin menciummu Mas."

"Tidaaaaaak.........tidaaaaaak.............enyahlah kau setan!"  Bangor melempar bantal ke kepala tanpa badan itu. Kepala itu mengelak dan tertawa terbahak-bahak.
"ha...ha...ha...ha...hi...hi...hi...." sambil kepala itu mengejar dan menjulurkan lidahnya.  

"Ayolah Mas, mari kita bercumbu lagi." Kepala tanpa tubuh itu terus mengejar laki-laki itu. Berputar-putar di kamar. Sampai akhirnya laki-laki bermata juling itu terbentur kepalanya ke tembok kamar dan langsung tak sadarkan diri.

Kepala tanpa badan itu mendekat ke tubuh lelaki itu. Lidahnya dijulurkan ke mulut laki-laki itu.  Terjadilah ciuman yang sangat dahsyat sampai dari mulut laki-laki itu keluar darah segar dan mulut perempuan itu pun berlumuran darah.                               


Jakarta, 30 November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun