Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Manusia Surga

23 November 2018   10:28 Diperbarui: 25 November 2018   23:20 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:www.nu.or.id

Malam itu langit bocor. Air deras mengalir dari langit. Seperti ada lubang besar menganga di atas sana dan air terjun bebas ke bumi. Karena jarak yang sangat jauh dari langit dan bumi maka air itu jatuh ke bumi seperti butiran-butiran pasir yang sengaja ditebarkan. Kadang seperti benang putus yang saling kejar-kejaran. 

Dari sekian banyak air hujan yang berjatuhan itu terhempas laki-laki muda berparas ganteng seperti malaikat yang datang ke negeri Luth. Ia ikut jatuh berama air hujan dari langit. Ia terjatuh di komplek lokalisasi Pekerja Seks Komersial (PSK).

Dulu, untuk menyebut orang yang menjual jasa seks dengan banyak istilah. Ada yang menyebut Wanita Tuna Susila atau WTS. Ada yang menyebut lonte. Ada yang menyebut telembuk ah banyak lagi orang menyebutkannya. 

Tapi menurut teman saya yang seorang aktifis gender, istilah itu tidak adil bagi perempuan dan bahkan telah menstigma perempuan. Bagaimana tidak, penjual jasa seks itu ternyata tidak hanya perempuan, banyak juga dari kaum berjakun. Tapi istilah WTS itu begitu melekat di masyarakat seakan yang menjadi tuna susila itu hanya wanita atau perempuan.

Laki-laki muda ganteng itu jatuh di lokalisasi. Ia sangat kaget berada di tempat itu. Matanya berjalan ke setiap lorong yang ada di tempat itu. Matanya tertumbuk pada tubuh-tubuh mulus dengan pakaian minim. Wajah dengan bedak tebal, pipi ber-blush onhumairah buatan dan bibir bergincu merah muda.

"Mampir Mas ganteng!"  Seru perempuan dengan tank top merah menyala. Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum. Ia pandangi perempuan bertangk top merah itu dan menghampirinya.  

"Kamu cantik sekali. Kamu berbeda dengan perempuan-perempuan yang selama ini aku kenal." Kata laki-laki itu. Perempuan itu pipinya merona terlihat memerah berpadu dengan blush on atas pujian laki-laki itu .

"Emang Mas tinggal dimana?" kata perempuan itu.

"Aku tinggal di suatu tempat yang sangat indah dan banyak sekali perempuan-perempuan cantik di sana."

"Di atas sana." Jari tangan laki-laki itu sambil menunjuk ke arah atas.

Perempuan itu tampak kebingungan.

"Maksudnya Mas tinggal di Puncak?"

"Bukan."

"Lalu dimana?"

"Di atas langit."

"Ah, Mas ini kalau bercanda bisa aja." Kata si perempuan itu sambil jarinya mencubit bahu laki-laki itu, gemas.

"Bener kok Mbak." Laki-laki itu sambil memperlihatkan senyumnya yang menawan.

"Lah kenapa Mas ada di sini?"

"Ceritanya panjang Mbak." Kalau saya ceritakan mungkin tak akan cukup sehari.

"Gak apa-apa Mas, aku seneng kok berlama-lama deket dengan Mas. Biar aku gak dapet pelanggan juga." Kata perempuan itu sambil matanya mengerling.

"Baiklah kalau begitu." Kata laki-laki itu.

"Begini ceritanya," ia menghela nafas.

"Saya tinggal di atas langit, entah apa namanya. Mungkinkah surga? Disana semua kebutuhanku tersedia. Semua yang ada di dunia, ada di sana. Jika di dunia untuk mendapatkan semua itu harus bekerja keras, di sana saya dengan mudah mendapatkannya. 

Berbagai macam makanan, minuman, perempuan cantik bak bidadari selalu siap sedia. Begitu pun bagi perempuan yang menginginkan laki-laki yang diinginkannya ia dengan mudah mendapatkannya. 

Singkatnya, semua yang kami inginkan semua terpenuhi dengan mudah. Sampai-sampai saya merasa bosan karena merasa tidak ada tantangan. Semua dengan mudah diperoleh."

"Woow indah sekali hidup di sana. Berarti di sana tidak ada orang yang menangis kelaparan? keluarga yang berantem karena berebut harta warisan? Orang yang membunuh orang lain karena rasa cemburu atau sakit hati karena pasangannya berselingkuh atau dendam? Atau orang yang korupsi karena ingin memenuhi nafsu serakahnya? Atau orang yang seperti saya menjual seks untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari?" Kata perempuan itu dengan serius.

"Tidak ada. Di sana semua orang kelihatannya bahagia dan baik-baik saja." Kata pemuda ganteng itu.
"Kok kelihatannya Mas?" Tanya perempuan itu.
"Ya saya kan tidak tahu hati orang lain. Hanya dilihat dari permukaannya saja."
"Mas. Tolong bawa saya ke sana Mas." Kata perempuan itu sambil tangannya memegang tangan pemuda itu. Dadanya yang montok menempel di pundak pemuda itu. Pemuda itu merasakan serrr. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak merasakan perasaan itu sebelumnya. Tidak juga di surga.   

Ya Allah perasaan apa ini. Terasa nikmat sekali.Apakah ini surga tingkatkan yang lain? 

"Mas belum cerita mengapa Mas ganteng ada di sini?" Kata perempuan itu seakan baru sadar.

"Saya waktu itu sedang mandi di kolam susu dengan beberapa perempuan cantik. Perempuan-perempuan itu mengelilingiku. Ada yang memijat pundakku. Ada yang memijat kaki, tangan dan lainnya. 

Tiba-tiba air seperti tersedot lubang yang sangta besar. Perempuan-perempuan itu berenang menghindar sementara saya terseret arus air dan masuk ke lubang itu dan terdampar di sini. Di tempat ini yang saya tidak tahu apa namanya."

Laki-laki itu menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Di sana saya berhubungan seks kapan pun saya mau. Perempuan cantik-cantik selalu siap setiap saat." Laki-laki  itu sambil meraih tangan perempuan bertank top perah dan mengangkatnya ke arah bibirnya.  Mulutnya di monyongkan dan "cup...cup..." terdengar suara kecupan.
Perempuan itu merintih seketika.   

"Mas Tolong kasih tahu bagaimana caranya agar saya bisa pergi ke tempat Mas itu?" Sekali lagi perempuan itu merengek dan mengelayutkan tanganya dipundak lelaki ganteng itu.

"Terus terang Mbak, saya juga tidak tahu bagaimana caranya agar bisa ke tempat itu lagi."  Laki-laki itu berkata sambil menatap perempuan itu lekat-lekat.

"Apakah saya masih berhak mendapatkan tempat indah itu sementara kehidupan saya di sini seperti ini, menjual diri memuaskan lelaki hidung belang?"  Perempuan itu bertanya sambil matanya sembab seakan ia putus asa.  

"Jangan bersedih Mbak, kita semua tidak tahu akan masuk ke surga atau neraka kelak. Orang yang tekun beribadah jangan sombong ia bakal masuk surga. Begitu pun orang yang bergelimang dosa jangan putus harapan. 

Jangan memastikan diri akan masuk neraka." Kata laki-laki ganteng itu bicaranya seperti seorang ustadz. Ia baru menyadari hal itu.

"Ma'af Mbak, kok saya bicaranya seperti orang suci saja."

"Saya bener Mas pengen banget ke tempat Mas itu yang katanya ada di langit." Kata perempuan itu mengulangi keinginannya. Mata dan tangannya  mengarah ke atas langit.  

"Semua orang pasti bisa sampai ke sana Mbak kalau yang di atas meridhoi." Kata laki-laki itu tenang.
 "Oh gitu ya Mas? Bagaimana agar yang di atas meridhoi?" Perempuan bertank top merah itu mengejarnya.    

"Entah lah Mbak. Hanya dulu, waktu saya hidup di dunia. Saya pernah mendengar seorang ustadz berceramah katanya 'surga itu ada di telapak kaki Ibu dan banyak berbuat baik kepada sesama.' Bahkan ustadz itu bercerita, ada seorang perempuan pekerja seks yang masuk surga hanya karena memberi minum anjing yang kehausan. Begitulah kalau Allah sudah meridhoi." Kata laki-laki ganteng itu dengan serius.

"Oh gitu ya Mas.  Mengapa bisa seperti itu Mas?" Tanya perempuan itu dengan polos.

"Semua yang ada di bumi ini ciptaan Allah termasuk anjing yang bagi umat Islam haram untuk dimakan dan bahkan air liurnya saja najis yang sangat berat hingga cara mencucinya pun harus dengan cara khusus. 

Itu pun kalau disayang dan dikasihi yang di atas senang. Apalagi kalau yang dikasihinya itu manusia dan orang tua kita sendiri. Terutama Ibu kita yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan kita." Laki-laki ganteng itu bicara sambilnya menatap perempuan yang ada di depannya.

Sementara yang ditatap merunduk seperti pohon jambu yang keberatan oleh buahnya. Matanya sembab, butir-butir air matanyanya berkilauan seperti mutiara terkena sinar matahari. 

Perempuan itu teringat dengan Ibunya yang sekian tahun ia tinggalkan di kampung.  Apakah ia baik-baik saja? apakah ia sehat? Apakah ia bisa makan? Ah....entahlah. Sudah lama sekali ia meninggalkannya. Ia tidak berani memberi kabar Ibunya karena pekerjaannya yang ia anggap kotor ini.

Dulu, beberapa tahun yang lalu, ia meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan Ibunya, meninggalkan adik-adiknya untuk bekerja mencari uang. Ketika seseorang yang menyebut dirinya Mami mengajak ia ke Jakarta yang katanya kerja di salon, ia tidak berpikir panjang lagi, ia mengikutinya. Tapi apa yang terjadi? Ia dipaksa Mami itu untuk melayani laki-laki hidung belang.   

"Mas, maukah bawa aku pulang menemui Ibuku?" kata perempuan itu menghiba.
Laki-laki itu terdiam. Ia bisa merasakan betapa tulus niat perempuan pekerja seks itu ingin menemuni Ibunya. Mungkin ia ingin mencari ridho Allah dengan jalan berbakti kepada Ibunya. 

Ayahnya telah lama meninggal dunia karena radang paru-paru ketika ia kelas satu SD.  Sejak itu, Ibunya banting tulang menghidupi dirinya dan kedua adik-adiknya yang masih kecil.  Ia bersyukur sempat masuk SMP sampai kelas dua. Setelah itu ia pergi ke Jakarta mencari uang.

"Mas mau kan nganter saya bertemu Ibuku?" Kata perempuan berambut pendek itu mengulang untuk kedua kalinya.  

"Oh ya..ya..saya mau." Kata laki-laki ganteng itu tergagap. Ia terkoyak dari lamunannya.

Mereka pun akhirnya menempuh jalan menuju surga yang diimpikannya melalui kaki Ibu yang telah lama diabaikannya.

Jakarta, 23 November 2018     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun