Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selendang Mayang

30 Oktober 2018   10:25 Diperbarui: 30 Oktober 2018   19:20 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Jika Anda ke Jakarta dan melewati Pasar Rebo Jakarta Timur, maka sekitar 8 kilometer dari sana Anda akan menemukan wilayah Condet. Anda akan menjumpai jalan raya Condet yang membelah wilayah ini. Di sebelah kanan wilayah condet Batu Ampar. Sebelah kiri Condet Balekambang. 

Dimulai dari RINDAM, tak jauh dari situ beloklah ke arah kiri. Anda akan menemukan Jl. Kayu Manis yang penuh polisi tidur. Sebelah kiri ada TPU, Tempat Pemakaman Umum.  

Jika diteruskan, pada akhirnya Anda akan bertemu dengan Jalan raya Condet yang tembus ke PGC (Pusat Grosir Cililitan). Jalan-jalan yang dilewati masuk wilayah kelurahan Balekambang, salah satu kelurahan di Condet.  Konon dulunya kelurahan ini salah satu cagar budaya Betawi. Tapi kini hanya tinggal kenangan.

Jika siang menjelang sore, jika Anda beruntung, Anda akan menjumpai seorang lelaki paruh baya dengan peci coklat di kepalanya, handuk kecil warna biru pudar di pundaknya, menyelampai,  sedang memikul wadah yang terbuat dari anyaman bambu. 

Ada tulisan di selembar kertas yang di laminating di rotan yang melengkung yang mempertemukan wadah bambu dengan pikulan itu "ES SELENDANG MAYANG BETAWI JADUL".

"Selendang mayang itu apa, mayang itu apa, terbuat dari apa?" Tanyaku melesat, melepas  keingintahuan kepada Abang tukang es itu suatu siang yang menggigit. Beruntung aku menjumpainya di jalan Pangeran selepas shalat Dzuhur. Aku pun cepat memberhentikannya.

"Yang ini" Abang pedagang berbadan kurus itu menunjukan jarinya ke kue warna warni, merah, putih, hijau berlapis seperti kue pepe yang berbaring di wadah semacam tempayan "terbuat dari sagu aren. Kalo pengen bagus, pake tepung ketan. Tapi biasanya kalo buat jualan seperti ini pake aren." Jelasnya sambil matanya mengerling.

"Kalo yang itu?" tanyaku sambil jariku menunjuk ke satu toples berisi cairan putih dan satu toples lainnya berisi cairan berwarna merah muda.

"Yang ini santan. Ini air gula." Kata Abang itu, sambil membenarkan posisi selampai atau handuk kecilnya yang nyampir di pundaknya.  

Aku merasakan wangi pandan menyerbu hidungku. Seakan menyeret-nyeretku agar cepat menikmatinya. "Aku pesan dua gelas, Bang." Kataku. Satu untukku. Satu lagi untuk anakku. Pasti dia senang.   

"Sejak kapan jualan Selendang Mayang, Bang?" Aku melempar tanya sambil memperhatikan ia menyiapkan pesanananku. Ia terlihat dengan cekatan menyayat-nyayat kue warna-warni dengan semacam sebilah pisau kecil tipis, entah terbuat dari apa.  "wah udah lama sekali. Mungkin sekitar tahun 90-an." Katanya tanpa menoleh. Ia bekutet [1] dengan kerjaannya.

"Sudah lama ya." Kataku sambil mataku tak lepas dari tangan si Abang yang seakan menari-nari.
"Dulu di sini masih banyak puun [2] salak, puun dukuh. Sampai-sampai jalan ini tertutupi daon [3] salak." Katanya bersemangat.  

 "Oh, ya?" kataku.

 "Kalau sore menjelang, monyet-monyet masih banyak berkeliaran."  Si Abang sambil menuang santan ke gelas plastik. Terlihat selendang mayang seperti berenang. "Sekarang pada kemana ya Bang?" tanyaku iseng.
"Entah lah. Ditembakin orang gila kali." Kata si Abang seakan jawabannya asal ngejeplak.[4]

 "Sekarang banyaknya asrama penampungan buruh migran ya Bang?" Kataku mengalihkan pembicaraan.
"Apaan ntuh Buruh Migran?" Katanya menunjukan mimik penasaran.

 "itu Bang Tenaga Kerja Indonesia." Kataku. "Oh TKW? Kalo entu sih di sini bejibun[5], bang. Hampir setiap berapa meter ada."  

 "Romanye[6] Mas bukan orang sini." Kata si Abang menebak. "betul. Saya kelahiran Subang." Aku terus terang. "Sejak tahun 2006 saya pindah ke sini." Kataku menjelaskan.  

 "Kalau Abang Asli sini?" Tanyaku.
"Iya. Dulu tinggal di Jakarta Barat. Sekarang tinggal di Pasar Minggu."
"Di sini adat Betawi masih dilestarikan ya Bang" Tanyaku menyelidik.
"Iya masih ada sedikit. Yang lainnya udehkentir[7] di kali ciliwung." Katanya sambil mesem.[8]
"Kalau uang sembah itu apa sih Bang?" Tanyaku seketika seperti supir bajaj berbelok.
"Saya punya teman orang Betawi Bekasi yang sebentar lagi akan menikah, katanya dia sedang menyiapkan uang sembah buat calon istrinya."    

 "Itu uang dari calon suami yang diberikan kepada calon istrinya. Biasanya diberikan setelah acara tunangan sebelum acara pernikahan." Kata si Abang, menjelaskan sembari menyeka keringatnya yang mengembun dengan handuk kecilnya. Mendengar kata tunangan, pikiranku langsung melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu pada acara tunangan anaknya tetangga. 

Waktu itu, Ayah anak yang akan bertunangan sudah mengatur siapa yang akan mewakili dirinya menyampaikan maksud dan tujuan mendatangi rumah orang tua si perempuan pacar anaknya.
Ketika acara pinangan dimulai. Suatu hal tidak diperkirakan terjadi. Seorang pembawa acara menyampaikan.

"Acara selanjutnya adalah penyampaian maksud dan tujuan kedatangan keluarga ini ke sini. Untuk itu kepada perwakilan keluarga almarhum Bapak Rahmat dipersilahkan."

Sontak Pak Rahmat kaget dan langsung berteriak "Bagus...bagus...Bagus...." dan orang-orang yang hadir pun kaget dan berteriak Mbak, Bapaknya masih hidup. Itu Bapaknya." Orang yang hadir menunjuk  muka Pak Rahmat yang salah tingkah dibilang almarhum.

Si pembawa acara pun tersentak, kaget. Ia telah salah mengambil kesimpulan. Dikiranya, karena diwakilkan, dia pikir ayah calon yang melamar itu telah meninggal dunia. Kesimpulan gegabah. Tapi siapa pun yang tidak tahu bisa menyimpulkan begitu karena orang yang maju ke depan menemani Ibu si calon yang akan meminangnya juga diwakilkan. Lengkap sudah.             

"Saya pesan tiga, Bang." Kata seorang Ibu muda bercelana pendek di atas lutut, berkaos ketat berwajah oriental  sambil menyerahkan uang 20 ribuan. Kata-katanya membuyarkan lamunanku.
"Iya. Sebentar ya."  Kata si Abang sambil menerima uang itu.  
"Itu maksudnya uang dapur?" Kataku penasaran.
"Bukan Mas. Itu beda lagi dengan uang dapur. Kalau uang dapur diserahkan kepada calon mertuanya. Kalau uang sembah ke calon istrinya." Dia mencoba menjelaskan.

"Maksudnya untuk apa Bang? Bukankah calon istri sudah mendapat barang hantaran dan maskawin?"  Kataku sedikit mendebat.     

"Iya emang. Uang sembah itu." Ia membetulkan posisi duduknya.  
"uang sembah itu disebut juga sembah lamaran atau tanda putus."
"Lho kok tanda putus? Maksudnya Bang?"
"Iya karena udah dilamar, jadi si perempuan putus dari pinangan laki-laki lain. Ia sudah terikat dengan laki-laki yang meminangnya. lni berarti perempuan itu tidak lagi dapat diganggu oleh pihak lain walaupun pelaksanaan tande putus dilakukan jauh sebelum pelaksanaan Acara Akad Nikah."    

Aku mangguk-mangguk.
"Saya satu gelas lagi Bang. Esnya sedikit aja." Kataku. Saya teringat istri, barangkali dia juga suka. Karena ini makanan khas Betawi yang jarang ditemukan.

"Uang sembah itu tujuannya untuk apa Bang?" tanyaku ndesel[9].    

"Itu sebagai pembuka hubungan si pemuda dengan gadis yang akan menjadi calon istrinya."

Bukankah cowok cewek zaman sekarang sudah lengket sebelum lamaran. Ngapain juga sebagai pembuka hubungan. Protesku dalam hati.

 

"Selain itu, karena si gadis pada hari perkawinannya nanti akan melakukan "penyembahan" kepada calon suaminya, karena itu hatinya perlu "ditawarkan" dengan uang sembah ini." Katanya melanjutkan.

Mendengar kata menyembah pikiranku langsung melesat ke suatu halaqah[10] tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam. Aku terngiang penjelasan seorang narasumber, ia doktor perempuan, Laki-laki perempuan itu setara. Ketika menjadi suami istri pun hubungan yang saling melengkapi. Bukan hubungan juragan dengan kaula.     

"Nyogok maksudnya Bang?" Kata si Enci nyeletuk.[11]

 

"Hus...Itu terlalu kasar Ci."  Kata si Abang tukang selendang mayang matanya melirik ke si Enci. Lirikannya bagaikan inis[12] yang disesetkan ke kue selendang mayang. Si Enci sempat kaget terus tertawa.  

 "Bercanda Bang. Kata si Enci." Cepat menetralisir.

 "Jadi berapa Bang?" Kataku setelah si Abang menyerahkan tiga gelas plastik es selendang mayang.
"Tiga, lima belas ribu aja Mas." Katanya.

 Saya menyerahkan uang dua puluh ribuan.

 

"Gak usah dikembalikan bang. Buat Abang."

  

"Alhamdulillah. Terima kasih ya."

 

"Sama-sama Bang." Aku pun bergegas pulang membawa tiga gelas selendang mayang dan se-kresek info tentang uang sembah.  

  

Jakarta, 25 Oktober 2018

 

 

 

  

 

 

     

[1] Konsentrasi dengan kerjaannya.

   

[2] Pohon.

   

[3] Daun.

   

[4] Asal bicara.

   

[5] Banyak.

   

[6] Sepertinya.

   

[7] Hanyut.

   

[8] Senyum ditahan.

   

[9] Mendesak.

   

[10] Diskusi atau belajar bersama.

   

[11] Bicara secara tiba-tiba.

   

[12] Kulit bambu tipis yang tajam.

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun