"Anti...tadi siang ada Mang Asep datang ke rumah, katanya ada lelaki Arab yang sedang mencari perawan untuk dijadikan istri." Si Ibu menambahkan hati-hati agar Anti tidak kaget.
Tidak demikian dengan perasaan Anti. Kata-kata Ibunya itu seakan meninju hulu hatinya. Ia terasa sesak. Meskipun masih sangat muda, Anti sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan orang tuanya itu.
"Anti masih kelas dua Ibu, Ayah. Anti masih ingin sekolah." Anti langsung memagari diri. Tangannya disilangkan di dadanya.
"Ayah tahu Nak. Kamu masih kelas dua MTs. Tapi Ayah Ibu saat ini sangat membutuhkan uang. Untuk makan sehari-hari dan untuk menambah modal jualan souvenir." Kata ayahnya berusaha memberikan alasan.
"Anti tahu sendiri, penghasilan ayahmu dari jualan souvenir habis buat makan sehari-hari. Bahkan modal yang hanya tak seberapa itu tergerogoti oleh kebutuhan dapur." Sambung Ibunya dengan menatap tajam anak gadis satu-satunya itu.
"Iya Ibu." Anti menjawab dengan tingkat kesopanan kepada kedua orang tuanya dengan kadar yang patut.
"Jika dibolehkan, biarkan Anti ikut berjualan souvenir sepulang sekolah. Itung-itung membantu Ayah." Kata Anti menambahkan dengan tangan kirinya menyibakan rambutnya yang menutupi wajahnya yang putih bersih, alis hitamnya melengkung bagaikan bulan sabit. Bibirnya merah merekah bagai mawar di pagi hari. Badannya semampai padat berisi bagai peragawati.
"Tidak anakku!" Nada suara Ayahnya mulai meninggi.
"Kesempatan yang baik tidak datang dua kali. Sekarang datang pangeran dari Arab yang akan menjadikanmu ratu. Apa kamu akan membuang kesempatan ini?"
Kata-kata ayahnya terlalu tinggi untuk ukuran anak kelas dua SMP yang pikirannya masih dipenuhi dengan keinginan bermain-main ke mal dengan teman-temannya dan belanja pakaian.
"Kalau kamu mau menikah dengan orang Arab itu kamu akan mendapat uang banyak. Kamu dapat membeli pakaian, jalan-jalan ke mal atau apa pun yang kamu suka," kata Ibunya membujuk.