Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Kaki Gunung Kuda Aku Mengucap Qabiltu

19 Oktober 2018   09:45 Diperbarui: 19 Oktober 2018   10:12 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu kenangan-kenangan yang menggelayut di pikiranku.

Ibuku meninggal ketika aku masih kuliah semester 7. Waktu itu aku sangat berharap Ibu dapat menghadiri wisudaku. Tetapi Allah menghendaki lain. Ketika aku mendapat tugas penelitian, Ibuku pergi menemui-Nya.

Ketika aku pulang liburan lebaran, kudapati keluarga dan tetangga sedang mengadakan tahlil malam ketiga. Hatiku hancur. Ada sesal menonjok di dada, tak sempat mendapinginya di saat Ibuku menghadapi sakaratul maut. Telegram yang dikirim saudaraku yang mengabarkan Ibu meninggal baru aku dapat selepas lebaran ketika aku masuk kampus. Informasi yang basi!.    

Mengingat kedua orang tuaku, aku semakin tenggelam dalam kesedihan. Aku tak kuat lagi untuk mengenang kedua orang tuaku.

Kuberanikan diri mengangkat kepalaku memandang calon mertuaku. Ia duduk dengan gagah mengenakan pakaian seperti orang Makassar dengan baju hitam dengan gaya kancing seperti baju koko. Di kepalanya bertengger peci kuning menambah kegagahannya.

Aku dengar selentingan, calon mertuaku ini termasuk orang tua yang keras, kalau tidak disebut galak. Maka tidak aneh banyak laki-laki yang ngeper untuk mendekati anak gadisnya. Untungnya cerita ini tidak sampai ketelingaku sebelum aku meminang anak gadisnya. Sehingga ketika aku menemuinya untuk pertama kalinya, aku tidak gentar sedikit pun.

***

Masjid terlihat penuh. Naib atau petugas pencatat nikah juga sudah terlihat. Di kebanyakan daerah, biasanya si naib ini yang menikahkan. Tapi untuk pernikahanku, ayah gadis yang akan kunikahi ini yang langsung mengucapkan ijab. Tentu hatiku bergetar keras. Keringat dingin mengucur deras di tubuhku yang memanas. Tanganku terasa dingin. Tanganku dipegang oleh tangan calon mertuaku. Konsentrasiku pudar, melayang.

Pembawa acara mempersilahkan acara dimulai. Calon mertuaku mulai membaca taawudz, basmalah  dan istigfar dengan suara yang berat terdengar berwibawa. Aku mencoba berkonsentrasi. Cara dudukku yang bertumpu pada kaki membuatku terasa sakit dan kesemutan.

Setelah beberapa saat. Calon mertuaku berucap: angkahtuka wazawajtuka ibnati...... dan seterusnya. Tanganku ditariknya seperti dikedut, aku pun berucap "Qabiltu.....". Sayang jawabanku dinilai oleh para saksi kurang cepat. Akad pun diulang kembali.

Saat itu, aku teringat bisikan calon istriku. "kalau akad diulang sampai tiga kali bisa diguyur." Katanya dengan serius suatu ketika.  Aku pun mencoba konsentrasi, aku tidak mau diguyur dan bahkan gagal karena tidak bisa mengucapkan akad karena grogi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun