Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ketika Bedug Ikut Berjama'ah Subuh

8 Oktober 2018   12:31 Diperbarui: 8 Oktober 2018   13:09 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com

Pagi tadi, jama'ah masjid Nurul  Iman di lingkungan kami gempar. Pasalnya bedug yang selama ini tergolek di serambi belakang masjid ini secara mengejutkan ada di shaf, barisan,  jama'ah shalat subuh. Dia ada di shaf kedua sekaligus shaf terakhir jama'ah tersebut.

Ketika jama'ah salam  ke kanan dan ke kiri mereka kaget bukan main. Kok ada bedug di belakang mereka. Spekulasi pun bermunculan.

Ada yang berpendapat, pasti ada orang yang kurang ajar meletakan bedug itu di belakang mereka. Pikir mereka, mana mungkin bedug itu bisa berjalan sendiri. Ada juga yang berpendapat pasti ada jin iseng yang meletakan bedug itu di belakang shaf mereka.  Mereka berpikir, seperti cerita anak-anak yang suka tidur di masjid.

Dulu waktu saya kecil, memang ada cerita seperti itu. Anak-anak yang suka nonton layar tancap atau hiburan lainnya kalau tidur di mushola atau masjid dia akan dipindahkan ke tempat yang orang tidak menduganya. Seperti ke dalam bedug, kamar mandi bahkan ke dalam keranda mayat yang biasanya disimpan di samping masjid atau mushola.    

Beda dengan yang lain, Kiai Sodri, pengurus Masjid sekaligus sesepuh di lingkungan Masjid itu dan dikenal menggeluti ilmu hikmah,  mempunyai pandangan yang lain. Ia berpikir bisa jadi bedug itu ada di shaf jama'ah shalat itu atas kemauan dirinya sendiri. Tapi mana mungkin itu bisa terjadi?  

Setelah shalat selesai, pengurus masjid dan para jama'ah masjid Nurul Iman tidak langsung pulang. Mereka penasaran dengan kejadian yang tidak lazim itu. Mereka pun duduk berkumpul mengelilingi bedug yang masih ada di situ seperti orang yang sedang duduk tahiyat akhir.  

Setelah mereka duduk melingkar. Kiai Sodri mulai membuka pembicaraan.

"Bapak-bapak mari kita bahas kejadian ini. Agar tidak ada fitnah di antara kita." Kata Kiai Sodri sambil matanya merayap menghampiri para jama'ah.

"Betul Pak Kiai. Kejadian ini harus diusut tuntas siapa pelakunya  dan apa motifnya meletakan bedug di shaf jama'ah shalat." Kata Pak Haji Umar dengan intonasi tinggi.

"Saya setuju dengan pendapat Pak Haji Umar.  Saya khawatir kalau kejadian ini dibiarkan akan menjadi preseden yang tidak baik di masa yang akan datang." Kata Pak Haji Sholeh memberikan dukungan.

"Kita harus hati-hati menyikapi persoalan ini, jangan sampai kita terjebak menuduh seseorang tanpa bukti yang kuat." Kata ustadz Ahmad sambil membetulkan posisi peci hitamnya.

"Saya masih berpikir ini adalah kerjaan jin-jin iseng yang ingin menggoda keimanan kita." Kata ustadz Ahmad melanjutkan.

Kedua pendapat yang bertolak belakang ini pun terus berlanjut dengan beberapa orang yang mendukung pendapat haji Umar dan haji Sholeh di satu pihak dan beberapa jamaah yang berpikiran seperti ustadz Ahmad.

Haji Umar dan Haji Sholeh ini adalah tokoh masyarakat pensiunan perusahaan BUMN. Mereka biasa berpikir logis, rasional. Sementara ustadz Ahmad adalah ustadz jebolan pesantren salaf yang biasa dengan kejadian-kejadian mistis dan terbiasa juga berpikir melampaui batas akal.    

Bagi haji Umar,  haji Sholeh  dan para jama'ah yang mempunyai pandangan yang sama dengan kedua haji tersebut berpikirlah rasional dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi di masyarakat. Jangan terjebak dengan keyakinan-keyakinan yang tidak bisa dibuktikan secara empirik atau rasional.

Sementara kelompok ustadz Ahmad dan jama'ah yang sepaham dengannya berpandangan  bahwa meskipun cerita-cerita mistis itu tidak mudah dibuktikan tapi nyatanya banyak orang yang mengalami kejadian-kejadian mistis yang tidak bisa dicari penjelasan rasionalnya itu.  

Kedua kelompok saling mengelurkan argumennya.

"Kalau bedug itu yang memindahkan jin, siapa yang melihat kejadian itu dan apa buktinya?" Kata Haji Umar berapi-api sambil membetulkan posisi duduknya dan tangannya menunjuk ke sana ke mari.

"Kalau yang memindahkan bedug seseorang, siapa yang memindahkan dan apa buktinya?" kata Ustad Ahmad gak mau kalah.

"Iya memang belum ada buktinya. Makanya kita perlu mengadakan penyelidikan biar jelas siapa pelakunya." Kata Haji Sholeh memperkuat haji Umar.      

Kiai Sodri mendengarkan dengan seksama pendapat-pendapat yang beredar di musyawarah itu dan berusaha tidak memihak ke salah satu pendapat.

"Bapak-bapak, semua pendapat perlu dipertimbangkan. Yang penting perbedaan pendapat ini jangan sampai membuat kita emosi dan akhirnya kita dikendalikan nafsu amarah."  Kata Kiai Sodri dengan nada pelan tapi jelas dan berwibawa. Semua jama'ah mendengarkan dengan takdim.  

"Kita sudah mendengar pendapat-pendapat dari berbagai pihak. Sementara kita belum mendengar sepatah kata pun cerita dari bedug sendiri, mengapa ia berada di shaf jama'ah shalat subuh tadi pagi."

Kata Kiai Sodri sambil berdiri dan mendekat ke Bedug dan tanganya mengusap punggungnya.  

"Ma'af Pak Kiai, tanpa mengurangi rasa hormat dan takdim saya kepada Kiai, izinkan saya bertanya, bagaimana mungkin kita bisa mendengar bedug bicara." Kata Pak haji Umar berhati-hati.  

Suasana senyap. Para jama'ah seperti menahan napas mendengarkan kata-kata haji Umar.

"Iya Kiai, ma'af, meskipun saya pernah mengalami kejadian dipindahkan tidurnya oleh jin tapi kalau bedug bisa bicara otak saya belum nyampe Kiai." Kata ustadz Ahmad. Kali ini sependapat dengan haji Umar.

Kiai Sodri mangguk-mangguk lalu berkata, "baik kalau begitu Bapak-Bapak. Kita langsung saja mendengarkan pengakuan dari bedug, apa sesungguhnya yang terjadi. Silakan tuan bedug!" Kata Kiai Sodri sopan.

Setelah mengucapkan salam dan  terima kasih kepada Pak Kiai Sodri dan Bapak-Bapak yang ada di masjid itu, bedug itu mulai berbicara.

"Pak Kiai dan Bapak-Bapak semua, izinkan saya bercerita agak panjang."

"Iya, silakan. Gak apa-apa." Kata Kiai Sodri sambil membetulkan posisi sorbannya yang hampir jatuh.

"Dulu saya termasuk yang sangat beruntung. Hidup saya dan saudara-saudara saya sangat  bermanfa'at dan berguna. Saya tinggal di masjid atau mushola, setiap hari, setiap lima waktu, saya digunakan untuk memanggil umat muslim untuk beribadah, shalat menyembah Allah.  Dengan tugas ini, saya merasa bangga dan merasa bermanfa'at hidup saya. Dengan suaraku, banyak umat muslim yang tergerak hatinya melangkahkan kakinya menuju masjid untuk melakukan shalat lima waktu. Melihat orang-orang berbondong-bonbong datang ke masjid, hati saya terenyuh dan bahagia."

Air mata sang beduk terlihat mulai meleleh. Suaranya serak seperti suara azan dari muazin yang baru bangun tidur. Jama'ah yang mendengarkan pun turut terharu, berlinang air mata.

"Kalau jum'at datang, saya pun kebagian tugas mulia. Tidak hanya sekali, saya mengundang jama'ah untuk shalat jum'at. Pertama, sekitar jam sebelas, saya dipukul untuk mengingatkan umat muslim bahwa hari itu adalah hari jum'at. Umat muslim diingatkan agar bersiap-siap shalat jum'at ke masjid.

Setelah itu, sekitar jam 12 saya dipukul lagi sebagai tanda waktu shalat jum'at tiba. Saya merasa senang dan bangga turut berperan dalam mengingatkan manusia untuk beribadah kepada sang Pencipta.

Ketika hari raya tiba, baik hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, saya selalu mendapat tugas ekstra menemani orang yang bertakbir menyebut nama Allah yang Agung. Bahkan kadang bisa sampai semalam suntuk. Capek tentunya, tapi saya sangat senang dan bahagia bisa ikut berpartisipasi menemani dan mengingatkan orang-orang Islam untuk lebih dekat kepada Tuhannya.    

Pak Kiai dan Bapak-Bapak semua yang dimulyakan Allah. Itu semua cerita masa lalu. Sekarang, saat ini, lihat kondisi saya dan saudara-saudara saya. Tidak hanya di non-jobkan dari semua aktifitas tapi juga diterlantarkan di pojok-pojok masjid, di dekat toilet bahkan di sejumlah masjid sudah di buang entah kemana, tidak ada lagi juntrungannya. Kalau pun ada, kami  dicuekin atau hanya sebagai asesoris yang sesekali anak kecil datang memainkannya. Siapa yang tak sedih melihat kenyataan ini?"

Kata sang Beduk sambil mengusap air matanya yang menetes.          

"Yang paling menyedihkan adalah saya dibilang bi'dah, dibilang tidak ada dalilnya, tidak ada di zaman Nabi  atau apalah sebagai alasan untuk mengenyahkan saya dan saudara-saudara saya."  

Air matanya pun semakin deras mengucur.  Ia melanjutkan ceritanya atau tepatnya curhatannya.

"Dulu, ada sekelompok orang yang membela kami. Katanya, kami adalah sebagai warisan budaya lokal para wali khas nusantara yang harus dilestarikan. Mereka berani beradu argumen dan bahkan beradu fisik dengan orang yang melarang keberdaan kami. 

Tapi sekarang, mereka entah pergi kemana. Mereka juga sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan kami bahkan mereka juga sudah jarang mendatangi masjid atau mushola. Aku pun semakin sendiri, semakin terpojok, semakin tidak dianggap.

Pak Kiai dan para jama'ah semua. Saya merasa hidup saya tidak berguna lagi dan sangat prihatin dengan kondisi masjid yang kalau subuh datang hanya beberapa gelintir orang saja yang shalat. Setiap hari, setiap jam dan setiap menit saya menangis melihat keadaan ini. Entah jawaban apa yang harus  saya sampaikan kepada Tuhan jika saya ditanya. Ngapain saja kamu berada di dunia ini atau tepatnya di masjid ini?. Saya hanya bisa menangis dan tersungkur malu. Tidak ada jawaban yang bisa saya sampaikan."

Kiai dan para jama'ah pun semakin tenggelam dalam tangis mereka terkena hempasan badai rasa terenyuh di dada mereka.

"Kiai dan para jama'ah yang saya hormati. Atas dasar itulah, saya beranikan diri ikut shalat shubuh berjama'ah.  Awalnya saya ragu akan melakukan ini. Saya takut apa yang saya lakukan ini mengganggu para jama'ah  dan membuat kehebohan di masjid ini. Tapi semua itu saya tepis. Saya ingin hidup saya ini berguna, masjid saya ini ramai dengan orang yang shalat. 

Saya ingin melakukan sesuatu yang berguna. Jika nanti suatu saat saya meninggal dunia,  berpulang menghadap illahi rabbi, paling tidak, saya sudah punya bekal jawaban yang akan saya sampaikan. Meskipun saya tidak tahu apa yang saya lakukan ini sudah benar menurut Allah." Kata sang bedug sambil terisak tak sanggup menahan diri.  

"Selanjutnya, saya ingin menyampaikan permohon ma'af atas tidakan saya ini yang telah membuat para jama'ah kaget dan shock." Kata bedug sambil menyeka air matanya.  

"Jika diperkenankan, izinkan saya memohon kepada Pak Kiai dan para jama'ah semua untuk diperbolehan memanggil orang-orang untuk shalat. Jika diperkenankan sehari cukup dua waktu saja yaitu isya dan shubuh. Karena pada dua waktu itu biasanya umat Islam berat sekali untuk menjalankan Shalat berjama'ah. Jika itu terlalu memberatkan, izinkan saya di waktu shubuh saja. Jika itu juga memberatkan, berilah kesempatan saya sekali seminggu untuk memanggil orang-orang Islam menjalankan shalat jum'at. Jika itu juga memberatkan, izinkan saya ikut shalat berjama'ah di masjid ini.  Jika ini juga memberatkan, izinkan saya dimakamkan di depan Masjid ini jika saya meninggal nanti."

Air matanya semakin deras mengalir.          

"Terakhir, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Kiai dan para jama'ah yang telah berkenan memberikan waktu kepada saya untuk menjelaskan semua ini sehingga tidak terjadi main hakim sendiri dan anarkis ." Kata sang Bedug.

Kiai dan jama'ah masjid manggut-manggut menyimak penjelasan sang Bedug yang panjang lebar itu.  Mereka akhirnya paham mengapa Beduk itu ikut shalat berjama'ah subuh tadi.

"Baik para Jama'ah semua. Saya kira persoalannya sudah jelas. Jika masih ada yang perlu ditanyakan silakan. Tapi kalau tidak ada, saya tutup sampai disini pertemuan kita pagi ini."

Pertemuan pun akhirnya selesai. Para jama'ah pun bubar. Pulang ke rumahnya masing-masing. Sementara sang Beduk dikembalikan ke tempatnya semula dengan hati-hati. Kiai Sodri sendiri turut mengangkatnya.

Kiai Sodri dan para jama'ah sepakat untuk menggunakan bedug lagi setiap hari jum'at meskipun sudah ada speaker.

Cerita adanya bedug yang ikut berjama'ah subuh tersebar cepat. Menjadi viral di media sosial, di Facebook, group WA, Instagram dan media sosial lainnya.  Hal ini mengundang rasa penasaran banyak orang dari berbagai tempat.  

Hari itu dan beberapa hari berikutnya masjid itu pun penuh sesak dengan orang-orang yang ingin tahu dengan mata kepala sendiri tentang cerita bedug ikut shalat subuh itu. ()                              

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun