Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ketika Bedug Ikut Berjama'ah Subuh

8 Oktober 2018   12:31 Diperbarui: 8 Oktober 2018   13:09 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com

"Kalau jum'at datang, saya pun kebagian tugas mulia. Tidak hanya sekali, saya mengundang jama'ah untuk shalat jum'at. Pertama, sekitar jam sebelas, saya dipukul untuk mengingatkan umat muslim bahwa hari itu adalah hari jum'at. Umat muslim diingatkan agar bersiap-siap shalat jum'at ke masjid.

Setelah itu, sekitar jam 12 saya dipukul lagi sebagai tanda waktu shalat jum'at tiba. Saya merasa senang dan bangga turut berperan dalam mengingatkan manusia untuk beribadah kepada sang Pencipta.

Ketika hari raya tiba, baik hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, saya selalu mendapat tugas ekstra menemani orang yang bertakbir menyebut nama Allah yang Agung. Bahkan kadang bisa sampai semalam suntuk. Capek tentunya, tapi saya sangat senang dan bahagia bisa ikut berpartisipasi menemani dan mengingatkan orang-orang Islam untuk lebih dekat kepada Tuhannya.    

Pak Kiai dan Bapak-Bapak semua yang dimulyakan Allah. Itu semua cerita masa lalu. Sekarang, saat ini, lihat kondisi saya dan saudara-saudara saya. Tidak hanya di non-jobkan dari semua aktifitas tapi juga diterlantarkan di pojok-pojok masjid, di dekat toilet bahkan di sejumlah masjid sudah di buang entah kemana, tidak ada lagi juntrungannya. Kalau pun ada, kami  dicuekin atau hanya sebagai asesoris yang sesekali anak kecil datang memainkannya. Siapa yang tak sedih melihat kenyataan ini?"

Kata sang Beduk sambil mengusap air matanya yang menetes.          

"Yang paling menyedihkan adalah saya dibilang bi'dah, dibilang tidak ada dalilnya, tidak ada di zaman Nabi  atau apalah sebagai alasan untuk mengenyahkan saya dan saudara-saudara saya."  

Air matanya pun semakin deras mengucur.  Ia melanjutkan ceritanya atau tepatnya curhatannya.

"Dulu, ada sekelompok orang yang membela kami. Katanya, kami adalah sebagai warisan budaya lokal para wali khas nusantara yang harus dilestarikan. Mereka berani beradu argumen dan bahkan beradu fisik dengan orang yang melarang keberdaan kami. 

Tapi sekarang, mereka entah pergi kemana. Mereka juga sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan kami bahkan mereka juga sudah jarang mendatangi masjid atau mushola. Aku pun semakin sendiri, semakin terpojok, semakin tidak dianggap.

Pak Kiai dan para jama'ah semua. Saya merasa hidup saya tidak berguna lagi dan sangat prihatin dengan kondisi masjid yang kalau subuh datang hanya beberapa gelintir orang saja yang shalat. Setiap hari, setiap jam dan setiap menit saya menangis melihat keadaan ini. Entah jawaban apa yang harus  saya sampaikan kepada Tuhan jika saya ditanya. Ngapain saja kamu berada di dunia ini atau tepatnya di masjid ini?. Saya hanya bisa menangis dan tersungkur malu. Tidak ada jawaban yang bisa saya sampaikan."

Kiai dan para jama'ah pun semakin tenggelam dalam tangis mereka terkena hempasan badai rasa terenyuh di dada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun