Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang-orang Belakang

20 September 2018   12:14 Diperbarui: 20 September 2018   13:13 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: pixabay.com)

Senja masih menggantung ketika Pak RT mendatangi rumah kami. Sore ini, kami janji akan menemui kepala proyek pembangunan kantor kelurahan di tempat tinggal kami. Kami berenam, Saya, mas Bayu, Bang Soleh, Mpok Laela, Mas Budi dan Pak RT, berangkat dengan mengendarai motor ke kantor kelurahan yang jaraknya tak sampai selemparan batu itu.

Kami adalah keluarga-keluarga yang rumahnya berdekatan bahkan beberapa rumah berhimpitan langsung temboknya dengan kantor kelurahan. Mas Bayu berasal dari Brebes. Ia sudah lama tinggal di Jakarta  ini. Bang Sholeh asli Betawi. Sejak lahir sudah tinggal disini. Mpok Laela asli Bogor yang menikah dengan orang Betawi Asli. Sementara Mas Budi asli Solo yang juga sudah lama tinggal di Jakarta.  Saya sendiri asal Cirebon. Kami sama-sama tinggal di Kelurahan Balerombeng ini. Hubungan kami sudah seperti saudara. Sangat dekat. Jika ada masalah yang menimpa kami, kami selesaikan secara bersama-sama. Termasuk persoalan yang satu ini.

Beberapa hari sebelumnya, kami,  orang-orang belakang, demikian orang di sekitar kami menyebutnya mendatangi rumah Pak RT. Sayang waktu itu Pak RT sedang tidak ada di rumah. Kami hanya bertemu dengan istrinya. Meski demikian, kami tetap menyampaikan apa yang menjadi keluhan kami beberapa hari ini kepada Ibu RT yaitu terkait suara berisik yang datang dari pembangunan kantor Kelurahan Balerombeng.

"Ma'af Bu RT, tolong sampaikan ke Pak RT, kami merasa terganggu dengan suara berisik dari pembangunan kantor kelurahan. Berisiknya sampai malam." Kata Mas Bayu, salah seorang teman yang sudah kami anggap sebagai tetua.  
"yang jadi masalah berisiknya itu sampai jam 9 malam lebih. Kalau bisa cukup sampai jam sembilan saja." Sambung Bang Soleh." Permintaan yang sederhana dari orang kecil.

Ibu RT terlihat menyimak dengan seksama. "Saya dengar dari Bapak, proyek pembangunan kantor Kelurahan itu harus selesai bulan November. Jadi si pemborong ngejar target." Ibu RT mencoba memberi penjelasan atas informasi dari suaminya. "Tapi baiklah, nanti saya sampaikan ke Bapak." Kata Bu RT memotong pembicaraannya. Kami pun akhirnya pulang ke rumah masing-masing dengan menggendong harapan persoalan akan terselesaikan dengan cepat.

Beberapa hari kemudian, Pak RT mendatangi kami, orang-orang belakang. Kami memang pantas disebut orang belakang karena kami, lima rumah itu letaknya di belakang sekitar seratus meter dari jalan kecil kelurahan. Tak jauh dari rumah kami kantor kelurahan Balerombeng yang sedang dibangun. Bangunan lamanya diruntuhkan. Untuk sementara kantor Kelurahan Balerombeng pindah ke rumah yang tak jauh dari lokasi kantor kelurahan. "Gue tanggapin komplain lu Leh" kata pak RT dengan logat Betawinya. Sepertinya Pak RT biasa bahasa Betawi jika bicara dengan orang asli Betawi seperti bang Soleh.

Setelah ngobrol kesana kemari. Akhirnya kami berangkat menuju kantor kelurahan. Disana kami disambut oleh Ibu Lurah Santi dan stafnya. Sementara kepala proyek belum terlihat daun telinganya.

Ibu Lurah mempersilahkan kami untuk duduk. "Silakan-silakan duduk." Kata Bu Lurah ramah.
"Ada apa sebenarnya nih sampai beramai-ramai kesini?"
Setelah duduk. Kami mengisi daftar hadir di selembar kertas yang disodorkan Bu Lurah di meja.  
"Begini Bu Lurah. Warga saya ini ingin menyampaikan komplain terkait pembangunan kantor kelurahan."
"oh ya. Terus apa yang dipermasalahkan?" tanya Bu Lurah.
"Ayo langsung aja sampaikan mumpung ada Ibu." Kata Pak RT.
Sambil menghilangkan grogi saya mengambil air mineral yang telah disediakan.
"saya minum Bu" kata saya.
"Oh ya. Silakan."

"Begini Bu Lurah." Kata mas Bagus memulai pembicaraan.
"Kantor Kelurahan kan sedang dibangun tuh. Tak-tak-toknya itu sampai malam. Itu sangat mengganggu kami."
"Oh begitu, iya karena mereka dikejar target. Mereka harus selesai November. Mohon dimaklum aja." Kata Bu lurah.
"Iya Bu Lurah, kami berani komplain ke Ibu karena Bu Lurah sendiri yang bilang waktu di acara arisan RT. 'Kalau ada sesuatu masalah sampaikan aja ke saya', begitu waktu itu."

"oh begitu ya. Kalau akan begini jadinya, saya tidak akan bilang begitu deh." Kata Bu Lurah.
 "Kalau begitu mulai detik ini. Perkataan saya itu saya cabut."

Saya merasa kaget dengan pernyataan Bu lurah itu.
"Kok begitu Bu. Penyataan Ibu memberi peluang warga untuk mengadu ketika ada masalah adalah sesuatu yang sangat bagus. Jangan sampai itu dihilangkan. Itu malah salah." Kata saya.
"Kalau banyak yang komplain saya pusing." Kata Bu Lurah. Seperti tidak ada beban.
"Iya itu memang tugas Lurah. Kalau gak mau pusing ya jangan jadi Lurah." Sungut mas Bayu.
Kata-kata mas Bayu membuat muka Bu Lurah memerah menahan emosi. Nafasnya terlihat memburu.    
"Kalau tahu warga banyak yang komplain begini saya tidak akan mengajukan pembangunan kantor kelurahan ini." Kata Bu Lurah melanjutkan. Kata-kata yang keluar dari mulut Bu lurah seperti bukan dari seorang pejabat.   

"Kami maklum Bu Lurah, tapi tolong perhatikan juga hak istirahat kami. Kalau sampai jam lima bolehlah. Kata mas Bayu berusaha tenang.

"Lalu usulnya apa?" tanya bu lurah.
 "Kalau bisa paling malam  sampai jam 9 malam saja."
"Betul Bu. Apa lagi teman saya ini, mas Budi, itu kerjaanya tukang sayur di Pasar. Jualannya malam. Sore sampai jam sebelas tidur. Kalau malamnya berisik kapan istirahatnya?  kalau kerja bangunan itu sampai larut malam itu namanya kurang ajar." Kata mas Bayu menyengat.
"apalagi siang juga berisik." Sambung bang Soleh.
Suasana menjadi tegang. Mpok Laela yang duduk sebelah saya berbisik
"saya jadi takut kang Agus."
"Tenang saja tidak akan apa-apa." Kata saya menenangkan.
Ibu Lurah berdiri dengan raut muka tidak senang. Diambilnya hp di tasnya lalu "hallo, Babinsa tolong ke kantor kelurahan. Ada hal penting." Kata Bu Lurah dengan nada serius.
Sementara Saya berbisik ke mas Bayu "ngapain telpon-telpon Babinsa coba."
"mungkin dia pengen gertak kita kang." Kata mas Bayu.
sementara staf kelurahan sibuk mengambil gambar kami beberapa kali dengan camera handphonenya. Kami sempat curiga. Jangan-jangan foto-foto kami akan dijadikan dokumentasi untuk mengenal kami. Pada gilirannya kami akan dipersulit dalam mengurus surat-surat di kelurahan.  

Suasana semakin tegang. Untuk sementara semua orang terdiam menahan nafas. Hanya suara jarum jam yang terdengar.

Pak RT duduk  di belakang Bu lurah. Dia diam, tidak memberikan komentar. Dari cara bicaranya, waktu dia ke rumah kami,  kami merasa Pak RT ada di belakang pihak kami sebagai warganya. Apalagi sebelumnya ia bercerita sangat kesal dengan sikap Bu Lurah dan Kepala Proyek itu. Pasalnya, ia sebagai ketua RT 12 tempat dimana lokasi Kelurahan itu berada tidak diundang pada acara peletakan batu pertama pembangunan gedung kantor Kelurahan Balerombeng yang akan dibangun.

"Saya merasa tidak dianggap sebagai ketua RT. Masa dalam peletakan batu pertama saya tidak diundang. Saya marahin aja kepala proyek dan Bu Lurah itu. Abis songong." Dengan nada emosi. Begitu waktu itu Pak RT berkeluh kesah.    

Suhu AC kantor kelurahan tak sanggup mendinginkan hati kami semua. Suasana terasa panas.

Kepala proyek yang ditunggu-tunggu tidak juga datang. Setelah staf kelurahan menjemputnya, yang datang hanya stafnya.

"Ini dia orang proyek. Silakan jelaskan." Kata Bu Lurah.
Staf proyek ini menjelaskan seperti apa yang disampaikan oleh Bu Lurah tadi. Bahwa proyek pembangunan kantor kelurahan ini harus selesai bulan november. Kalau tidak selesai, perusahaannya  akan terkena denda.

Itu kan urusan kalian. Kenapa kalian ambil proyek itu tanpa mempertimbangkan lokasi dan kondisi masyarakat sekitar. Bisik hati saya.  

"Kami tidak muluk-muluk, hanya minta kegiatan proyek berhenti sampai jam 9 malam. Biar kami bisa istirahat. Terutama mas Budi yang kerjanya malam." kata mas Bayu mempertegas kembali.

"Baik. Saya akan sampaikan ke kepala proyek." Kata si staf dengan tenang. Sepertinya ia enggan berdebat lebih panjang.

Kami, orang-orang belakang, merasa plong telah berhasil menyampaikan unek-unek kami kepada orang proyek dan Bu Lurah. Meskipun kami tidak yakin mereka akan menanggapi keluhan kami.

Sebelum kami komplain, saya bilang ke mas Budi sebagai orang yang terdampak langsung berisiknya pembangunan kantor kelurahan tersebut.   "Apa yang akan kita sampaikan ke pihak proyek?" waktu itu saya bertanya. "iya kita merasa terganggu dan komplain." Kata mas Budi. "kalau tidak ditanggapi?"
"Mestinya mereka mengerti. Jika mereka memang dikejar target dan tidak bisa dikurangi jadwal kerjanya harusnya ada kompensasi bagi warga yang terkena dampak negatif dari pembangunan kantor kelurahan itu." Saya mengangguk-angguk tanda mengerti jalan pikiran mas Budi.    

Malam setelah pertemuan kami dengan Bu Lurah, kami sengaja memperhatikan betul apakah ada perubahan. Ternyata kami masih mendengar tak tok itu. Artinya komplain kami tidak digubris sama sekali. Masih tetap berisik, bising dan gaduh.  

Malam-malam berikutnya kami masih mendengar tak, tok, berisik itu. Kami pun hanya bisa mengurut dada. Dalam hati saya mendumel. Ketika orang besar ada maunya, orang kecil harus menurutinya. Tapi ketika orang kecil meminta sedikit, orang besar menjadi tuli tak mau peduli.

Orang-orang belakang kembali kehidupan sehari-hari. Di waktu senggangnya, kami main ludo, makan-makan bareng, bercanda dan merencanakan silaturahmi sekalian jalan-jalan menghilangkan penat.    

Jakarta, 19 September 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun