Suara gonggongan anjing sayup-sayup terdengar.
"Selepas tikungan pertama kita akan melewati rumah tua itu. Awas jangan lari ya, kalau mendengar sesuatu." Pak San mengingatkan. Â Â Â
Selepas tikungan, sekitar dua puluh meter lagi ke arah rumah tua, bulu kudukku mulai merinding.
Rumah tua itu sudah mulai kelihatan. Lampu bolham 5 watt menggantung di teras depan bergoyang-goyang tertepa angin. Â Â
Wangi bunga kenanga menyeruak memburu hidung. Kami semakin dekat ke rumah tua itu. Sesekali Ko Chi memukul kentongan yang dijinjingnya mengusir sepi. Suara lolongan anjing semakin jelas terdengar. Sayup-sayup terdengar tangis seorang perempuan. Sendu, mengiris terbawa angin. Â
"Sssstt....." Pak Amri menempelkan telunjuknya di bibirnya.
"ada suara perempuan menangis" suaranya Pak Amri pelan seperti berbisik.
"Tidak terdengar suara apa-apa." kata Pak San.
Kok Chi menengglengkan kepalanya. "iiih..... iya, ada suara tangis seorang perempuan." Sorot senter diarahkan ke rumah tua oleh Pak San. Tak terlihat apa-apa. Kucing yang tertimpuk sinar senter lari kocar kacir. Â
Senter diarahkan ke tempat lain. Terlihat dinding-dinding yang mengelupas bagaikan tubuh yang terluka dan bernanah.
Tangis itu terasa menyayat. Terdengar di ruang pojok bawah. Pindah ke tengah. Di lantai atas dan terhempas angin malam. Seperti tangis penyesalan. Tangis kekecewaan. Tangis penderitaan. Tangis kemarahan. Â
"Sudak tak terdengar lagi tangisnya." Kata Pak San memecah kesenyapan.