Mohon tunggu...
Abdurohman Sani
Abdurohman Sani Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kejujuran: Romantisme Keadilan dan Kompleksitas Mental

16 Mei 2024   10:06 Diperbarui: 16 Mei 2024   10:14 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KEJUJURAN : ROMANTISME KEADILAN DAN KOMPLEKSITAS MENTAL

Oleh

Maman Abdurohman

Edisi

Bilba

Keadilan merupakan representasi dari kebenaran yang memiliki karakteristik tunggal (Al Haq), yang membangun kesadaran jiwa manusia secara universal mengenai keteraturan dan keseimbangan, membentuk sebuah konsep yang merajut benang-benang kompleksitas moral manusia, mengundang kita untuk menelusuri lorong-lorong gelap dan terang dari kebenaran universal. Dalam perjalanan panjangnya, keadilan menjadi panggilan jiwa yang tak terelakkan, membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam tentang keteraturan kosmik yang mengendalikan alam semesta.

Namun, seperti petualangan di lautan yang tak berujung, selama berabad-abad manusia terus berputar-putar dalam labirin perdebatan yang tak kunjung usai tentang esensi keadilan. Dalam bisingnya sorak-sorai intelektual, kita seringkali tersesat dalam gangguan ego dan kepentingan diri, melupakan esensi sejati dari apa yang kita sebut sebagai keadilan, dan perdebatan itu tidak akan pernah selesai, karena sebenarnya mereka bukan sedang memperdebatkan keadilan, melainkan memperdebatkan apa yang pantas dan tidak pantas menurut versi diri atau golongannya masing masing.

Sesungguhnya, keadilan adalah bunga yang tumbuh di taman yang subur, tetapi juga ranting yang menjulang tinggi di medan yang tandus. Perdebatan yang menggema dari zaman ke zaman hanya mencerminkan kebingungan manusia yang tak pernah benar-benar memahami hakikat keadilan itu sendiri.

Para pemikir dan filosof yang menjelajahi lautan keadilan melalui kata-kata mereka yang penuh kebijaksanaan sering kali terperangkap dalam jaring-jaring asumsi dan kepentingan pribadi. Dengan setiap pena yang menodai kertas putih, mereka mencoba merangkai kata-kata menjadi jalinan pemikiran yang menggugah jiwa, namun seringkali terjebak dalam hampa kekosongan yang tak terhingga.

Selama ini 'Materil' keadilan dalam perdebatan itu telah terdistorsi dan menjadi Bias ; Sebagaian menganggap ini bisa dipengaruhi berbagai faktor seperti latar belakang Agama, sejarah, geografis, sosial, ekonomi, budaya dan lain lain, tapi "itu sebenarnya bukanlah masalahnya!" Masalahnya adalah ketika faktor-faktor itu dipersonifikasi kedalam sebuah kepentingan.

Oleh karena demikian, mau tidak mau kita harus mengakuinya secara jujur bahwa mental kita sebagai manusia tidak pernah benar-benar menerima keadilan itu sendiri. 

Para cendekiawan yang meneliti dan menawarkan solusi keadilan, para aktivis yang menggaungkan tuntutan keadilan dan mengkritik ketidakadilan, para eksekutor yang membuat kebijakan tentang keadilan, para legislator yang mengonseptualisasikan keadilan, para yudikatif yang mengimplementasikan keadilan, serta masyarakat yang menangis memohon keadilan - semuanya seakan belum pernah benar-benar menerima keadilan dalam diri mereka.

Para cendekiawan 'menulis tentang keadilan' dengan nyaman dalam kemudahan birokrasi akademis dan regulasi intelektual, memperoleh konsensus dengan relatif mudah, sementara yang lain bahkan tak pernah mendapat kesempatan untuk dipublikasikan. Pada hakikatnya, mereka tidak sedang menulis tentang keadilan, melainkan mengurung keadilan dalam teks, sehingga teori-teori keadilan yang mereka bangun pun runtuh pada dirinya sendiri.

Para aktivis yang berteriak menuntut keadilan hanyalah karena mereka atau kelompoknya tidak memiliki kesempatan dan kemudahan yang diberikan oleh lingkungan yang tidak adil. Sebenarnya, mereka tidak berteriak demi keadilan, melainkan mengurung keadilan dalam tuntutan mereka.

Seorang eksekutor yang memberikan kebijakan tentang keadilan untuk masyarakat, namun tidak berlaku pada diri atau kelompoknya sendiri, sebenarnya tidak sedang memberikan kebijakan yang adil, melainkan merantai keadilan dalam kebijakan tersebut.

Seorang legislator yang membuat aturan tentang keadilan berdasarkan konsensus kepentingan dan kelompok terkuat, pada hakikatnya tidak sedang membuat aturan tentang keadilan, tetapi membelenggu keadilan dalam kebijakan.

Para yudikatif yang melaksanakan konsep keadilan dengan kendali kelompok dan golongan, sebenarnya tidak pernah menegakkan keadilan, melainkan mengurungnya di balik jeruji.

Ironinya, masyarakat yang menangis ingin mengharap keadilan, sementara mereka terus merasa nyaman dengan kesempatan-kesempatan tertentu, seperti menyalip antrian atau mendapat kemudahan dari koneksi yang dimiliki. Mereka sebenarnya tidak sedang mengharap keadilan, melainkan mengikat keadilan di balik kelemahan mereka sendiri sehingga keadilan akan terus melemah.

Kita, serta apa-apa yang kita pertahankan, kita lepaskan demi keadilan.

Kita, serta apa-apa yang kita sediakan dan kita layani demi keadilan.

Kita, serta apa-apa yang kita bela dan yang dibela demi keadilan.

Semua tersusun diatas konstruksi mental yang tidak pernah benar-benar siap menerima keadilan.

Oleh karena itu, keadilan akan terus berada di dalam kepala, hanya akan terus bernaung di balik kata-kata, teks, undang-undang, dan objek penelitian yang tak pernah menemukan pangkal ujungnya. Keadilan akan terus dan terus menjadi utopia belaka, selama mental manusia belum benar-benar menerimanya dalam keseluruhan eksistensinya.

Kita terus saja berbicara, berdebat, mengharap, berteriak tentang keadilan, sementara kita masih merasa nyaman dengan apa yang kita sebut sebagai ketidakadilan - kemudahan membuat tulisan sementara yang lain sulit, kemudahan mendapat kesempatan sementara yang lain mengantri, kenyamanan karena memiliki otoritas dalam membuat kebijakan, kenyamanan karena memiliki kekuasaan untuk mengadili, serta kenyamanan karena memiliki koneksi untuk mendapatkan kemudahan.

Seolah-olah, kita telah menjadikan keadilan sebagai sebuah objek yang dapat kita olok-olek, kita bungkus, kita rantai, kita kurung, dan kita belenggu sesuai dengan kepentingan dan kenyamanan kita masing-masing. Kita telah menjadikan keadilan yang sesungguhnya adalah subjek moral universal sebagai sebuah konsep yang dapat kita definisikan, kita perdebatkan, kita teorikan, dan kita implementasikan sesuai dengan kehendak kita, tanpa pernah benar-benar memahami esensi keadilan itu sendiri dengan memberangus materialnya dan mengubur dalam dalam esensinya didalam reruntuhan puing-puing nafsu bejat kita. 

Padahal, keadilan sejatinya adalah sebuah kondisi eksistensial yang harus dihayati dan diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Keadilan bukanlah sekadar konsep yang dapat kita perdebatkan, melainkan sebuah kesadaran yang harus kita hayati dalam setiap denyut nadi keberadaan kita. Keadilan bukanlah sekadar aturan yang dapat kita buat, melainkan sebuah kebijaksanaan yang harus kita wujudkan dalam setiap tindakan kita.

Selama kita masih merasa nyaman dengan apa yang kita sebut sebagai ketidakadilan, selama kita masih merasa superior dan berhak atas kemudahan-kemudahan tertentu, selama kita masih merasa bahwa keadilan adalah sesuatu yang dapat kita manipulasi, kita bungkus, kita rantai, kita kurung, dan kita belenggu, selama itu pula kita akan terus berpura-pura dengan dalih bahwa kita belum benar-benar memahami esensi keadilan dan pada akhirnya keadilan hanya dimaknai dalam dua kata "Kesempatan dan tidak Mendapat Kesempatan."

Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan yang sejati, kita harus terlebih dahulu menjadi manusia yang adil dalam diri kita sendiri. Kita harus menghayati keadilan sebagai sebuah kondisi eksistensial yang menyatu dengan seluruh aspek kehidupan kita. Kita harus menjadikan keadilan sebagai sebuah kebijaksanaan yang menuntun setiap tindakan kita. Hanya dengan cara inilah, kita dapat benar-benar mewujudkan keadilan yang sejati di dalam diri kita, di dalam masyarakat, dan di dalam seluruh tatanan kehidupan.

Mari kita renungkan, bukan sekadar dengan akal budi yang terbatas, tetapi dengan jiwa yang terbuka dan tulus. Mari kita jadikan keadilan bukan sekadar topeng yang kita kenakan di hadapan dunia, tetapi cermin yang memantulkan kebenaran dari dalam diri kita sendiri. Dan dalam perjalanan kita mencari makna keadilan, semoga kita dapat menemukan bahwa keadilan sejati bukanlah tujuan yang harus dicapai, melainkan perjalanan yang harus dihayati setiap saat dalam setiap langkah kehidupan kita.

Inilah esensi dari keadilan: sebuah perjalanan spiritual yang membawa kita menuju kesadaran yang lebih dalam tentang hakikat kebenaran dan keadilan dalam diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun