Mohon tunggu...
Abdurohman Sani
Abdurohman Sani Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Esensi Hukum di Balik Kebebasan dalam Perspektif Tasauf Falsafi

21 Desember 2022   11:54 Diperbarui: 21 Desember 2022   12:14 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ESENSI HUKUM DIBALIK KEBEBASAN DALAM PERSPETIF TASAUF FALSAFI.

Secara sederhana dan sesingkat mungkin seseorang bisa katakan 'Hukum adalah sebuah peraturan', disamping itu semangat Kebebasan dalam esensi fundamennya menolak seluruh batasan yang mana Kebebasan tidak di sebut Bebas jika ada batasan yang mengaturnya. lalu dimana korelasi antara Hukum dan Kebebasan, dimana benang merah yang mempertemukan Hukum dan Kebebasan itu sendiri didalam Harmoni kehidupan ini.

Mulai dari pemahaman sederhana tadi kita bisa memulainya dengan :

"Hukum dan Kebebasan!"

Berbekal paparan di atas, bukankah kedua diksi ini terdengar sangat kontradiktif.

Untuk sementara mari kita keluarkan personifikasi dari personnya, membebaskan pemikiran dari cabang-cabangnya dan kembali kepada hal yang esensial, fundamental, radikal ; sebagai upaya untuk memoderatkan sebuah pemikiran kita perlu berpijak pada apa atau dimana setiap konstruksi pemikiran dibangun : karena pada dasarnya pemikiran manusia akan bersepakat pada perkara yang pokok, berhubungkait pada batangnya dan akan berselisih/bercabang pada rantingnya (Radikal, Sistematis, Universal).

Baca juga: Kecacatan Akal

Dewasa ini kita sering melihat gejolak perselisihan antara Hukum dan Kebebasan, disatu sisi ada kebebasan yang diteriakan dan disisi sebelahnya ada Hukum yang ingin di berlakukan terlepas dari mana sumber atau siapa yang membuat peraturan itu. Perlu di ingat ini juga bukan tentang keberpihakan, dipihak mana dan membela siapa atau apa, tapi sekedar sebuah upaya memposisikan fikiran dengan moderat. Dari arah yang sama timbulah pertanyaan mengesampingkan seluruh Mazhab Hukum dan Kebebasan ; "Kebebasan semacam apa yang sedang kita perjuangkan dan Hukum dalam bentuk apa yang kita kehendaki?"

Kemudian mari kita mulai dari : "Apa gunanya Hukum bagi kebebasan, apakah kebebasan memerlukan hukum, atau justru Hukum adalah tiran bagi kebebasan?"

Secara fragmatis permasalahanpun muncul dalam fikiran saat pertanyaan ini dibangun "Kita menolak suatu Peraturan Hukum dengan alasan kebebasan dan kita menerima Aturan yang lainnya dengan Alasan apa?"

Baca juga: Musyawarah Ombak

"ini kebebasan atau kompromi."

Sementara kita berteriak-teriak tentang kebebasan, di waktu yang sama kita menerima sebagian peraturan. Bukankah itu artinya kita telah menghianati semangat kebebasan itu sendiri.

lalu Kebebasan semacam apa yang kita maksud dan Hukum yang seperti apa yang kita kehendaki?

Mari kita membuka jalur perdamaian denga melirik Hukum dari kaca mata kebebasan universal sebagai bentuk jamak dari kebebasan yang tersusun berlandaskan sel-sel kebebasan individu, semoga bisa mereduksi dua esensi abstrak dalam ide, mengkongklusikan dan mengharmonisasi kedua eksistensi yang sangat penting bagi kehidupan ini.

Mari kita coba mereduksi keduanya.

Pertama Coba kita uji dengan memberikan syarat pada Hukum berdasarkan kebebasan yang kita inginkan semisal :

1. "Hukum itu mesti memberikan 'kebebasan'! jika tidak, itu buakan Hukum tetapi 'belenggu'."

2. "Hukum merupakan instrumen abstrak dalam kehidupan untuk sebuah kebebasan Universal."

3. "Hukum merupakan sebuah ikatan yang menjalin simpul-simpul kehidupan sama sekali tidak boleh menjadi belenggu kebebasan."

4. "Hukum mewakili kebebasan setiap indifidu demi kebebasan universal."

5. "Hukum harus terbebas dari faktor-faktor diluar dirinya."

"Berbicara Hukum artinya berbicara masalah Keadilan, berbicara Keadilan berarti tentang Kebenaran namun sebuah Nilai tidak diciptakan kemudian, ia telah ada pada mulanya : karena itu tidak ada yang bisa menciptaan sebuah nilai melainan hanya merekayasa saja, (karnanya bahkan seorang ilmuan yang menginofasi sesuatupun tidak disebut pencipta melainkan penemu), setelah itu yang harus kitalakukan adalah membebaskannya dari semua belenggu dari segala emosi dan kepentingannya yang lahir dari apa yang kita kenal sebagai Hawa Nafsu.

Selanjutnya saya bertemu dengan sebuah kesimpulan berdasarkan beberapa sumber yang sepertinya selaras dengan tuntutan tuntutan pemikiran mengenai kontradiksi Hukum dan Kebebasan guna melakukan pendekatan yang lebih moderat untuk mereduksi keduanya bahwasannya

"Hukum itu tentang 'berita gembira dan peringatan'[1] sama sekali 'bukan sebuah belenggu karena manusia diciptakan dalam keadaan merdeka maka hiduplah sebagaimana yang Allah ciptakan'[2] dan kebenaran tidak boleh dipotong-potong menjadi beberapa bagian lalu meletakannya dalam sebuh sistem kehidupan'[3], kebenaran seperti purnama yang ditampilan secara utuh pada pertunjukan langit dan 'janganlah menjadi seperti setan-setan yang mencuri dengar tentang berita berita langit lalu ia bisikan kepada para teman-teman mereka (tukang sihir) dan diantara kebenaran berita yang mereka curi, mereka menambahkan 100 kebohongan kedalamnya'.[4]"

Berdasarkan paparan dan Referensi di atas saya menyimpulkan secara pribadi bahwasannya Hukum seolah berfungsi sebagai delegasi Tuhan di dunia ini, hadir diantara atau ditengah-tengah subjektifitas dan objektifitas kehidupan ini berkenaan dengan segala tindakan dan perbuatan Hukum, berfungsi hanya sebagai rambu rambu secara normatif dan memaksa atau mengikat secara alami. Secara normatif Hukum hanya berkata 'tidak boleh' namun secara alami Hukum berkata 'tidak bisa'.

Secara alami Hukum mengikat dan memaksa ; maksudnya hukum ini ada sejak mula dan tidak dibentuk kemudian sebagi sebuah nilai yang ajek  semisal hukum yang berlaku pada alam dan atau tubuh kita ; artinya pada saat yang sama hukum berfungsi sebagai 'Hak' yang harus dipenuhi dan tidak bisa diabaikan, inilah yang selanjutnya melekat atau dibahawa setiap indifidu yang membentuk hak universal terhadap subjek-subjek hukum dan objek-objek hukum sebagai suatu kesinambungan.

Mari kita lihat dari arah mana hukum dilahirkan yang berlaku secara normatif berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditulis dan atau dikodifikasi maupun tidak tertulis yang telah disepakati oleh halayak ramai manusia dalam sebuah komunitas atau kelompok tertentu dan tentusaja berdasarkan judul diatas saya tidak akan menjelaskannya secara tekstual atau tersurat.

Mari kita uji apakah benar sang Hukum mengekang kebebasan manusia?

Mari kita melakukan sebuah pendekatan moderat berdasarkan kebebasan yang ramai digaungkan yaitu Hak Asasi manusia yang selanjutnya kita sebut sebagai HAM terlepas kita setuju atau tidak setuju terhadap konsep HAM yang telah disepakati di dunia internasional dan sementara ini atau seterusnya anggaplah saya sepakat dengan itu,  karna secara subjektif dan objektif, secara radikal, sistematis dan universal konsep kebebasan yang kebanyakan digunakan untuk membentur Hukum samasekali tidak akan bisa melukai sang Hukum dan samasekali tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk membuktikan kebohongan akademis atau untuk membuktikan sebuah kecacatan sang hukum.

Saya akan mengilustrasikannya dengan sebuah argumentasi fundamen berupa sebuah dialog antara Hukum dan Kebebasan ;

ILUSTRASI 1

Kebebasan : "Saya berhak melakukan apa saja tanpa batasan apapun karena saya memiliki Hak asasi yang tidak seorangpun atau apapun boleh merenggutnya, itulah arti kebebasan secara."

Hukum : "Yah kau boleh melakukan apa saja, delegasi itu sama sekali tidak ku tolak."

Dari ilustrasi dialog diatas apakah itu artinya "HUKUM TIDAK BERFUNGSI.?!"

ow tentu tidak demikian kesimpulannya...

Mari kita lanjutkankan kepada ilustrasi dialog empiris mengesan suatu konflik terhadap perbuatan-perbuatan hukum diantara subjek-subjek hukum, selanjutnya akan kita wakilkan dengan "Subjek A dan Subjek B ;

ILUSTRASI 2

Subjek A : "berdasarkan dialog diatas saya bisa berbuat apa saja terhadapmu (subjek B)!"

Subjek B : "berdasarkan perkataanmu pula aku juga memiliki kebebasan untuk merespon apa saja terhadap perbuatanmu (subjek A)."

Dari ilustrasi 2 di atas tentu kita tidak melihat peran Hukum secara eksplisit. pertanyaannya "DIMANA HUKUM SAAT ITU?"

Mari kita telisik lebih jauh ;

Saat itu Hukum berfungsi sebagai penengah yang akan melindungi kedua Hak itu (A&B); "si A boleh berbuat apa saja dan si B pun demikian!."

Namun secara alami si B bisa saja merespon tindakan si A dengan berlebihan, disinilah Hukum hadir atau harus dihadirkan sebagai delegasi yang paling moderat agar kedua Hak terjaga dan atau terpenuhi selanjutnya inilah yang disebut 'maksud / tujuan Hukum'.

maksud hukum ini sejatinya tidak dibentuk manusia tapi dia lahir secara alami berdasarkan hak-hak indifidu yang menuju keseimbangan universal.

dari sini kita melihat dari arah mana hukum lahir, selanjutnya inilah yang kita sebut atau kita kenal sebagai 'SUMBER HUKUM'.

Dari sumber hukum inilah terbagi "Sumber Hukum Materil dan Sumber Hukum formil."

Catatan  :

1. Perhatikanlah lebih dalam tentang berita ini!

"

Yang artinya: "Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan."

2.

:

:

 ( )

Rasulullah SAW telah bersabda, telah datang kepadaku Malaikat Jibril, dan Ia berkata: "Wahai Muhammad, Hiduplah sesukamu (tapi ingatlah) sesungguhnya engkau akan mati. Berbuatlah sesukamu (tapi ingatlah) sesungguhnya engkau akan diberi balasan karenanya. Cintailah siapa yang kamu suka (tapi ingatlah) sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin terletak pada shalat malamnya dan kehormatannya adalah 'mencukupkan diri dari meminta kepada manusia'. "(HR. ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Ausath no 4278, Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliyaa, al-Hakim dalam al-Mustadrak 7921 Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 2/483)

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).

3.

Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, "Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain)," serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir),

{An-Nisa 150}

4.

-

Artinya: dan sesungguhnya kami (jin) dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri dengar (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa (mencoba) mencuri dengar (seperti itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya).

-- --

"Para malaikat saling berbicara di atas awan dan awan-awan yang gelap tentang berbagai urusan yang akan terjadi di bumi lalu didengar oleh setan-setan kemudian setan-setan itu membisikkannya pada telinga para dukun sebagaimana botol ditiup lalu setan-setan itu menambah urusan yang didengarnya itu dengan 100 kedustaan." (HR. Bukhari no. 3288).

to be continue...

by

Maman Abdurohman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun