Mohon tunggu...
GOOD THINGS
GOOD THINGS Mohon Tunggu... -

♥ Mamak Ketol ♥ PEREMPUAN bersarung yang suka gonta-ganti nama sesuai judul tulisan terbaru ♥ "Nothing shows a man's character more than what he laughs at."(Goethe) ♥

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Main Course: William Singh

13 Juni 2010   23:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

[caption id="attachment_166109" align="aligncenter" width="480" caption="Kaeng Kiew Wan Goong ©Mamak Ketol™"][/caption]

Main course atau makanan utama kami pun tiba dan diantar satu persatu. Empat tungku pemanas telah diletakkan berjajar di tengah meja beberapa menit yang lalu. Kaeng Kiew Wan Goong datang dalam wadah berbentuk ikan, dan ditempatkan di tungku pertama. Sup kental ala Thailand ini berisikan udang (king prawn), saus kari hijau, terong ungu, dan rempah-rempah segar. Karena banquet yang kami pesan adalah paket seafood, maka seluruh masakannya terdiri dari makanan laut.

Masakan kedua adalah Drunken Fish. Tiga potong ikan Cod untuk tiga orang. Ikan digoreng dan ditumis dengan cabe, daun basil, potongan buncis, makhua phuang (terung pipit atau Turkey Berry), dan bumbu dapur khas Thailand. Dinamakan drunken (mabuk) karena di Thailand sendiri santapan ini biasanya disajikan bar-bar kelas menengah.

[caption id="attachment_166116" align="aligncenter" width="500" caption="Drunken Fish (kiri) dan Goong Priew Wan (kanan) ©Mamak Ketol™"][/caption]

Berikutnya adalah Goong Priew Wan, udang berukuran sedang yang diolah dengan saus asam manis dengan campuran tomat, bawang bombai dan paprika hijau.

Pinggan terakhir pun datang. Pad Talay terdiri dari campuran cumi dan udang yang dimasak dengan lada hitam dan saus tausi (black bean sauce). Seafood-nya ditumis dengan irisan cabe merah, batang seledri dan paprika merah. Benar-benar seafood medley, kesukaanku. Semua tampak cantik dan dihiasi sayuran dan daun segar seperti wortel, lobak dan coriander (daun ketumbar).

[caption id="attachment_166120" align="aligncenter" width="500" caption="Pad Talay (kiri) dan Jasmine Rice (kanan) ©Mamak Ketol™"][/caption]

Dan yang tak ketinggalan adalah tiga “pundi-pundi” berisikan Khao Suay alias nasi Jasmine Thailand.

Jarak waktu antara starter dan makanan utama yang relatif singkat tak membuat selera kami surut, justru semakin lapar.

Seperti biasa, Kanya mengabadikan semua makanan yang tersedia. Setelah selesai memotret, dia mempersilahkan kami makan.

“Ikan apa ini? Hm … ini pasti Cod,” kata Will menjawab sendiri pertanyaannya.
“Kalian tau, Cod ini adalah ikan yang biasa dipakai dalam menu Fish and Chips,” sambung Will lagi.

Tentu saja Will lebih tau tentang kuliner Inggris dibanding aku dan Kanya. William Singh lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Sikh. Lahir di Amritsar, India, pada usia 5 tahun ia dan orang tuanya hijrah ke Inggris.

Kanvir Singh, ayah Will, adalah pekerja ulet dan pintar melihat peluang. He was not born with a silver spoon in his mouth - Singh senior bukan terlahir sebagai orang "terhormat" yang kaya-raya. Dari usaha membuka rumah makan sederhana yang menjual masakan India, Singh senior kini memiliki 3 restoran India di tiga kota.

Will kemudian melanjutkan kuliahnya ke negara Ketol. Sebagai anak lelaki pertama, Will adalah aset sekaligus penerus usaha yang telah dirintis oleh ayahnya. Singh senior membelikan Will sebuah studio di daerah Brookline untuk ditempati selama kuliah. Selain itu ayah Will juga memiliki beberapa properti di kawasan sekitar untuk disewakan ke mahasiswa. Mulai dari satu apartemen yang dulunya dibeli untuk ditinggali William, hingga dua rumah lagi yang salah satunya kami huni bertiga.

Delapan tahun sudah berlalu, kami bertiga sudah banyak berubah. Will tak lagi mengenakan turban nya. Dia menggantinya dengan bandada untuk menutupi rambutnya yang panjang dan tak pernah dipotong.

“Kuah Kaeng Kiew Wan Goong nya lezat sekali ya …,” kataku sambil menyendoki kuah yang tersisa. Dari segi penampilan, bagiku makanan ini mirip dengan sayur lodeh yang dimasak dengan makanan laut. Hanya saja didominasi dengan bumbu-bumbu khas Thailand. Hm … ada irisan rebung yang tersisa dan kupindahkan ke piringku. Takaran kekentalan santan dan lemongrass (sereh) sangat pas dan tidak meninggalkan efek enek. Gurih, harum dan segar. Berbeda dengan Clam Chowder yang kental dan "berat".

Will yang sudah selesai makan, kini memandangiku. Aku balik memandanginya. Ada setetes kuah yang nempel di cambang nya. Kuambil tisu dan kulap perlahan.

Pramusaji datang untuk mengemasi piring kami. Mereka tampak terlatih dan sigap. Piring diangkat dari sebelah kanan kami. Pada saat pramusaji membereskan meja, Kanya pamit ke toilet.
“Excuse me,” katanya sambil mengisyaratkan bahwa dia akan ke lantai dasar. Restoran ini memang memiliki toilet dan ruang makan tersendiri di bagian basemen.

“She looks different,” cetus Will.
“Maksudmu … karena pergi ke toilet?” tanyaku asal.
“Bukan, penampilannya yang beda,” jawab Will sambil memandangi Kanya yang menuruni tangga.
“Mungkin rambutnya, rambutnya yang dulu panjang ikal kini diluruskan.”
“Yes, that’s it!”

“Sekarang dia lebih mirip Ayu Azhari,” kataku sambil menggambarkan siapa Ayu Azhari ini kepada Will.
“Dan kalung salib itu … masih saja dipakainya!”
Aku dan Will paham sekali, kalung itu tak pernah lepas dari leher Kanya. Menurut Will, entah mengapa kalung itu mengingatkannya pada Madonna.
“Kalung ini mengingatkanku pada kekasihku,” begitu jawab Kanya selalu kalau ada yang menanyakan keberadaan salib itu.

Kanya … Kanya … dia punya cara tersendiri untuk mengumumkan dan mencitrakan dirinya. Anak perawan Kanya yang masih “suci” dan “polos”, dan mendambakan lelaki yang sama “polosnya”. Pria dambaan Kanya itu hanya ada pada sosok “kekasihnya,” Sang Khalik. Meskipun, sebagai wanita “normal”, Kanya diam-diam menaruh hati pada Will. Will yang dengan brewoknya yang tak pernah dicukur itu mengingatkan Kanya dengan penampilan kekasihnya. Hidup “bersama” di bawah satu atap, tentu saja kami pernah melihat Will tanpa penutup kepalanya. Dan di mata Kanya, penampilan Will tampak seperti Yesus yang amat dicintai Kanya.

Belasan tahun hidup di negara Ketol sedikit banyak mengubah gaya hidup Will. Dia hanyalah pria "normal" yang memiliki kebutuhan dan dorongan seksual yang “sehat”, dan aku, Euis Dahlia putri Haji Didin Mahidin, bukan wanita pertamanya.

Ketertarikan Will kepada Kanya awalnya hanya iseng semata. Will memiliki persepsi awal yang keliru tentang wanita asal Thailand. Merebaknya berita-berita usang dan terkini tentang Mail Order Bride dan berita populer sejenis kala itu sempat membuat Will berpikiran negatif tentang Kanya. Namun, sampai saat ini Will masih terheran-heran dengan "virginitas" Kanya.

Kepada Will, aku selalu mengatakan bahwa keberadaan Kanya dapat dimaknai dengan cara yang berbeda-beda. Di satu sisi Kanya merepresentasikan "kesucian", tapi di sisi lain, Kanya mempromosikan hal yang sama sebagai sesuatu yang harus diagung-agungkan secara berlebihan. "Keagungan" yang mungkin dapat ditafsirkan sebagai bentuk "pelecehan" wanita sekaligus "pembodohan" terhadap pria dan wanita. Selain itu sosok Kanya sedikit banyak telah mengubah cara pandang seseorang terhadap apa yang disebut dengan "Thai girls", setidak-tidaknya di mata Will.

Begitu Kanya tiba dan duduk, pramusaji menanyakan apakah kami menginginkan hidangan penutup sekarang. Tanpa dikomando secara serentak kami menjawab “yes”.

(Menurut Mamak Ketol dessert nya minggu depan aja, krek krek krek.)

Tulisan sebelumnya: Starter: A Table for Three

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun