Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengatasi Anak yang Kecanduan Game

4 September 2021   06:00 Diperbarui: 6 September 2021   05:23 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah online di masa pandemi sebenarnya tak hanya soal gawai, akses internet, dan tugas-tugas sekolah yang banyak. 

Namun, ada beberapa masalah yang dihadapi oleh orangtua. Salah satunya adalah anak bermain game hingga tak jarang menyebabkan kecanduan.

Dampak buruk pandemi ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini sudah saya alami di awal-awal sekolah online. Sebuah pengalaman yang membekas dan terasa berat. Mungkin bisa jadi itu adalah salah satu masa tersulit dalam pengasuhan anak yang saya rasakan.

Itu juga yang akhirnya memaksa saya untuk terus belajar lagi untuk menjadi orangtua yang lebih baik. 

Ada banyak perasaan campur aduk di dalamnya. Antara rasa bersalah, lelah, kesal, marah, dan kecewa.

Kecanduan game online tak bisa dipandang sepele

Sebelum pandemi, banyak orangtua seperti saya memang membolehkan anak bermain game saat akhir pekan. 

Hal yang wajar karena hari-hari biasa anak-anak tak sempat dan tak diizinkan main game, mereka sekolah dari pagi sampai sore.

Nah saat pandemi dan sekolah harus online, ini menjadi masalah karena sekolah menggunakan laptop dengan akses penuh wifi di rumah, tentu ada godaan bermain game.

Biasanya yang terjadi adalah begini, awalnya orangtua memberi aturan boleh main game setelah sekolah selesai. 

Alih-alih untuk hiburan di masa pandemi, namun yang terjadi adalah anak lupa diri. Sering mencuri waktu bermain saat sesi, lupa makan, lupa waktu, dan berlanjut hingga malam apalagi game online yang dimainkan banyak teman dan sepanjang waktu.

Hal ini sudah pasti membuat tensi orangtua langsung melejit! Istilah orang Jawa: budrek. Orangtua mulai ngomel dari cara halus sampai yang teriak, tapi anaknya santai saja.

Secara naluri, orangtua tentu tahu apakah hal itu wajar atau sudah mengarah ke kecanduan. 

Sebagai orangtua, kita juga sebaiknya introspeksi, apakah kurang perhatian terhadap anak atau ada masalah pada anak. 

Tak bisa dipungkiri anak juga lelah dan bosan sekolah online. Akan tetapi yang tak kalah penting jika memang ada tanda yang mengarah kepada kecanduan, hal ini tidak bisa dianggap sepele.

Kecanduan game bisa membuat anak mudah marah dan membangkang (Foto : pixabay/martakorton)
Kecanduan game bisa membuat anak mudah marah dan membangkang (Foto : pixabay/martakorton)
Tanda kecanduan game yang saya amati adalah perubahan perilaku yang drastis. Bagaimana anak tak lagi fokus dengan sekolah, tak lagi mau bermain dengan saudaranya, cenderung asyik sendiri dengan game-nya, mulai membantah, membangkang, dan mudah marah. 

Saya melihat game ini mampu mengubah karakter anak. Hal ini sangat membahayakan jika tidak diatasi.

Naluri ibu pasti tahu bahwa anak tidak lagi bisa mengontrol dirinya sekaligus seolah dikontrol oleh hal lain, yaitu game ini. 

Berangkat dari sini, sebaiknya orangtua mulai mengambil sikap dan solusi.

Pentingnya orangtua yang berotoritas

Dari kelas parenting yang saya ikuti, saya mendapat pencerahan tentang pentingnya otoritas orangtua. 

Sepanjang anak masih di dalam pengasuhan orangtua, maka orangtua berotoritas penuh terhadap anak.

Otoritas yang dimaksud bukan sikap otoriter yang menggunakan kekerasan. Namun lebih pada pertanggung-jawaban sebagai orangtua dalam pengasuhan lewat cara yang baik dan benar.

Sekarang ini, tak jarang orangtua malah manut dengan anak. Membiarkan anak dengan kemauannya karena takut berkonflik. Hubungan yang begini adalah "harmoni yang palsu" karena tidak menyelesaikan masalah.

Padahal otoritas orangtua ini penting. Bukan semata supaya anak hormat kepada kita, tapi lebih pada menghargai dan menghormati bahwa orangtua adalah wakil Allah di dunia. 

Jangan sampai seperti pepatah jawa "Kebo nusu gudel" (induk kerbau yang menyusu pada anaknya).

Diskusi dan berikan pengertian

Tindakan konkrit yang kami lakukan sebagai orangtua yang berotoritas waktu itu adalah memanggilnya dan duduk bersama. Orangtua dan anak berdiskusi bersama, saya, suami, dan anak saya.

Diskusi yang sebenarnya menyedihkan kalau diingat. Saya tanya pada anak saya maunya apa. Saya katakan, "Mama ingin kamu berhenti main game online." Saya jelaskan bahwa game itu hanya hiburan dan tidak masalah jika tidak main game.

Bahkan saya katakan orang tidak akan mati jika tidak main game. Tidak masalah juga dianggap tidak gaul. Bermain game hanya membawa pada kebiasaan negatif. Puji syukur, anak mulai mengerti.

Diskusi bagi anak pra remaja dan remaja sangat penting. Mereka butuh untuk didengarkan dan diberi pengertian, setelah itu baru dibuat kesepakatan.

Jangan setengah-setengah!

Mengatasi kecanduan game tak akan berhasil jika setengah-setengah. Mungkin di sini ada yang punya pendapat berbeda. Tapi pengalaman saya, harus di-stop total dan tidak bermain game sama sekali.

Kecanduan bukan masalah disiplin waktu atau aturan. Ketika seseorang sudah pada tahap kecanduan, dia akan kehilangan kontrol diri. 

Bahkan saya pernah membaca artikel yang mengatakan bahwa memberi anak game online sama saja dengan memberi narkoba! Jadi, jangan setengah-setengah dalam mengatasinya.

Berikan aktivitas substitusi

Langkah selanjutnya setelah anak tidak bermain game adalah memberikan aktivitas pengganti untuk hiburan. 

Saya berpikir hiburan tak harus game, bahkan lebih baik yang non-gawai. Wong sekolah sudah di depan gawai terus.

Membaca sebagai aktivitas substitusi (Foto : pixabay.com/Pezibear)
Membaca sebagai aktivitas substitusi (Foto : pixabay.com/Pezibear)
Aktivitas substitusi bisa bermacam-macam. Bisa bermain sepeda, membaca buku, menonton tv, dan lain-lain. Memang terkesan tidak menarik, tapi itu lebih baik dan lebih bermanfaat.

Konsisten dan komitmen orangtua

Perihal yang namanya kecanduan itu tidak mudah. Orang dewasa yang kecanduan media sosial atau drakor saja kadang susah untuk berhenti apalagi untuk anak-anak.

Tapi sepanjang yang saya jalani, ketika kita konsisten dan teguh dengan kesepakatan bersama, maka akan berhasil. 

Terkadang orangtua tidak tega dan mengijinkan kembali untuk waktu sebentar. Ini yang akan membuat anak kembali bermain game lagi.

Saya pun pernah tak tega ketika anak saya memohon untuk kembali bermain. Ada rasa sedih tapi saya harus konsisten dan teguh.

Hmmm...saya akui pergumulan orangtua dalam hal ini tidak mudah. "Teori gampang! Ngomong apalagi..." Pun bagi saya, masalah ini membuat saya berdarah-darah. Tapi jika kita menyerah artinya kita kalah.

Salam tangguh untuk orangtua di masa pandemi ini! Semoga bermanfaat.

Artikel ditulis untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa ijin penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun