Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Punya Anak

31 Agustus 2021   06:00 Diperbarui: 31 Agustus 2021   06:03 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku punya anak (Foto ilustrasi : pixabay.com/Endho)

"I love you, Mommy!" celotehnya riang. Bertubi-tubi aku mendapat ciuman si putra bungsu di pipiku. Aku tentu bahagia seperti namaku : Falisha.

Masih terlukis indah juga kenangan bersama kakaknya sewaktu umurnya sama dengannya. Waktu itu kuantar ke sekolah. Dia tiba-tiba dia ingin diantar sampai kelas. Begitu sampai kelas, dia mengatakan ingin buang air kecil dulu.

Aku pun mengantar ke toilet. "Nanti mama pulang dulu. Kalau sudah selesai, mama jemput lagi, " kataku.

" Okeeey..." jawabnya ragu. "But, I'm gonna miss you, Mommy... Huaaa..." lanjutnya dibarengi tangis mengiba. Air matanya menganak sungai membuatku tak tega meninggalkannya. Ternyata dia sengaja berlama-lama karena tak ingin berpisah dariku.

Aku ikut sedih. Tapi juga bahagia karena aku dirindukan olehnya. Ya, oleh putri kecilku yang sudah mengubah hari-hariku.

Hmmm.. mengingatnya terkadang membuatku tak habis pikir. Betapa hidup ini penuh keajaiban. Sesuatu yang indah, yang tak pernah terpikirkan dan terbayangkan!

Ya, aku adalah perempuan biasa yang punya dua anak. Orang mengatakan sudah lengkap karena punya "sepasang", perempuan dan laki-laki. Tentu ini membuat aku bersyukur.

Namun tahukah bahwa semasa muda pernah terlintas dalam pikiranku untuk tidak ingin punya anak. Bahkan pernah terlintas juga untuk tidak menikah!

Jika mengingatnya, aku merasa betapa konyolnya masa mudaku. Darah muda yang menginginkan kebebasan tanpa kekangan. Kutertawakan masa laluku. Sungguh betapa dangkalnya pikiranku.

Hari-hari yang kulalui dalam hidup ini banyak mengajarkanku. Bahwasanya di bawah kolong langit ini ada kuasa besar yang tak bisa kita ingkari. Sesuatu yang punya otoritas penuh atas nafas hidup manusia. Dialah pemberi nafas pada nyawa kita.

Hidup menuntunku pada sebuah kesadaran bahwa ada pengalaman traumatis dalam diriku. Sebuah ketakutan bawah sadar yang begitu besar.

Baiklah. Mungkin kamu ingin tahu mengapa aku ragu dan takut untuk punya anak. Pertama, karena aku takut melahirkan. Setelah aku renungkan, ternyata ketakutan ini berawal dari pengalaman traumatis masa kecil.

Dulu waktu aku masih di bangku SD, tetangga depan rumah sedang hamil. Aku membayangkan nantinya bayi yang dikandung akan lahir lucu seperti dalam foto-foto bayi. Lucu dan menggemaskan.

Nah, sewaktu tetangga ini lahiran di rumah, aku penasaran. Karenanya, aku pergi ke rumahnya dan melihat bayi yang baru saja lahir. Ya, benar-benar baru brojol dari rahim sang ibu.

Aku kaget ternyata bayi baru lahir berwarna merah dan mungil sekali. Aku kasihan. Bahkan kepalanya kecil seperti wayang golek. Ya, wayang golek yang dimainkan dalang sebagai selingan pertunjukan wayang kulit.

Aku takut wayang golek. Bagiku wayang golek adalah tontonan seram waktu itu. Kepala wayang golek menggeleng-geleng. Entah apa alasannya aku takut.

Belum lagi mendengar percakapan orang dewasa waktu itu. Sang suami harus mencuci kain-kain bekas yang dipakai untuk lahiran. Dan itu bekas darah. Hiii... pikiran kecilku langsung terbayang melahirkan itu berdarah-darah.

Kemungkinan berangkat dari sini, aku takut sekali melahirkan. Mengapa perempuan harus melahirkan? Sebuah pertanyaan liar menggaung dalam pikiranku.

Setelah aku dewasa dan bekerja, rupanya cerita melahirkan makin horor. Banyak ibu-ibu di kantor kalau bercerita tentang melahirkan seram dan menegangkan. Duh.

Aku menyerah dengan hebohnya ibu-ibu dengan cerita-cerita proses melahirkan. Bukaan satu, bukaan dua, diinduksi, sungsang, terlilit tali pusat, plasenta previa, dan masih banyak lagi. Herannya mereka bilang kapok, tapi kok ya tetap hamil lagi. Hahaha...

Itu adalah alasan pertama. Alasan kedua adalah aku tidak percaya diri menjadi ibu. Aku orang yang cuek, bukan lemah lembut dan keibuan. Memegang bayi saja tidak berani, bagaimana mau punya anak?

Memang ada jasa pengasuh bayi, tapi bukankah itu hanya sebuah delegasi. Tanggung jawab tetap pada kita orangtuanya?

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk berserah pada Sang pemilik kehidupan. Tak semua hal di dunia ini bisa di logika. Adakah seseorang di dunia ini bisa melawan kehendakNya?

Itu juga kepasrahanku saat menunda untuk punya anak karena aku berpacaran singkat saja sebelum menikah. Dalam setahun, aku tetap deg-degan. Aku tak mau hamil tanpa rencana. Alat kontrasepsi? Ah, tak menjamin 100%. 

Kita tak pernah tahu skenario Tuhan. Aku pasrah kalau toh dikasih tak masalah. Karenanya, kusimpan berdua saja dengan suamiku keputusan menunda ini. Alasan yang sangat personal, tak perlu semua orang tahu. Aku pun tak terlalu tersinggung dengan omongan orang.

Genap setahun, akhirnya aku putuskan untuk siap punya anak. Suamiku pun sudah siap. Bersama orangtuaku, aku mengunjungi Gua Maria Sendangsono untuk berdoa. 

Aku memohon Sang Bunda Allah turut mendoakanku. Suatu bentuk kepasrahan karena aku dan suamiku tahu bahwa anak adalah otoritas Allah yang tak bisa diatur-atur oleh manusia. Kita hanya bisa meminta kepadaNya.


Tak ada yang perlu disombongkan. Bahkan orang yang subur pun belum tentu dikaruniai anak jika Allah belum berkehendak. Ini bukan karena aku dan suamiku religius. Bukan. Tapi lebih pada pengalaman hidup bahwa ada kuasa yang lebih besar, Sang sumber kehidupan.

Mungkin aku hafal hanya satu-dua ayat kitab suci. Tapi aku dan suamiku meyakini keberadaan Allah. Percayakah kami berdoa sebelum melakukan hubungan di waktu yang kuperkirakan subur itu? Saat itu kami hanya percaya bahwa anak adalah dariNya. Bukan semata usaha manusia.

Bersyukurnya, bulan depannya aku tak lagi mendapat haid. Artinya, aku akan hamil dan punya anak. Momen bahagia bagi kehidupan pernikahan kami. Yes, we were really want you at the time, baby!

Masih teringat jelas dalam ingatan, bagaimana suami menjagaku dan kandunganku. Terlalu manis untuk tidak membekas di jiwa.

Sembilan bulan kemudian, putri cantik hadir diantara kami. Ada rasa bahagia yang melebihi indahnya kata-kata. Hari-hari berikutnya adalah hari terbaik dalam hidupku. Jalan hidup yang tak pernah terpikir dan terbayangkan.

Adakah yang lebih manis ketika ada makhluk mungil memanggil kita : "Mama" atau "Papa" ? Dan setelah mereka bertumbuh dan bisa bicara, selalu mengatakan "I love you" padamu.

Hmmm... inilah "madu" kehidupan yang kusesap. Kini aku punya dua anak yang berkata demikian padaku. Tuhan sungguh baik.

Cikarang, 31 Agustus 2021

*brojol : keluar spontan

-- Cerita ini fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan cerita hanya sebuah kebetulan --

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun