Banyak tantangan ketika menjadi orangtua. Beda anak tentu beda karakter. Beda jenis kelamin pun ternyata beda peristiwa pada fase tumbuh-kembangnya. Karenanya, orangtua dituntut untuk terus belajar.
Belum lama ini, saya cukup kaget melihat si Bungsu laki-laki (4 tahun) yang sering memegang alat kelaminnya. Kadang memainkannya. Tiap kali seperti itu, saya selalu bilang "Ayo tutup celananya, malu loh!" Dia pun menurut.
Jika sudah begitu saya alihkan dengan bermain atau mengobrol. Namun suatu hari saat mandi, tiba-tiba dia berkata "Mommy, look... it is just like a ball!"
Waduhh... seketika juga saya menaikkan alis mata. Saya lihat dia sedang memegang alat kelaminnya dan memainkan sembari mengeksplorasi bentuknya.
"Oh iya, tapi jangan dipegang lagi. Yuk sikat gigi, " kata saya untuk mengalihkan. Saya berusaha untuk terlihat biasa meskipun kaget. Setelah itu ya sudah, dia tak lagi seperti itu.
Dari situlah saya mulai perdalam masalah ini karena setahu saya memainkan alat kelamin pada balita itu normal. Hanya saja daripada tidak salah, saya cek-ricek dan belajar lagi.
Jujur saja, ini adalah hal baru karena si Sulung perempuan dan tidak melewati fase seperti ini.
Lucunya lagi, disaat kakaknya sudah memasuki pubertas, adiknya justru sedang getol-getolnya bermain dan eksplorasi. Begini akibatnya jika jarak lumayan jauh. Orangtua harus memulai dari awal lagi hehe
Normal Kok Jika Balita Memainkan Alat Kelamin!
Dari banyak artikel yang saya baca, selain perkembangan fisik dan psikologis ternyata anak juga mengalami perkembangan psikoseksual.
Teori perkembangan psikoseksual diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Menurut Freud, setiap individu akan melewati fase-fase perkembangan psikoseksual sejak kecil. Fase-fase ini akan mempengaruhi karakter atau kepribadiannya saat dewasa nanti.
Nah, mengacu pada teori perkembangan psikoseksual, anak balita usia 3-6 tahun sedang berada pada fase phallic. Di usia mulai 3 tahun, anak sudah mulai mengenal identitas kelaminnya.
Seperti si Bungsu di umur 3 tahun, dia sudah mampu mengenali bahwa dirinya "boy". Setelah itu dia mampu membedakan antara "boy" dan "girl". Ini sejalan juga dengan sekolahnya.
Setelah tahu identitasnya, si Bungsu mulai mencari perbedaan antara keduanya. Dia mulai bertanya, "Mom, is this earing?" sambil memegang anting saya. Dia mulai tahu hal-hal kecil, misalnya mama dan kakak memakai anting sedangkan dia dan papanya tidak.
Lalu berlanjut dengan eksplorasi lain, salah satunya senang memegang alat kelaminnya. Jadi, ini merupakan hal yang normal dan tak perlu disikapi berlebihan.
Apalagi anak sekarang yang lebih kritis dan mampu menganalisa setiap peristiwa. Suatu hari si Bungsu mandi bersama papanya. Begitu selesai, dia menghambur ke saya.
"Mommy, punya adik small but punya papa is big!" katanya sambil menunjukkan alat kelaminnya. Saya pun tertawa. Memang di sekolah sedang belajar konsep "big and small". Aduh, tepuk jidat bener kalau begini.
Yang Harus Dilakukan Jika Balita Memainkan Alat Kelaminnya
Setelah mengetahui bahwa balita (terutama laki-laki) yang senang memainkan alat kelaminnya adalah normal, bukan berarti orangtua membiarkan saja.
Dari banyak artikel yang saya baca, sebaiknya perilaku ini kita cegah.
Tujuannya supaya anak mengerti bahwa itu bisa melukai atau menyebabkan infeksi jika tangan kotor. Selain itu, supaya tidak menjadi kebiasaan. Bisa jadi dengan perilaku ini, balita mendapat sensasi menyenangkan. Jika perilaku ini menjadi kebiasaan, tak ayal lagi bisa mempengaruhi tumbuh-kembang dan karakternya.
Jadi, kurang lebih begini sikap yang harus diambil oleh orangtua :
1. Jangan Panik
Saya bersyukur ketika melihat si Bungsu memainkan alat kelaminnya, saya tidak bereaksi berlebihan. Kekagetan saya sebatas pada saat melihat kenyataan ternyata si Bungsu berada di fase ini, bukan pada aktivitas yang dilakukan.
Jika saya tidak tahu bahwa fase phallic itu normal, mungkin saya akan panik, kaget, dan bereaksi berlebihan. Mungkin ini yang menyebabkan ada orangtua yang berteriak dan memarahi balitanya.
Dari obrolan ig live Parentalk bersama psikolog Margareta Triastuti, MPsi, orangtua disarankan bersikap tenang dan tidak bereaksi berlebihan saat menemukan balitanya sedang memainkan alat kelaminnya.
Sikap tenang dan reaksi yang tidak berlebihan ini penting karena saat itu balita sedang mengeksplorasi rasa ingin tahunya. Seperti si Bungsu saya, dia terlihat ingin tahu "isi" di dalamnya dan ternyata dia menemukan bahwa bentuknya seperti bola.
Apa jadinya jika saya berteriak dan memarahinya. Tentu yang ditangkap anak, "kok mama marah, padahal aku cuma ingin tahu bagian tubuhku yang ini?"
Contoh reaksi berlebihan yang sebaiknya dihindari adalah memarahi, mengancam, melabel, dan atau mempermalukan. Misalnya, "Jangan pegang-pegang! Ih jijik! Awas ya kalau pegang-pegang nanti disunat loh!"
2. Alihkan dengan aktivitas lain
Setelah melihat anak balita memainkan alat kelaminnya, selain tenang dan tidak panik maka orangtua perlu mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Misalnya, mengajak untuk kembali bermain, membaca buku, dan seterusnya.
Sampai saat ini, cara pengalihan ini terbukti mampu mencegah si Bungsu untuk berhenti memainkan alat kelaminnya.
Di sini orangtua harus konsisten untuk mencegah. Jangan pernah bosan untuk mengalihkan. Masa phallic hanya sampai umur 5 tahunan. Nanti di usia 6 tahun, anak sudah masuk ke fase silent (6-12 tahun) di mana masa ini tak terlihat aktivitas psikoseksual.
3. Beri Edukasi Seks
Dari beberapa artikel yang saya baca, semua menyarankan untuk orangtua memanfaatkan "momen" ini sebagai waktu yang tepat untuk edukasi seksual anak. Minimal mulai memperkenalkan bagian tubuh dan alat kelaminnya secara benar.
Saya melakukan hal ini, saya ajarkan bahwa alat kelaminnya dinamakan penis. Tapi si Bungsu malah mengatakan bahwa itu bukan penis tapi iwil-iwil. Hadehhh.... saya memang pernah mengatakan demikian sekilas sewaktu dia belum lancar bicara. Eh, ternyata terekam.
Itulah yang menjadi "PR" saya untuk memperkenalkan nama kelamin dengan nama yang benar, yaitu penis. Syukurnya sekarang dia sudah bisa menyebutkan nama penis ini.
Tantangan orangtua di Indonesia adalah penyebutan nama kelamin dengan banyak istilah kiasan yang lucu. Ini bisa jadi membingungkan anak jika kita tidak konsisten.
Edukasi seks ini saya lakukan secara santai dan pelan-pelan. Misalnya, saat dia tak mau pakai celana sehabis mandi. Saya akan mengatakan, "Harus pakai celana dulu, penisnya kelihatan malu loh... nanti bisa kotor dan gatal kalau tak pakai celana, "
Malahan saya terbantu oleh kakaknya yang ikut nimbrung, "Iya, punya adik nggak boleh keliatan. Nggak boleh ada yang pegang kecuali papa sama mama, "
Menjadi orangtua yang sadar edukasi seksual
Melalui kejadian ini, saya pribadi disadarkan betapa pentingnya edukasi seksual sejak dini. Hal ini membuat saya semakin sadar untuk lebih bijak dan memanfaatkan momen yang ada sebagai waktu yang tepat mengajarkan pendidikan seks.
Hmmm.. ternyata menjadi orangtua banyak lika-likunya. Namun harus tetap disyukuri ketika Allah sudah memilih kita menjadi partnerNya dalam membesarkan anak-anak.
Semoga bermanfaat.
***
Referensi 1
Referensi 2
Referensi 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H