"Mau baca cerpenku nggak?" tanyanya dengan nada ramah dan sopan. Aku baru pulang praktikum. Mas ini adalah tetangga depan kostku.
Aku sangat kaget. Tak kusangka Mas ini baik dan sopan. Selama ini aku menilai dia urakan dan galak laiknya mahasiswa jurusan sosial.
"Boleh. Terimakasih ya, Mas!" ucapku sembari menerima lembaran cerpen yang ditulisnya. Sejak itu kupanggil "Mas Cerpen" karena tiap kali punya karya baru selalu disodorkan padaku.
"Nanti kasih masukan ya? Aku lagi belajar nulis cerpen, " katanya.
Aku sih senang-senang saja. Lumayan dapat bacaan gratis. Cerpennya juga bagus dan bermutu.
Mas Cerpen orangnya sangat dewasa dan humanis. Kadang aku dan teman-temanku usil dan asal komentar. Dia selalu sabar. Dia selalu menempatkan diri sebagai kakak.
"Mas, kenapa sih baca buku mesti di depan kost? Persis pinggir jalan lagi! Mau lirik-lirik cewek ya?" godaku. Jujur saja pertanyaan ini penting kuajukan.
Aku dulu sempat sebal tiap keluar kost selalu ada dia duduk di depan pintu kost. Anehnya itu dia duduk di lantai persis dekat selokan.
"Nggak lah... Aku tuh sedang melatih konsentrasi. Dengan banyak orang yang lewat, aku harus fokus membaca. Itu akan melatih konsentrasiku, " jawabnya.
"Jadi, kalau ada cewe cantik, ujian banget dong?" tanyaku usil.
"Makanya itu..." sahutnya.
Duh, benar-benar aneh. Bayangin Mas Cerpen ini berambut gondrong dan membaca buku yang lebih tebal dari Farmakope Indonesia! Entah buku apa. Jam 6.00 pagi sudah nongkrong. Aneh kan?
Tapi sudahlah, mungkin seperti itu seorang "sastrawan". Kalau aku hanya penggemar sastra yang salah jurusan di eksak. Hahaha...
Suatu hari aku mengembalikan cerpennya. Aku sedikit kesal dengan ceritanya.
"Mas, ini setting tempat kok mirip kamarku? Ada gorden merah jambu? " kataku sedikit ketus. Aku tersinggung sudah dijadikan objek cerita dari cerpennya.
"Ide saja. Boleh dong? " sahutnya ringan.
"Iya, tapi tokoh perempuannya binal! Sudah gitu pakai acara dipan berderit. Mesum ah..." bantahku keras.
"Ya sudah, aku buat lagi deh!" jawabnya sabar.
Mas Cerpen memang selalu begitu. Dia tidak cakep tapi asyik untuk diajak ngobrol. Bercakap dengannya selalu menyenangkan.
"Mas, sudah baca novel terbaru Ayu Utami belum? Bagus loh!" tanyaku.
"Aku lagi nggak baca novel sastra dulu. Itu akan mempengaruhi karyaku, " jawabnya. Aku pun cuma bisa mengatakan, "Ohhh...."
Pokoknya susah mengerti jalan pikirannya Mas Cerpen. Tapi herannya cerpennya selalu bagus. Aku tahu dia perlu memvalidasi karyanya bisa diterima oleh pembaca awam.
"Na, kamu dulu punya pacar kan? Yang dulu anter malam-malam naik becak itu?" tanyanya.
"Oh, itu... Wes suwe, Mas! Nggak diputus, tapi ditinggalin gitu aja. Ya wes lah, beda agama juga! " sahutku.
"Dia romantis kan? Ganteng itu, Na... Sebenarnya cocok banget loh, " katanya.
"Iyaa... tapi masa lalu. Sudah, jangan diungkit! Sekarang saatnya cari yang baru. Kenalin temanmu, Mas. Buat pendamping wisuda... aku sudah penelitian ini, " kataku.
"Nggak ada. Temanku nggak ada yang masuk kriteriamu. Jarang yang mau sama anak Farmasi. Praktikum terus! Terlalu serius! Makan hati... Hahaha" ledeknya puas.
"Hmmm... memang cewe jurusanku susah laku! Jurusan banyak cewe paling sama anak teknik. Eh, ngomong-ngomong Mas nggak pingin lulus? Santai banget eh... Tuh, mba Tami sudah kerja di Kompas, " tanyaku.
"Iya, hebat memang Tami langsung diterima di Kompas. Aku santai saja, Belanda masih jauh... Hahaha... " jawabnya. Mas Cerpen sepertinya kandidat MA (Mahasiswa Abadi).
Benar kan, Mas Cerpen memang aneh. Dia 3 tingkat diatasku. Harusnya dia sudah lulus. Dulu pernah kuliah setahun di PTN kota sebelah, kemudian pindah sekampus denganku.
Anehnya lagi, sebelumnya dia ambil jurusan matematika. Sekarang malah jurusan hubungan internasional. Tapi sehari-hari nulis cerpen!
Hari berlalu, bulan berganti, tahun berubah. Aku terlalu sibuk dengan urusan skripsiku. Aku absen membaca cerpen-cerpennya.
Menjelang wisuda, aku berkemas dan pindah kost. Tak sempat aku berpamitan dengannya. Orang yang selalu memanggilku Nana, padahal namaku Karina.
Kini puluhan tahun berlalu. Kemarin kubaca di salah satu media online. Mas Cerpen benar-benar menjadi cerpenis tersohor. Keren!
Kutepikan waktu untuk menulis cerpen ini. Jika takdir membawa Mas Cerpen singgah disini, aku hanya ingin mengatakan, "Heiii... Anda layak dapat bintang!"Â
Cikarang, Juni 2021
Catatan : Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan cerita, nama, dan tempat adalah kebetulan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H