Aku memang gengsi. Lebih baik "tidak laku" daripada mengemis dijodoh-jodohkan. Atau semacam "ditawar-tawarkan" ke orang. Iya kalau cocok, kalau tidak? Suami itu tak bisa ditukar tambah!
Kulihat mbak Menuk, teman kerjaku itu bingung dengan sikapku. Sebenarnya tak masalah jika cuma berkenalan saja tanpa target nikah dan "rembug tua". Tapi kalau perjodohan yang terburu-buru harus nikah disertai optimisme palsu? Ah tidak... lebih baik mundur.
"Menikah bukan soal umur, tapi soal kesamaan visi hidup dan komitmen, " itu prinsipku.
Mbak Menuk dan beberapa orang akhirnya tahu aku perempuan "alergi perjodohan".
Baiklah, biarlah kuceritakan kenapa aku tak mau dijodohkan. Tapi simpan saja untukmu ya... Aku malas nanti mereka datang lagi dan membujukku lagi. Aku tak enak hati menolak, tapi aku lebih tak nyaman lagi dengan perjodohan.
---
Pada masa kecilku, ada drama berseri yang tayang di TVRI. Aku rajin menontonnya. Salah satunya adalah Siti Nurbaya. Mungkin ada yang ingat? Berarti kita satu frekuensi, eh satu angkatan ya? Jadul banget...
Dalam ingatanku, drama yang dibuat berdasarkan cerita novel Marah Rusli ini sangat apik. Tokoh Siti Nurbaya diperankan oleh Novia Kolopaking, sedangkan Syamsul Bahri diperankan oleh Gusti Randa. Peran antagonis yang waktu itu membuat kesal adalah Datuk Maringgih yang diperankan oleh Him Damsyik.
Semua yang pernah menonton drama ini, pasti sangat benci dengan perjodohan disini. Bayangkan, Siti Nurbaya yang cantik sangat serasi dengan Syamsul Bahri yang ganteng. Mereka sama-sama muda dan saling mencintai.
Roman antara Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri sangat menarik. Sayangnya, penonton harus menahan sabar dengan kelakuan Datuk Maringgih dan orangtua Siti Nurbaya. Perjodohan yang teramat dipaksakan!
Aku masih ingat, akupun ikut sedih dan tersedu waktu itu. Kasih tak sampai antara Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri. Itu yang membuatku kesal, mengapa tidak ada pilihan untuk Siti Nurbaya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!