Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Big No, Memilih Sekolah karena Gengsi!

11 Januari 2021   12:00 Diperbarui: 11 Januari 2021   13:10 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi (pixabay.com)

Jangan gara-gara gengsi, anda kehilangan mimpi. ~Merry Riana~

"Sayang kalau bolos, sekolahnya mahal!" begitu jawab seorang ibu muda yang masih ada hubungan kerabat dengan nada sedikit pamer. Ketika itu saya bertanya mengapa anaknya tidak ikut serta. Padahal waktu itu momen yang penting dan seharusnya anaknya ikut. Tapi saya tetap berpikir positif.

Namun, di lain waktu ibu muda itu kembali "pamer". Kali itu memamerkan kemampuan bahasa Inggris anaknya yang sekolahnya mahal itu. Anaknya dengan centil mengajak si Sulung ngobrol dengan bahasa Inggris. Saya pun tak ambil pusing.

Nah, suatu kali saya diberi kabar kalau ibu muda ini mengambil kredit mobil dengan uang muka dari orangtuanya. Mobil ini untuk antar-jemput sekolah anaknya. Belum lagi berita ini-itu yang intinya masih minta bantuan orangtua. Bukan hak saya berkomentar. Sudahlah.

Hanya saja, saya jadi berpikir mengapa memilih sekolah anak hanya karena gengsi? Apakah menyekolahkan anak di sekolah mahal ini jadi tren? Untuk mencari eksistensi? Untuk validitas bahwa dia orang kaya? Bukankah dengan begitu malah menyiksa diri dan mengaburkan tujuan pendidikan anak? Hmmm...

Pengalaman saya saat mencari sekolah untuk si Sulung kira-kira delapan tahun lalu sepertinya biasa saja. Mungkin karena saya bukan tipe yang njelimet dan saya punya prinsip sendiri. Memang ada kebingungan juga karena waktu itu kami belum lama pindah di Cikarang.

Fokus pada anak

Jika kita memilih sekolah hanya karena mahalnya dan untuk gengsi semata, bukankah kita sendiri yang rugi? Sebaiknya, orangtua kembali ke tujuan awal pendidikan anak ini untuk apa. Tentunya kita ingin anak yang bertumbuh dan berproses menjadi anak yang cerdas dan berkarakter.

Akan lebih tepat jika kita fokus pada anak, bagaimana kemampuannya, nyaman tidak dengan sekolahnya, terlalu jauh-tidak dari rumah. Toh nantinya bukan kita yang bersekolah, tapi anak kita.

Pengalaman saya saat memilih sekolah untuk si Sulung sangat sederhana. Waktu itu iseng lihat baliho acara open house suatu sekolah. Iseng karena open house ini diadakan setahun sebelum si Sulung masuk sekolah. Waktu itu datang bertiga. Setelah presentasi dari sekolah, si Sulung langsung bilang, "I want this school, Mama".

Karena dia sudah suka dan sangat antusias, papanya langsung beli formulir pendaftaran hari itu juga (Hadehh...). Padahal saya sempat ragu,  karena baru survei dua sekolah. Namun, karena saya lihat kurikulum sekolah, manajemen, guru, kebersihan, dan fasilitas baik, akhirnya saya mantap.

Seimbangkan dengan kemampuan finansial

Sebagai orangtua, tentu kita ingin anak kita mendapat pendidikan yang terbaik. Namun, bukan berarti memaksakan diri jika sekiranya akan membuat keuangan keluarga tak sehat.

Kondisi keuangan keluarga yang tak sehat akan mempengaruhi kehidupan keluarga, termasuk tumbuh-kembang anak. Mengenai ini, tentu dibutuhkan kejujuran diri masing-masing orang yang sifatnya internal rumah tangga.

Apakah saya bermaksud nyinyir lewat tulisan ini? Tidak sama sekali. Saya menghargai pilihan orang kok. Tapi coba lihat, pasti ada kejadian serupa di sekitar kita.

Bahkan saya pernah membaca buku tentang perencanaan keuangan keluarga. Di buku itu, ada contoh kisah keluarga muda yang masih tinggal bersama orangtuanya. Kemudian anaknya disekolahkan di sekolah yang mahal yang menyedot 30% total penghasilan.

Masalah timbul ketika mereka pindah rumah dan membeli rumah secara KPR. Keuangan carut marut hingga akhirnya membayar sekolah dengan pinjaman dana tunai yang bunganya juga aduhai. Pasti kita sudah bisa menduga kelanjutannya, keuangan keluarga tersebut makin carut-marut.

Jadi, bukankah lebih enak menyekolahkan anak menurut kemampuan finansial kita? Tak perlu gengsi karena gengsi tidak mencerdaskan anak hehehe Tak perlu ikut pilihan teman atau tetangga, wong nantinya bayar sendiri-sendiri kok.

Kunci keberhasilan pendidikan

Jaman saya, keberhasilan pendidikan diukur dari rangking, nilai NEM, dan atau juara ini dan itu. Memang tak sepenuhnya salah, tapi untuk masa kini tolok ukur seperti itu sudah tidak relevan. Ada variabel lain yang tak kalah penting, yaitu karakter anak yang tergantung kerjasama antara sekolah dan orangtua, manajemen sekolah, dan kualitas guru.

Sekolah yang baik tidak hanya mengejar prestasi akademik semata, namun juga membangun karakter anak. Sekolah yang mahal belum tentu berhasil membangun kemampuan akademik dan karakter anak, jika orangtua di rumah terlalu memanjakan anak. Sebaliknya sekolah yang murah akan sukses membentuk karakter dan kemampuan akademik, jika orangtua memberi dukungan penuh untuk anak belajar.

Daripada fokus pada ego orangtua, lebih baik survei ketiga hal tersebut. Apakah sekolahnya terbuka dan bisa bekerja sama dengan orangtua? Apakah manajemen sekolahnya terkelola dengan baik dan profesional? Apakah guru-gurunya berkualitas dan mumpuni?

Lalu, harus bagaimana memilih sekolah? Kalau menurut saya, fokus pada tujuan sekolah, pertimbangkan semua prinsip yang penting, kemudian rundingkan bersama pasangan. Selesai. Sederhana kan? Yang membuat rumit itu memang gengsi... Hehehe...

Semoga artikel ini bermanfaat.

Cikarang, 11 Januari 2021

Catatan:
Mahal atau tidak di sini sangat subyektif dan tidak merujuk pada jenis sekolah. Namun lebih kepada kemampuan keuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun