Hari itu hujan besar. Serupa ember raksasa yang penuh air, sore itu langit seolah menumpahkan semua airnya. Di sudut kota, seorang anak perempuan berdiri dengan baju basah oleh tampias air hujan. Tubuh kecilnya sedikit menggigil.Â
Tak jauh darinya, berdiri seorang laki-laki dewasa. Matanya nanar menatap derasnya hujan. Semburat kegalauan menghias wajahnya. Sepertinya dia ingin menghentikan hujan besar yang tiba-tiba itu. Ada hal yang terus memburunya untuk cepat-cepat.
"Hujannya bisa lama ini, Nduk! Bisa kemalaman kita?" ucap lelaki kepada anak perempuan itu.
"Iya ya, Pak? Apa kita nekat saja, lewat pinggir-pinggir, Pak? Ibu tadi bawain kantong plastik besar, Pak.." kata anak perempuan itu dengan polos. Matanya berbinar untuk meraih suatu keinginan.
"Tapi nanti kehujanan, Nduk. Plastik nggak cukup nutupi badanmu. Tadi kok ya lupa bawa payung. Kamu berani hujan-hujan?" Lelaki itu memandang anak perempuannya dengan kasih sayang.
"Berani, Pak... kemarin bu Lasti bilang aku harus kumpul jam setengah enam. Aku pentas nyanyi, Pak! "
"Wah, bisa telat ya? " Sang bapak meraih kantong plastik disampingnya. Kantong bekas wadah jajanan anaknya itu dibuka ikatannya. Beberapa permen dimasukkan ke kantong bajunya.
"Nduk, kepalanya ditutup pakai plastik ya? " Dengan gesit tangannya memasang kantong berwarna hitam itu di kepala anak.
Berdua mereka menerobos hujan besar. Tangan mungil anaknya terus dalam gandengan. Air menggenang semata kaki. Sandal si anak hampir saja terhanyut.
"Dikit lagi, Nduk... di depan itu tokonya!" katanya menyemangati anaknya.
Beruntung deretan toko setelahnya memiliki terpal di bagian depan. Kini mereka berjalan tanpa hujan menyirami tubuh mereka.