Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kantor Kenangan

17 Oktober 2020   06:00 Diperbarui: 17 Oktober 2020   06:14 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan bekerja malam hari. Sumber : Huffingtonpost.com

Kota Kenangan, Oktober 2010

Mendung menggelayuti langit malam, kubuka pintu garasi kos. Kuparkirkan motorku di belakang mobil merah Bapak kos. Setelah itu, aku segera naik melewati tangga belakang. Lelah mulai menderaku. Kerja shift malam memang melelahkan.

Sampai diatas, kulihat hanya kamarku saja yang gelap. Kelima kamar di kanan-kiriku menyala. Suara televisi terdengar samar. Hmmm, rupanya semua penghuni kos ini masih terjaga.

Lelah dan mata yang sangat mengantuk menyeretku untuk segera merebahkan diri ke kasur. Kukunci pintu kamarku. Aku pun langsung tepar memeluk guling.

"PRANGGGGG....." suara itu mengagetkanku. Jam menunjukkan angka tiga ketika aku terbangun. Suara itu berasal dari nyaring sebuah sendok yang jatuh ke lantai.

Ah, sepertinya bukan jatuh tapi dijatuhkan oleh seseorang dengan keras. Tapi oleh siapa? Bukankah aku sendirian di kamar ini? Aku mulai gugup. Mataku berusaha menatap sendok merk Doll itu dalam keremangan kamar.

Aneh. Sangat aneh. Sendok selalu kuletakkan di tengah meja. Kalau toh agak ke pinggir, kenapa jatuhnya harus nunggu pagi buta? Tak masuk logika!

Jantungku berdebar. Kuamati sekeliling kamar mungil ini. Tak ada siapa-siapa. Kubuka gordin jendela untuk mengintip suasana luar kamar. Pun tak ada siapapun. Sunyi

Setelah itu, aku tak bisa kembali tidur. Kunyalakan lampu dan aku menonton televisi untuk mengusir rasa takut dan penasaranku. "Everything is gonna be okey, " hiburku dalam hati.

***


Kota Kenangan, November 2010

Setelah dua minggu giliran shift malam, akhirnya aku mendapat giliran shift pagi. Sebagai lajang, berangkat ke kantor lebih pagi itu menyenangkan. Apalagi setelah gajian, artinya bisa pulang teng-go untuk sekedar shopping dan cuci mata di mall.

Senin itu aku sangat bersemangat. Sampai di kantor, sudah ada Teti, staf administrasi yang paling rajin dan cekatan di departemenku. Rasanya susah untuk datang lebih pagi dari Teti.

"Woi... shift pagi nih mbak? " sapanya. Aku pun tersenyum. "Iyalah, Tet... shift malam bikin capek. Sepi pula. Nggak ada teman ketawa hehehe... " jawabku.

Setelah itu, aku menuju mejaku. Kunyalakan komputer, periksa dokumen yang belum selesai, kemudian cek email yang masuk. Seketika aku ingat pagi ini ada  bahan baku yang cito (urgent) untuk dirilis. Dokumen perilisan belum ada di mejaku.

Aku segera menuju ke ruang admin untuk menanyakan kepada Teti apakah dokumen sudah lengkap.

"Say, dokumen bahan baku yang diminta cito kok belum ada di mejaku ya, bisa difollow-up ke bagian quality control?" tanyaku. Teti kebingungan mendengar pertanyaanku.

"Bentar mba, aku cek dulu ya. Kesiangan hari ini jadi baru datang, " sahutnya. Ganti aku sekarang aku yang kebingungan. "Loh, bukannya kamu datang sebelum aku? " tanyaku balik.

Teti melotot. "Mba, aku tuh baru aja duduk. Mba duluan yang datang!"

"Hah? yang bener? terus tadi siapa yang ngobrol sama aku? Ih, aku ngobrol sama kamu kok!" kataku.

Aku terbengong-bengong dengan jawaban Teti. Aku sangat yakin seribu persen tadi aku ngobrol dengannya. Kebingungan melandaku. Duh.

"Sudah, Mba, nggak usah dipikirin. Ya udah, aku tanya pak Roni dulu ya?" kata Teti yang seolah paham dengan perasaanku.

Teti sudah keluar ruangan menuju departemen lain. Aku pun kembali ke mejaku. Aktivitas kerja hari yang sangat padat mengalihkan perhatianku atas kejadian pagi tadi.

Satu hal yang kutangkap dari mimik muka Teti adalah tak sedikitpun ada kekagetan. Seperti sudah sering terjadi, karenanya dia mengalihkan pembicaraan.

Mungkinkah dia sudah "terbiasa" dengan keanehan semacam ini? Hmmm... tak tahu. Aku baru setahun bekerja di kantor ini, sedangkan Teti sudah hampir tujuh tahun.

Satu per satu deadline kerjaan berdatangan. Aku pun lupa kejadian pagi itu. Bahkan tak sempat kuceritakan kepada siapapun. Bisa saja aku yang salah melihat, meskipun aku yakin tidak.

***


Kota Kenangan, Desember 2011

Dua minggu berikutnya, aku kembali masuk di shift siang. Apalah daya, aku harus mencari lembaran uang untuk membayar kos, jadi kujalani saja.

Beruntung kali ini ada temannya, jadi ada dua orang di departemenku. Meski ada teman, jika boleh memilih lebih baik aku shift pagi. Entahlah, aku cuma merasa tak nyaman dengan suasana malam di kantor. Apalagi departemenku ada di lantai paling atas.

Malam itu aku berdua dengan Rico, anak baru yang mukanya terlihat dewasa. Mata Rico bening dan tajam. Orang yang sangat baik dan sangat positif. Dia duduk di meja seberangku.

Jam menunjukkan pukul 10.00 malam. "Duh, sejam lagi..." ucapku dalam hati. Segera kusiapkan laporan hari ini dan segala macam deadline yang sudah kukerjakan.

Aku harus menyelesaikan malam ini sebelum pulang. Esok pasti ada deadline baru lagi yang harus kukejar. Begitulah siklus kerjaku.

Kutatap deretan angka di layar monitor. Tiba-tiba aku terkejut dengan suara yang kudengar. Suara rintihan orang menangis! HAHHH???

Kupasang baik-baik telingaku untuk mendengar. Suara rintihan itu makin jelas. Sepertinya datang dari ruangan sebelah, sebuah laboratorium kecil untuk trial produk.

"Ric, dengar nggak?" tanyaku kepada Rico.

Rico terkesiap kemudian menatapku. "Heh? Apaan? Dengar apa? Nggak ada apa-apa kok, Ly! " sahutnya.

"Yakin? Itu suara orang menangis. Jelas banget. Siapa yang menangis ya?" tanyaku kembali. Suara yang kudengar makin nyaring. Tak lama setelah itu lirih kemudian menghilang. Sunyi.

"Heh? Nggak ada ah, aku nggak dengar" sahut Rico. Rasanya gemes sama Rico yang "hah-heh" sedari tadi.

"Coba dengar, Ric... Tuh muncul lagi!" pintaku pada Rico. Kali ini Rico diam dan berusaha mendengarkan.

"Iya kan? dengar kan? suara siapa ya, Ric?" tanyaku bertubi-tubi. Aku yakin Rico juga mendengarnya.

Namun, lagi-lagi ekspresi wajah Rico sama dengan Teti beberapa waktu lalu. "Sudahlah, Ly... biarin saja, " katanya.

"Eh besok aku tukar shift sama mbak Amel ya? Katanya anaknya sakit, jadi mau shift malam biar bisa gantian sama suaminya, " kata Rico lagi. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Kali ini suara rintihan itu sudah lenyap.

Aku merasa ada yang disembunyikan. Mungkin mau menghiburku supaya tidak ketakutan. Mungkin Rico tahu aku ini penakut. Atau mungkin aku ini yang aneh atau halusinasi? Aku merasa kecil hati, apalagi banyak yang seolah tak percaya dengan yang kudengar atau kualami.

Hmmm... semakin kupikirkan, rasanya ingin cabut saja dari kantor ini. Aku merasa tidak nyaman. Belum lagi cerita desas-desus misteri di kantor ini. Tapi ya sudahlah, "I will enjoy this ride... let it go!"

***

Kota Industri, Juli 2011

"Lily, apa kabar? Tahu nggak Jumat kemarin heboh di pabrik? Kesurupan masal!" begitu bunyi pesan Rico.

"Serius?" balasku.

"Iya. Serius banget... untung aku shift pagi. Ah, jadi ingin resign kayak kamu! Pindah ke kota Industri lebih asyik kayaknya ya?" balas Rico cepat.

Aku tertegun. Hanya dengan Rico, aku bercerita tentang hal aneh di kantor Kenangan itu. Meskipun sebelumnya dia seakan menyuruhku untuk mengabaikan, mungkin kali ini dia mulai percaya.

Aku pun menelpon Rico untuk lebih jelasnya. Sepanjang telpon, kami mengobrol sana-sini. Rico pun bercerita tentang renovasi gedung lama sebelah gedung kantor kami dulu.

Gedung tersebut adalah gedung pertama sejak pabrik berdiri yang dibiarkan kosong beberapa tahun ini karena gedung baru sudah selesai. Gedung tua itu rencananya akan diubah menjadi kantin karyawan.

Jumlah karyawan yang kesurupan juga tidak main-main. Aku tak bisa membayangkan karena aku belum pernah melihat langsung kejadian serupa. Demikian juga Rico, dia sudah pulang ketika kesurupan masal terjadi.

Sampai disini, aku cukup tahu saja. Rasanya kurang pas untuk dikomentari. Sama seperti suara rintihan atau tangisan malam ketika kami shift malam yang hingga kini masih misteri.

Setelah itu Rico meminta pendapatku, dia ingin pindah kerja. Dugaanku dia sudah tak nyaman lagi seperti aku waktu itu. Namun, kali ini aku tak tahu harus menyarankan apa karena karirnya moncer disana. Tawaran promosi di depan mata. Sayang menurutku.

Ah, kali ini sepertinya kamu, Ric, yang harus belajar bahwa tak semua dalam hidup ini harus ada jawaban. Beberapa mungkin akan terus menjadi misteri. Entah sampai kapan!

Cikarang, Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun