Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gara-gara Warisan

4 Juli 2019   07:01 Diperbarui: 4 Juli 2019   07:04 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Na membuka pintu teras belakang. Raut mukanya masam. Daun pintu pun dibukanya dengan agak kasar. Hati perempuan itu sepertinya sedang gusar.

"Bu, saya pulang ya? Semua sudah beres, " kata bi Sri kepada Na.

Na tergagap. Kegusaran telah membuatnya larut dalam alam pikirannya sendiri. "Iya, Bi.. terimakasih. Tolong tutup pintu depan ya?" Na menyahut dengan cepat.

Bi Sri sudah pulang. Tinggal Na sendirian di rumah. Anak-anak masih lama pulang dari sekolah. Na masuk ke dalam rumah. Kakinya melangkah gontai menuju meja makan.

Sambil minum teh hangat, Na melihat tayangan TV. Namun pikirannya tetap kalut. Na kesal sejadi-jadinya. Batinnya memberontak. Lagi-lagi warisan! Semua masalah yang berkaitan dengan warisan membuat Na muak. Warisan.. warisan.. warisan... Huh!

Warisan adalah satu kata yang akrab di telinga dan kehidupan Na sejak usia SD. Waktu itu keluarga ibu Na yang terus-menerus bersengketa masalah warisan. Na muak sekaligus kesal melihat pertengkaran demi pertengkaran gara-gara warisan. Trik dan intrik dalam keluarga besar eyangnya sangat kental.

Dari situlah Na "alergi" berat dengan kata warisan. Masih membekas jelas bagaimana ibu Na menangis karena dimaki-maki kakak laki-lakinya karena masalah warisan. Pun ketika ibunya mengalah tanpa mau membahas masalah itu. Semua saudaranya berulangkali menebar fitnah kemana-mana. Drama keluarga yang tak ubahnya seperti sinetron tv nyata ada!

Dan sekarang, lagi-lagi masalah warisan muncul kembali dalam hidup Na. Saudara suaminya semua meributkan warisan dari almarhum mertuanya. Berulang kali Na menghela nafas panjang melihat kelakuan ipar-iparnya.

Namun yang membuat hati Na mendidih pagi ini adalah kata-kata kakak iparnya yang semalam datang ke rumah. Bak debt collector menagih utang kepada kreditur nunggak. Padahal yang terjadi adalah dia yang selama ini selalu Na talangin dana dan kebutuhan hidup keluarganya.

Yang membuat emosi Na ingin meledak adalah cara yang kasar. Suami Na tak berhutang sama dia sepeser pun, kok seperti preman tukang tagih? Itu belum seberapa, sudah sebulan ini iparnya selalu WA suaminya : kapan pembayaran? Kapan pembayaran? Duh, jika saja itu saudara kandung Na, mungkin sudah di-pithes-nya saling geregetan.

Na menarik nafas panjang. Dia berusaha menata hati dan pikirannya. Bagaimana bisa ya, anak kandung kok bisa berlaku seperti itu? Ketika almarhum mertuanya masih hidup, kak Yen jarang memperhatikan Ibu. Ketika sudah tiada, berani sekali meributkan harta orangtua. Sungguh, Na heran dibuatnya.

Kak Yen selalu memposisikan diri sebagai orang yang terzolimi dalam keluarga. Keluhan hidup susah selalu terucap dari bibirnya. Hal itu diungkapkan sekaligus sebagai legitimasi bahwa dia tak perlu ikut andil dalam merawat orangtua. Segala urusan dan kewajiban dalam keluarga diabaikannya.

Na hanya melihat kak Yen dan keluarganya ini sangat egois. Pernah suatu kali Na tertawa masam tatkala kak Yen seolah "mewajibkan" harus membantunya. Segala dalil alkitab dikeluarkannya. Aneh. Kenapa tak berusaha bekerja?

Sungguh Na mendidih mengingat kelakuan kak Yen. Menyedihkan sekali, baru juga berapa bulan Ibu berpulang. Orang bilang tanah kuburan masih basah. Kak Yen ngotot mau menjual warisannya. Dan suami Na yang diwajibkan membelinya karena kak Yen punya banyak tanggungan hutang dengan suaminya. Dengan begitu kak Yen akan langsung menerima dana segar tanpa usaha sedikitpun.

Hati.. dimana kah hati kak Yen? Itu yang selalu menggema di hati Na. Rasanya banyak orang tidak mampu tapi masih punya hati dan harga diri. Tak ingat kah kak Yen jika Na dan suaminya mengeluarkan uang banyak untuk perawatan dan pemakaman orangtuanya?

Na bergumam, "apa dikira kita ini Bank Indonesia yang mencetak uang?" Belum lagi jika ingat kata-kata Yen kepada suaminya yang adalah adiknya : "No, kebaikan itu tidak boleh diungkit. Biar Tuhan yang memperhitungkan." Na emosi mendengarnya, jika merobek mulut orang bukan kriminal mungkin Na akan melakukannya. 

Bagaimana mungkin seorang kakak berkata kepada adiknya seperti itu? Bagi Na, sebuah kebaikan diungkit dalam hal ini karena sikap yang keterlaluan. Bukan karena tidak tulus atau pamrih. Jika orang tahu berterimakasih dan bersikap baik pasti orang juga tak akan mengungkitnya.

Lama-lama Na pusing memikirkan berbagai masalah yang menerjangnya beberapa bulan ini. Akhirnya diambilnya telepon genggam di meja. Na memencet first dial-nya : Ibu.

"Halo Buu... lagi mendidih ini..."

"Ah, kenapa pakai mendidih segala. Mbok wes lah, namanya orang hidup harus sabar," sahut Ibunya lembut.

Mendengar nasehat ibunya, Na langsung nyerocos tak karuan. Dia bukannya tidak sabar tapi eneg melihat muka-muka munafik. Sok alkitabiah, bawa-bawa ayat tapi rakus kalau masalah harta dan warisan. Ibunya tetap tenang seperti biasa.

"Ingat pesan bapak, nduk.. kalau masalah warisan jangan emosi. Kalau dikasih ya diterima, kalau tidak dikasih jangan minta. Tidak elok!" Ibu Na menasehati pelan.

"Bukan, Bu.. itu Na tahu. Na nggak peduli juga masalah warisan. Cuma Na kesal sama orang-orang ini, ribut terus. Tidak tahu diri sekali!"

Na menghela nafas sebentar. "Ibu tahu, kak Yen ini sudah macam tukang tagih utang saja. Padahal kita tidak berhutang. Justru dia berhutang sama kita. Ini orang ditulung tapi menthung, Bu.." keluh  Na.

"Ibu tahu nggak dia mau jual warisan buat beli ini-itu, mau ini-itu. Memang bukan urusan saya. Tapi dia harusnya tahu kesulitan adiknya, buat sertifikat butuh biaya dan belum lagi status tanah ini masih tergadai dan harus ditebus dulu, Bu. Dia nggak mau tahu."

"Aku kesal mau minta lunasin balik saja utangnya. Parahhh... pantes ya Bu waktu ibu mas No meninggal tak ada raut sedihnya sana sekali. Cuma duduk santai tidak mau mikir apa-apa. Sekarang baru juga berapa bulan sudah ribut mau jual"

"Bu, apa mereka itu sudah lupa sama orangtuanya? Kalap dan gila harta ya, Bu? Heran. Pokoknya Na heran!"


Ibu Na hanya diam mendengar keluh kesah anaknya. Tak biasa Na bercerita panjang dengannya. Dari dulu Na adalah anak yang tak mau menyusahkan orangtua, apapun masalah pribadinya. Tak pernah bercerita hal yang membuat susah dan pikiran orangtua.

"Bu, kalau alasan kesulitan ekonomi atau apalah. Tahu nggak bu, kak Mel yang di kampung lebih susah. Tapi dia nggak kayak gini. Dia mengerti pengorbanan adiknya dan punya harga diri, pun anak-anaknya. Nggak langsung ribut. Sampai sekarang anteng saja," lanjut Na.

Ibu Na terhanyut dalam kesedihan anaknya. Dia tahu meskipun mantu, Na lah yang membiayai pesta pemakaman ibu mertuanya. Dalam diamnya dan sabarnya, Na merogoh kocek sedalam-dalamnya. Mungkin berapa ratus juta habis karena hingga kini ibu Na tak melihat tanda-tanda rumah Na akan direnovasi lagi. Semua tertunda tanpa Na mengeluh sedikitpun.

Di dunia ini, seorang ibu pasti memahami anak perempuannya meski tanpa kata dan bahasa. Na selalu taat nasehat orangtuanya. Nilai-nilai kehidupan dari orangtuanya.

"Ya sudah Na.. sabar ya. Yang penting kamu tetap sadar posisimu. Tak elok kamu ikut nimbrung apalagi angkat bicara di keluarga mas No. Orang sabar itu dikasihi Tuhan, Na... Hidup ya kadang begitu. Tapi toh semua juga akan berlalu," nasehat ibu Na menentramkan hati Na.

Na tersenyum. Ah, ternyata ada orang yang mengerti kegalauanku, katanya. Betapa keruwetan pikir ini bisa terurai hanya oleh kata-kata Ibu. Na sedikit tenang. Dia pun kembali membuka laptop di kamarnya. Mulai memantau pergerakan saham hari ini.

Hidup harus bergerak, katanya dalam hati. Menjadi lebih baik atau tidak, setidaknya kita sudah dan mau berusaha. Hingga tengah hari, Na menekuni bursa. Sembari bolak-balik mengudap cemilan ringan.

Mulutnya berhenti mengunyah tatkala teleponnya berdering. Bapak menelepon. Tumben siang-siang telepon, katanya dalam hati. Oh, iya diingatnya tiap hari Jumat bapak selalu meluangkan waktu makan siang di rumah sebelum kembali ke kantor.

"Iya, Pak... tumben Bapak telepon?" sapa Na mengawali pembicaraan.

"Iya, mumpung di rumah. Tadi Ibu cerita banyak sama Bapak, makanya Bapak langsung telepon, " sahut Bapak Na. 

Dengan menghela nafas ringan, Bapak Na memulai pembicaraan serius dengan Na. Hal yang jarang terjadi karena Bapak Na hanya bicara jika hal tersebut memang penting dan harus dibicarakan.

"Nduk, saya tahu kamu eneg dengan masalah warisan. Bapak cuma mau bilang, yang salah itu bukan warisan-nya. Bukan. Warisan itu kenang-kenangan dari orangtua loh. Ada maksud baik disana. Ada nilai perjuangan hidup didalamnya "

"Iya, Pak.." jawab Na menanggapi petuah Bapaknya.

"Bapak tahu, Na, kamu kesal dan marah gara-gara warisan. Dari jaman dulu selalu ada pertengkaran karena warisan. Itulah manusia, Na... sifat manusia beraneka. Ada yang serakah, rakus, dan selalu merasa kurang. Tapi Bapak yakin ketika orang punya harga diri dan punya kasih, dia tidak akan seperti itu meskipun ada kesempatan, " Bapak Na melanjutkan nasehatnya. Na mengangguk dalam diam.

"Naa... Bapak cuma pesan satu. Kamu punya anak, didiklah mereka untuk melihat warisan dengan sudut pandang yang baik dan benar. Jangan pernah menyalahkan warisan, tapi salahkan orang yang serakah dengan warisan, Na.. "

"Sabar.. dan sabarlah.. jangan terpancing emosi ketika mendengar warisan. Jadilah lilin Na, dia mengorbankan dirinya untuk menerangi sekitarnya. Dukunglah No, bagaimanapun dia anak laki-laki di keluarganya yang bisa meluruskan masalah itu, " Bapak Na terdiam setelahnya. Dia tahu tidak mudah bagi Na untuk menjalaninya.

"Na, No adalah anak terkecil di keluarganya tapi dia yang paling besar hatinya. Kamu harus bangga dengan suamimu, tenangkan hatimu ya Na. Dinginkan kepalamu supaya kamu bisa menentramkan hati suamimu, " 

"Hmmm.. sudah ya Na, Bapak mau kembali ke kantor lagi... Milikilah karakter pemenang Na.."

Na terdiam. Ah, Bapak.... tak pernah Bapak memberikan pitutur tapi sekalinya memberi pitutur membuat terharu, batin Na menjerit. Jeritan hati betapa dia terharu dan bangga punya Bapak seperti pak Subagyo. Orang yang tenang dan selalu nrimo dalam kesederhanaan. Laki-laki yang punya harga diri hingga tak ingin istrinya menangisi warisan orangtuanya.

Na masih ingat bagaimana Bapaknya dengan tegas mengajak ibu pulang dari pertemuan keluarga yang penuh jerit dan tangis berebut warisan.

"Aku masih sanggup memberi nafkah. Ayo pulang, Bu.. " kata Bapak Na waktu itu. Ibu menurut dan sekarang hidup bahagia tanpa warisan orangtuanya. Dibiarkannya saudaranya bertikai dengan trik dan intrik penuh tipu muslihat.

Na menangkupkan kedua tangannya. Pikirannya larut dalam ketenangan. Hatinya menikmati indahnya nasehat Bapaknya siang itu.

"Terimakasih untuk selalu ada dalam hidupku, Bapak dan Ibu... ", ucap Na dalam hati. Senyumnya merekah. Damai mengalir memenuhi sanubarinya.

Cikarang, 3 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun