Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gara-gara Warisan

4 Juli 2019   07:01 Diperbarui: 4 Juli 2019   07:04 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bukan, Bu.. itu Na tahu. Na nggak peduli juga masalah warisan. Cuma Na kesal sama orang-orang ini, ribut terus. Tidak tahu diri sekali!"

Na menghela nafas sebentar. "Ibu tahu, kak Yen ini sudah macam tukang tagih utang saja. Padahal kita tidak berhutang. Justru dia berhutang sama kita. Ini orang ditulung tapi menthung, Bu.." keluh  Na.

"Ibu tahu nggak dia mau jual warisan buat beli ini-itu, mau ini-itu. Memang bukan urusan saya. Tapi dia harusnya tahu kesulitan adiknya, buat sertifikat butuh biaya dan belum lagi status tanah ini masih tergadai dan harus ditebus dulu, Bu. Dia nggak mau tahu."

"Aku kesal mau minta lunasin balik saja utangnya. Parahhh... pantes ya Bu waktu ibu mas No meninggal tak ada raut sedihnya sana sekali. Cuma duduk santai tidak mau mikir apa-apa. Sekarang baru juga berapa bulan sudah ribut mau jual"

"Bu, apa mereka itu sudah lupa sama orangtuanya? Kalap dan gila harta ya, Bu? Heran. Pokoknya Na heran!"


Ibu Na hanya diam mendengar keluh kesah anaknya. Tak biasa Na bercerita panjang dengannya. Dari dulu Na adalah anak yang tak mau menyusahkan orangtua, apapun masalah pribadinya. Tak pernah bercerita hal yang membuat susah dan pikiran orangtua.

"Bu, kalau alasan kesulitan ekonomi atau apalah. Tahu nggak bu, kak Mel yang di kampung lebih susah. Tapi dia nggak kayak gini. Dia mengerti pengorbanan adiknya dan punya harga diri, pun anak-anaknya. Nggak langsung ribut. Sampai sekarang anteng saja," lanjut Na.

Ibu Na terhanyut dalam kesedihan anaknya. Dia tahu meskipun mantu, Na lah yang membiayai pesta pemakaman ibu mertuanya. Dalam diamnya dan sabarnya, Na merogoh kocek sedalam-dalamnya. Mungkin berapa ratus juta habis karena hingga kini ibu Na tak melihat tanda-tanda rumah Na akan direnovasi lagi. Semua tertunda tanpa Na mengeluh sedikitpun.

Di dunia ini, seorang ibu pasti memahami anak perempuannya meski tanpa kata dan bahasa. Na selalu taat nasehat orangtuanya. Nilai-nilai kehidupan dari orangtuanya.

"Ya sudah Na.. sabar ya. Yang penting kamu tetap sadar posisimu. Tak elok kamu ikut nimbrung apalagi angkat bicara di keluarga mas No. Orang sabar itu dikasihi Tuhan, Na... Hidup ya kadang begitu. Tapi toh semua juga akan berlalu," nasehat ibu Na menentramkan hati Na.

Na tersenyum. Ah, ternyata ada orang yang mengerti kegalauanku, katanya. Betapa keruwetan pikir ini bisa terurai hanya oleh kata-kata Ibu. Na sedikit tenang. Dia pun kembali membuka laptop di kamarnya. Mulai memantau pergerakan saham hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun