"Hmmm.. sudah ya Na, Bapak mau kembali ke kantor lagi... Milikilah karakter pemenang Na.."
Na terdiam. Ah, Bapak.... tak pernah Bapak memberikan pitutur tapi sekalinya memberi pitutur membuat terharu, batin Na menjerit. Jeritan hati betapa dia terharu dan bangga punya Bapak seperti pak Subagyo. Orang yang tenang dan selalu nrimo dalam kesederhanaan. Laki-laki yang punya harga diri hingga tak ingin istrinya menangisi warisan orangtuanya.
Na masih ingat bagaimana Bapaknya dengan tegas mengajak ibu pulang dari pertemuan keluarga yang penuh jerit dan tangis berebut warisan.
"Aku masih sanggup memberi nafkah. Ayo pulang, Bu.. " kata Bapak Na waktu itu. Ibu menurut dan sekarang hidup bahagia tanpa warisan orangtuanya. Dibiarkannya saudaranya bertikai dengan trik dan intrik penuh tipu muslihat.
Na menangkupkan kedua tangannya. Pikirannya larut dalam ketenangan. Hatinya menikmati indahnya nasehat Bapaknya siang itu.
"Terimakasih untuk selalu ada dalam hidupku, Bapak dan Ibu... ", ucap Na dalam hati. Senyumnya merekah. Damai mengalir memenuhi sanubarinya.
Cikarang, 3 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H