Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gara-gara Warisan

4 Juli 2019   07:01 Diperbarui: 4 Juli 2019   07:04 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari brilio.net

Hidup harus bergerak, katanya dalam hati. Menjadi lebih baik atau tidak, setidaknya kita sudah dan mau berusaha. Hingga tengah hari, Na menekuni bursa. Sembari bolak-balik mengudap cemilan ringan.

Mulutnya berhenti mengunyah tatkala teleponnya berdering. Bapak menelepon. Tumben siang-siang telepon, katanya dalam hati. Oh, iya diingatnya tiap hari Jumat bapak selalu meluangkan waktu makan siang di rumah sebelum kembali ke kantor.

"Iya, Pak... tumben Bapak telepon?" sapa Na mengawali pembicaraan.

"Iya, mumpung di rumah. Tadi Ibu cerita banyak sama Bapak, makanya Bapak langsung telepon, " sahut Bapak Na. 

Dengan menghela nafas ringan, Bapak Na memulai pembicaraan serius dengan Na. Hal yang jarang terjadi karena Bapak Na hanya bicara jika hal tersebut memang penting dan harus dibicarakan.

"Nduk, saya tahu kamu eneg dengan masalah warisan. Bapak cuma mau bilang, yang salah itu bukan warisan-nya. Bukan. Warisan itu kenang-kenangan dari orangtua loh. Ada maksud baik disana. Ada nilai perjuangan hidup didalamnya "

"Iya, Pak.." jawab Na menanggapi petuah Bapaknya.

"Bapak tahu, Na, kamu kesal dan marah gara-gara warisan. Dari jaman dulu selalu ada pertengkaran karena warisan. Itulah manusia, Na... sifat manusia beraneka. Ada yang serakah, rakus, dan selalu merasa kurang. Tapi Bapak yakin ketika orang punya harga diri dan punya kasih, dia tidak akan seperti itu meskipun ada kesempatan, " Bapak Na melanjutkan nasehatnya. Na mengangguk dalam diam.

"Naa... Bapak cuma pesan satu. Kamu punya anak, didiklah mereka untuk melihat warisan dengan sudut pandang yang baik dan benar. Jangan pernah menyalahkan warisan, tapi salahkan orang yang serakah dengan warisan, Na.. "

"Sabar.. dan sabarlah.. jangan terpancing emosi ketika mendengar warisan. Jadilah lilin Na, dia mengorbankan dirinya untuk menerangi sekitarnya. Dukunglah No, bagaimanapun dia anak laki-laki di keluarganya yang bisa meluruskan masalah itu, " Bapak Na terdiam setelahnya. Dia tahu tidak mudah bagi Na untuk menjalaninya.

"Na, No adalah anak terkecil di keluarganya tapi dia yang paling besar hatinya. Kamu harus bangga dengan suamimu, tenangkan hatimu ya Na. Dinginkan kepalamu supaya kamu bisa menentramkan hati suamimu, " 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun