Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wali Nikah

22 Maret 2019   11:00 Diperbarui: 22 Maret 2019   11:56 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Rumah Biru

Bella menarik nafas panjang. Setelah sepuluh tahun lebih menjalani pernikahannya, pada akhirnya dia paham bahwa menjadi satu itu bukan benar-benar "satu". Kadang perbedaan tersebut hanya mampu bersanding secara harmonis tanpa harus melebur menjadi sebuah kesatuan. Meskipun bisa juga seiring waktu berjalan, kedua hal yang berbeda itu melebur sebagian.

Masih teringat di benaknya, ketika proses kanonik dengan Romo. Malu-malu Bella menjawab pertanyaan Romo, yaitu mengapa mau menikah dengan Anton. Bella ragu sekaligus takut salah memberikan jawabannya. "Karena cinta, Romo.." begitu jawabnya waktu itu.

Tanpa diduga Romo Bari membenarkan jawabannya. "Terdengar klise tapi itulah pondasi utama pernikahan, " jelas Romo saat itu. Semakin kesini, Bella menyadari bahwa komitmen dan kompromilah yang akan membantu cinta terus bertahan dalam pernikahan.

"Bruukkkkk.....", suara sepeda ambruk di carport rumah membuyarkan lamunannya. Rupanya Alea, anak semata wayangnya, yang tidak berhasil memarkir sepedanya.

"Ma, kita ke taman kota yuk... mau sepedaan disana!" pintanya manja.

"Nggak ada bosannya kamu kesana. Ya sudah bilang Papa, kita kesana aja. Tapi janji nggak sampai siang ya", jawab Bella kepada putri kesayangannya.

***

Taman Kota

Bella dan Anton duduk di bawah gazebo taman sembari mengudap makanan kecil yang dibawa dari rumah. Sementara itu Alea asyik kesana-kemari dengan sepedanya. Riang ceria bertemu teman-teman sebayanya.

"Oiyyy, Anton.. apa kabar? Aih lama nggak ketemu", suara terdengar dari seberang gazebo.

"Hahaha... ternyata kamu, bro! Darimana aja baru nongol", sahut Anton.

Bella mencoba mengingat-ingat siapa laki-laki itu. Sepertinya sudah pernah melihat sebelumnya tapi entah dimana. Bella tak mampu mengingatnya. Memorinya berputar dalam upaya menerka-nerka siapa dia. Oh, itu yang dibilang mertuanya masih saudara, batinnya girang setelah memorinya berhasil menyingkap. Ya, pokoknya seperti itulah singkatnya. Ardi namanya. Dia selalu santun dan hormat dengan mertuanya.

Setelah menyalami Ardi, Bella berpindah tempat duduk. Anton dan Ardi kemudian larut dalam obrolan menggunakan bahasa daerah mereka. Bella hanya diam sambil mengawasi Alea dan teman-temannya.

"Ih busyet dah... ngomong pake bahasa Indonesia napa?", rutuk Bella setengah kesal karena pusing mendengar percakapan dengan "bahasa planet". Dia merasa diacuhkan.

Bella, seorang perempuan moody yang ingin terus diperhatikan. Detik yang bergulir semakin mengubah raut muka manisnya menjadi masam. Pikirannya mulai tak waras dan mulai mengarah negatif.

Ah, takdir kah jika perempuan selalu bersungut dan menuntut? "Ah, tak seharusnya aku berpikir negatif sama suamiku" suara malaikat kebaikan mulai bergema di hati Bella.

"Ati-ati loh. Bisa jadi ada ajakan bisnis. Kalau tertipu lagi gimana?" kali ini iblis mulai menggoda.

"Tapi aura Ardi baik kok. Buktinya selama ini santun. Jangan pukul rata dong. Yang nipu cuma satu kan? Yang kemarin itu. Sudahlah..." malaikat kebaikan menimpali si mulut jahat iblis.

"Satu memang. Tapi cara nipunya kejam loh! Masa saudara sendiri ditipu segitunya. Kalau aku nggak terima!" Iblis mulai meninggi memprovokasi hati Bella.

"Sabar... nanti tanya baik-baik sama Anton. Mereka lebih enak pakai bahasa daerahnya. Kalau pakai bahasa Indonesia jadi kaku keleuss...", malaikat kebaikan pantang menyerah membujuk Bella.

Bella makin hanyut mengikuti kedua suara yang saling berlawanan. Suara hati nurani seakan terkalahkan dengan suara-suara negatif dari si iblis penggoda. Hingga tiba-tiba Ardi menolehnya.

"La, ini Ardi minta tolong kita jadi wali nikah ponakannya! Minggu depan nikahnya. Gimana?", tiba-tiba Anton memecah lamunannya. Buyar sudah suara-suara yang tadi merongrong batinnya sedari tadi.

"Eh... oh... hmmmm... gimana ya? Kamu yakin jadi wali nikah? Bukannya ituu .." tanya Bella kepada Anton. Dia ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.

"Tapi kasihan loh, ini situasi emergency! Ya mau gimana lagi. Kedua orangtua mempelai nggak ada yang bisa datang", bujuk suaminya.

"Naik pesawat aja... bisa lah...", Bella berusaha menolak halus. Baginya lebih baik membantu tiket pesawat daripada bertaruh dengan menjadi wali nikah dari orang yang tak kita ketahui dengan pasti.

Ardi terlihat berusaha sabar dengan membiarkan Anton yang menjelaskan semuanya kepada Bella. Bella tetap bersikeras dengan pendiriannya tak mau menjadi wali nikah orang yang tidak dikenalnya langsung.

"Duh, nggak deh. Pernikahan Katolik itu berat. Bukannya nggak mau bantu, tapi...", Bella berusaha keras supaya tidak menyinggung perasaan Ardi. Ardi tetap tenang, namun di benaknya yakin Bella tidak paham permasalahannya.

"Bentar.. kayaknya aku perlu jelasin dari awal sama Bella", pinta Ardi secara halus.

"Loh tidak paham gimana? Dari tadi kan kita ngomongin ini. La, kamu nggak tahu masalah yang kita bahas apa? Albert itu keponakannya Ardi, anaknya tante Nani yang di kampung ibu" jelas Anton. Bella masih juga tak paham.

"Aku nggak tahu hihi... lha tadi ngomong pakai bahasa planet, gimana aku ngerti" jawab Bella.

"Oalahhhhhh.... ampun dehhh... jadi kamu nggak ngerti dari tadi omongan kami?", Anton menepuk jidatnya sendiri. Ardi tersenyum-senyum penuh arti.

"Makanya gaes... ngomong pake bahasa Indonesia yang benar kalau pingin aku dengar", ucap Bella sambil meringis. Buyar sudah prasangka buruknya terhadap Ardi. Ternyata tak ada yang disembunyikan dari tadi. Mereka ngobrol dengan bahasa "asing"nya demi kenyamanan semata. Sama seperti dirinya jika ketemu teman satu daerah, medoknya langsung mencuat tak tanggung-tanggung hahaha...

Ardi tersenyum simpul. Kemudian dia mulai sedikit demi sedikit menceritakan masalahnya. Albert, keponakannya, akan menikah Minggu depan. Ibu Albert yang merupakan kakak Ardi tak bisa datang. Begitu juga dengan kedua orangtua mempelai perempuan. Pemberkatan akan dilakukan di Jakarta.

Sampai disitu Bella bingung, segimana-gimananya orangtua masa iya tidak akan datang? Momen seumur hidup anaknya. Harusnya datang dong, gumam Neyna dalam hati.

Ardi menarik nafas panjang. Rona wajah memelas terlihat jelas. Apa ada yang salah ya, tanya Bella dalam hati. Dia tak mau terlalu agresif bertanya detil kepada Ardi.

"Jadi gini La... sebelumnya minta maaf. Aku mau minta tolong sama kalian berdua. Kebetulan kita ketemu disini. Aku tak tahu lagi mau minta tolong siapa...", kata Ardi serius sekaligus memelas.

"Agak susah juga masalahnya. Nggak gampang untuk minta tolong sama sembarang orang. Aku punya ponakan, Albert, dia calon Romo. Tahun depan sudah rencana untuk pentahbisan. Tapi ya nggak jadi, dia harus nikah", lanjut Ardi. Aku menyimak penjelasannya dengan saksama. Penuh dengan pertanyaan yang terpaksa kutahan.

"Calon Romo? Udah lama jadi frater gitu? " Bella bertanya seolah tak percaya akan apa yang didengarnya.

"Iya. Sudah 5 bulan, La... kasihan! Mama Albert marah besar. Dia nggak mau datang apapun alasannya. Ini urusan administrasi sudah beres, tinggal pemberkatan saja" Ardi mengambil botol minum kemudian meneguk air putih di dalamnya.

"Jadi, nanti aku dan istriku jadi wali nikah Albert. Kamu sama Anton jadi wali nikah ceweknya " lanjut Ardi, Bella terdiam. Obrolan Anton dan Ardi benar-benar diluar dugaan. Hati kecilnya menyesal telah berprasangka buruk sejak tadi.

Bella memainkan ikat rambut yang sedang dipegangnya. Galau hatinya tak dapat tertutupi.  Masa iya jadi wali nikah calon Romo? Bagaimana bisa sudah mau tahbisan kok malah ada cewe hamil? Duh, nggak salah kah itu?

Bella bukan tipe yang grusa-grusu melakukan sesuatu. Dalam segala hal, dia akan selalu menimbang-nimbang baik-buruk ataupun benar-salah. Segala sesuatu diperhitungkan dengan saksama. Kalau istilah Anton : terlalu banyak mikir!

"Okelah Di, yang penting kamu kabari aku kalau ada perubahan. No telponku ada kan?" timpal Anton sambil menepuk pundak Ardi. Anton berharap Ardi tak melihat muka si "miss rempong" Bella.

Dalam situasi seperti itu Anton paham Bella akan diam, bertanya detil, dan kemudian memberi jawaban dengan berbagai embel-embel pesan. Bella masih terbengong-bengong. Pun ketika Ardi berpamitan ingin melanjutkan joggingnya.

***

Rumah Biru


Matahari mulai memerah tanda lelah seharian menyinari bumi. Di taman belakang yang asri, Anton dan Bella duduk santai. Ikan koi hilir-mudik berenang di kolam kecil samping jendela.

"Aku kayaknya nggak deh kalau jadi wali nikah, " ucap Bella membuka obrolan.

"Duh, jangan begitu... sesuatu kalau sudah di depan kita, ya jangan dihindari. Kasihan lah orang sudah berharap, mungkin kita tidak kenal tapi bagaimanapun harus berbuat baik, " dengan lembut Anton menatap mata istrinya.

"Ya gimana ya, datang kek itu calon mempelai ke kita terus minta sendiri kalau butuh wali nikah. Berani berbuat ya berani bertanggung-jawab dan urus semua sendiri dong, " ketus Bella.

"Bukan begitu. Tadi Ardi udah jelasin panjang-lebar. Ya minta maaf kalau kami pakai bahasa daerah, jadi kamu tidak paham. Please jangan sewot gitu!"

"Ya udah jelasin sekarang ke aku. Aku bukannya nggak mau, tapi aku butuh tahu sebelum melakukan sesuatu. Nggak main tembak langsung jadi."

"Iyaaa... jadi kan begini. Albert itu ponakan Ardi dari kakak perempuannya yang tinggal di Sukarame. Dia udah belasan tahun jadi frater. Tahun depan sudah rencana untuk pentahbisan. Namun apa boleh buat kejadiannya seperti ini."

"Ardi ini juga nggak tahu-menahu. Tiba-tiba ditodong sama kakaknya. Tolong urus ponakanmu itu, begitu. Bisa kamu bayangkan lah La, perasaan kakak Ardi itu? Tidak tahu kejadian. Mereka sekeluarga shock berat. Pupus sudah harapan mereka. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga..."

Anton menarik nafas panjang. "La, belajarlah dewasa menghadapi kehidupan. Menghakimi bukanlah solusi untuk kejadian seperti ini, sudahlah..." rayu Anton kepada istrinya. Meyakinkan Bella memang bukan hal yang mudah. Dia tipe yang harus ada data dan fakta, lengkap dengan segala pertimbangan dan justifikasi untuk sebuah keputusan.

Bella masih tak bergeming. Pikirannya melayang dari satu bilik ke bilik permasalahan yang dipetakan oleh otaknya. Sementara Anton masih sabar menunggu respon dari istrinya yang "pemikir" itu.

"Kalau kamu mikir ini-itu sampai Bengawan Solo ya kejauhan La... Orangtua cewek Albert itu juga nggak mau datang. Mungkin malu dan merasa gagal mendidik anak gadisnya. Nggak kasian kamu?" lanjut Anton.

"Yang penting pihak orangtua mereka sudah memasrahkan urusan perwalian ini kepada Ardi sepenuhnya. Ardi meminta tolong ke kita."

"Aku pun juga nggak langsung terima kok kemarin. Kasihan aku lihat Ardi. Dia kebingungan dan nggak tahu mau bagaimana. Melas banget tauk.."

Bella masih menekuri semua omongan suaminya. "Benar tuh orangtuanya pasrahin ke Ardi? Sudah telpon?" tanya Bella.

"Iya sudah. Sudah telpon langsung. Mereka nggak sanggup datang dan menerima kenyataan ini. Sudahlah jangan menahan kebaikan jika kita mampu melakukan. Oke ya?"

"Oke deh. By the way emang kita pantas jadi wali nikah? Aku kan masih muda! Hahaha " kata Bella diiringi gelak tawa. Anton mencubit tangan istrinya.

"Sepuluh tahun bersamamu itu asyik, La. Tak asyik hanya saat meyakinkan kamu yang super duper njelimet mikirnya" kata Anton dalam hati.

***


Kafe Coklat


Semilir angin menyapa lembaran kain penutup tenda gazebo. Gelak tawa menghiasi malam yang digemari banyak orang. Jumat malam menjelang akhir pekan, beberapa orang memilih untuk hang out. Begitu juga keluarga Anton dan Bella. Sambil menunggu putrinya menonton bioskop bersama teman-temanya, mereka duduk di kafe Coklat.

"Pa, sayang ya tinggal selangkah Albert bisa jadi Romo. Sia-sia ya belasan tahun mempersiapkan diri?"

"Ya mungkin bukan jalannya untuk jadi Romo. Mau gimana lagi? Kita tidak bisa paksa"

"Hmmm... tapi kan nggak seharusnya dengan cara seperti ini? Kurang pantas. Sangat disayangkan"

"Lha terus piye? Memang begini adanya. Tak seharusnya kita menghakimi. Dalam hidup itu selalu ada misteri Ilahi, La... yang kita tak tau kenapa, tugas kita menjalani saja "

"Mama Albert pasti kecewa berat. Apalagi sudah bilang ke keluarga besar tentang rencana tahbisan anaknya. Siapa juga yang nggak bangga anaknya jadi imam ya?"

"Itu dia... aku rasa orangtua pihak perempuan sama malu dan marahnya. Kecewanya makin menjadi setelah tahu Albert adalan calon Romo"

Anton menggapai gawainya yang bergetar. Sedangkan Bella meneguk frapucino-nya hingga habis. "Kita jalani saja La... kita dimintai tolong. Tidak baik menahan kebaikan jika semua bisa kita lakukan" kata Anton kepada istrinya.

Malam sepertinya bersahabat dengan kedamaian. Tak ada perdebatan dan negosiasi antara Anton dan Bella. Jumat malam, satu malam lagi mereka akan menjadi wali nikah.

***


Kapel Ungu

Harinya tiba. Keluarga Ardi dan Anton sudah tiba di kapel kecil, tempat pemberkatan nikah. Ketika sampai di depan kapel, tampak Albert sendirian. Raut mukanya jelas terlihat gelisah dan tegang. Untuk Bella dan Anton, tentu saja hari itu adalah pertama bertemu Albert.

"Halo om, tante... terimakasih berkenan datang" ucap Albert sopan dan halus. Tak diragukan lagi, Albert memang calon Romo.

"Halo juga.. gimana sudah siap? Mana calon istrimu?" sahut Anton.

"Masih di salon om. Nanti ada temannya yang antar kesini."

Lima belas menit kemudian, mempelai perempuan datang diiringi  dua teman perempuannya. Masih muda dan terlihat mungil. Bella memperhatikan perutnya yang sudah terlihat membesar. Terbayang dirinya waktu hamil 5 bulan, pasti ngos-ngosan naik tangga hingga lantai 3.

"Ngos-ngosan ya? Udah berasa capeknya ya?" tanya istri Ardi.

"Nggak kok tante, biasa saja. " jawabnya.

Bella makin merasa trenyuh melihat mempelai perempuan yang berusaha tegar. Tak bisa dibohongi dia kecapekan dan habis nafas. "Who am I to judge?" gumam Bella dalam hati.

Misa segera dimulai. Hanya keluarga Ardi, keluarga Anton, dan teman-teman mempelai yang bisa dihitung dengan jari.

Suasana hening dan khidmat. Homili yang disampaikan Romo terasa damai dan menyejukkan hati. Tak ada kata-kata menghakimi. Justru semangat untuk kedua mempelai untuk menapaki kehidupan baru. Juga pesan untuk saling mengasihi sebagai suami-istri.

Selesai misa, semua hadirin memberi ucapan selamat. Air mata menetes di pipi mempelai perempuan. Dia menangis sesenggukan.

"Eh, kok nangis? Ini hari bahagia, senyum dong..." kata teman-temannya menyemangati. Dia pun menghapus bulir air matanya dengan selembar tisu. Setelah itu tegar kembali. Albert menenangkan perempuan yang sudah sah sebagai istrinya itu. Betapa teman-teman mereka yang datang adalah orang-orang yang positif.

Setelah misa, ada acara makan bersama yang ditutup dengan doa. Teman-teman Albert berkumpul untuk menghibur kedua pengantin baru. Setidaknya pesta kecil-kecilan sebagai kenangan pernikahan mereka.

Anton dan Bella pamit pulang mendahului yang lain.

"Albert... pokoknya selamat ya! Bahagia selalu. Kami pulang dulu, rumah kami masih jauh. Maklum ya"

"Iya om... terimakasih sudah datang dan membantu kami. Nanti saling berkabar supaya kami bisa main ke rumah om."

"Oke..  oke... sampai ketemu!"

Anton melangkah diiringi Bella dan Alea. Sementara Albert dan istrinya, juga keluarga Ardi melambaikan tangan. Raut muka Albert lebih sumringah seolah buntalan beban sudah terambil dari pundaknya.

Bahagia selalu (mantan) frater!

***

"Ah, sukses juga kita jadi wali nikah!" Bella terkekeh-kekeh.

 "Tuh kan semua oke sepanjang kita tulus" sahut Anton.

"Iya, sayang... "

Cikarang, Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun