Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pacar Digital

8 Maret 2019   21:00 Diperbarui: 9 Maret 2019   00:59 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Siapa sih itu telpon-telpon terus?", tanyaku sewot kepada suamiku.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia hanya diam. Tangannya tetap tenang mengendalikan kemudi mobil. Matanya tetap fokus menatap lurus ke jalanan. Hatiku makin panas dengan rasa penasaran. Sudah berhari-hari dan berkali-kali orang itu menelpon.

Tapi apa yang bisa diperbuat oleh perempuan jika suaminya seperti itu? Meskipun gemes, terkadang aku hanya bisa ikut diam. Sebisa mungkin meredam emosi dan kejengkelan. Namun kali ini aku harus tahu. Harus.

"Apa ada urusan utang-piutang sama kamu, Yah? Atau jangan-jangan kamu ditipu lagi ya?", pancingku sekenanya.

"Makanya, apa-apa itu bilang ke istri. Ntar bisa susah sendiri. Toh ujung-ujungnya aku juga yang kena getahnya. Nggak usah lah percaya lagi sama orang di kampung. Mereka mah bo-bo-pin! Bodoh bodoh pintar! Drama ini-itu tapi suka nipu ujung-ujungnya!", omelku panjang kepadanya.

Ah, suamiku memang seperti itu. Mungkin juga banyak suami seperti ini. Istrinya ngomel sampai capek, dia cuma diam, kalem, dan datar tanpa emosi. Bikin geregetan saja!

Semenit.... dua menit....tiga menit... Kulihat dia masih diam. Ya sudahlah, kuputuskan untuk membuka handphone. Biasanya intip-intip media sosial lebih asyik.

Tiba-tiba suamiku berdeham seperti ingin memulai sebuah pembicaraan. Aku pun agak terperanjat ketika dia mulai berbicara. Kuubah posisi duduknya untuk lebih tegak bersandar.

"Sebenarnya aku malu mau cerita ke kamu..", ucapnya datar.

"Oh.. kenapa?", sahutku santai. Aku sudah tidak emosi lagi.

"Si  Rony itu kecelakaan sama Chery. Rony itu ponakanku dari abang nomor tiga. Kamu belum pernah ketemu", jelasnya.

"Trus... nggak selamat? Kecelakaan dimana? Dia harus tanggung jawab untuk pengobatan gitu ya? Chery nya luka parah?", tanyaku. Aku pernah bertemu sekali Chery. Dia anak dari sepupu suamiku.

"Nggak. Ini kecelakaan dalam tanda kutip...", sahutnya lirih dan sedih.

"Ohhhh... ya?", mataku terbelalak. Aku tak percaya dengan apa yang diucapkan.

"Jadiiii... Chery hammmm... ups.. iya iya.. i see", sahutku. Di belakang ada anak-anakku yang tertidur. Aku takut terdengar sama si sulung yang mulai paham. Kupastikan mereka belum ada yang terjaga.

"Ya iya.. itulah kenapa aku pusing. Aku malu. Bagaimanapun Rony itu anak abangku. Meskipun sudah lama tak ada silaturahmi dengan istri dan anak almarhum, kalau kejadian begini aku juga yang dicari", jelasnya. Aku hanya diam mencoba memahami semuanya. Bapak Rony sudah lama berpulang. Wajar jika setelah kejadian ini, pihak keluarga Chery menghubungi suamiku sebagai paman terdekat.

Ah, dia mulai terbuka. Biasanya kalau sudah begitu, artinya suamiku akan bercerita secara utuh. Tuh kan ujung-ujungnya butuh istri juga! Akhirnya sepanjang perjalanan kami membicarakan Rony dan Chery ini. Klop! Anak-anak tidur pulas, sedangkan tempat tujuan masih jauh.

Dari ceritanya, suamiku shock dengan kabar dari keluarganya. Tak ada yang menyangka kejadian ini. Rony dan Chery terhitung saudara sepupu dua kali. Kalau orang Jawa sering menyebut sebagai "sedulur tunggal buyut". Secara gereja dan keluarga sebenarnya tidak ada masalah. Tapi secara etika dan kepantasan, rasanya kurang tepat. Belum lagi resiko cacat untuk anak yang dilahirkan. Meskipun tidak sebesar resiko pernikahan antar sepupu, toh resiko itu tetap ada.

"Pacaran sudah lama ya mereka?", tanyaku.

"Tau... itu pacaran apa nggak. Nggak ada yang tahu mereka dekat, apalagi pacaran! Orang yang satu tinggal di selatan ujung, yang satu di utara ujung. Naik mobil aja seharian. Orangtua Chery juga nggak pernah lihat Rony ngapel, ketemu, atay main bareng. Kalau ditanya katanya mereka fesbukan dan sering telponan. Gitu....", jawab suamiku.

Duh, kids jaman now! Batinku pun ikut sedih, miris, prihatin, sekaligus was-was mengingat anak-anakku. Singkat cerita, Chery dan Rony ini pernah ketemu di acara pernikahan keponakanku yang tinggal di kampung. Kebetulan pas di musim liburan sekolah. Orangtua Chery dan Rony sama-sama datang kesana membawa anak-anaknya. Mungkin saling melirik. Gayung bersambut di tiga bulan setelahnya karena ketemu di media sosial facebook. Setelah itu intensif berkomunikasi via facebook, aplikasi chatting, dan saling telpon. Boleh dibilang pacaran era digital. 

Pacaran di era digital tak perlu bertemu fisik, jari-jemari yang mengetik kata per kata akan mempertemukan mereka di dunia maya. Brukkk.... aku serasa tertampar! Ibarat orang yang tidur pulas, saya harus buru-buru bangun. Jaman sudah beda gaes, ucapku dalam hati.

"Jadi mereka pacaran secara senyap ya? Rame setelah celaka? Duh...", tanyaku.

"Ya begitu... ", sahut suamiku.

Dari informasi yang sampai ke suamiku, setelah 6 bulan mereka "pacaran digital" ini, mereka janjian kopi darat.  Mereka bertemu berdua saja di kota Chery. Hanya 3 hari liburan bersama. Cerita selanjutnya bisa ditebak, Chery tidak mendapat menstruasi lagi setelah pertemuan itu. Orangtua keduanya tak ada yang tahu. Kedua orangtua Chery marah besar mengetahui Chery hamil. Semakin marah setelah tahu siapa pacarnya. Memang mereka sudah berumur dewasa, tapi siapa juga yang bisa jamin dewasa dalam berumah tangga?

Mendengar kisahnya, aku hanya bisa diam dengan seribu pertanyaan yang antri mengular di kepalaku. Kutahan untuk tak bertanya kepada suamiku. Kasihan... dia sudah lelah mengurusi masalah pelik ini.

Aku cuma merenung betapa kompleksnya mendidik anak sekarang. Media sosial bisa menjadi ceruk kehancuran jika tak digunakan dengan baik. Semua terlihat menjadi cantik dan tampan. Bahkan untaian kata di status bisa menyihir otak kita untuk menilai.


Aku jadi terbayang deretan foto di instagram. Cantik, tampan, bersih, mulus, senyum, tawa, bahagia, dewasa, dan seterusnya. Belum lagi tambahan caption, bisa quotes orang terkenal atau cerita keseharian.

Apakah sesuai dengan dunia nyata? Hmmm... kucoba melihat-lihat fotoku disana. Ya ampun, disana mukaku jadi mulus tanpa jerawat dan bintik hitam terkutuk ini! Oh, beginikah jahatnya dunia maya dan kamera modern?

Berlanjut kembali pikiranku, kubayangkan aku jadi Chery. Tiap hari membuka facebook dan instagram Rony. Disitu Rony tampak gagah berpose di puncak gunung, bersepeda dengan teman-temannya, rafting bersama di acara kantornya. Hmmm... bisa juga jatuh hati! Semakin sering melihat dan membaca caption atau status, bisa jadi seolah sudah bertemu dan mengenal untuk kemudian jatuh hati.

Sedangkan Rony, bisa jadi melihat Chery hampir tiap hari posting selfie dengan beauty cam. Belum lagi status-statusnya yang berupa quotes bijak, renungan-renungan, atau mungkin repost artikel masa depan yang bikin baper. Misalnya, artikel parenting kemudian ditambah caption : "semoga nanti bisa jadi ibu yang sabar dan baik". Asumsi susah dipisahkan dari dunia maya. Bisa jadi caption singkat itu membuat si pembaca menyimpulkan bahwa si perempuan keibuan.

Imajinasiku makin melebar, aku penasaran dengan jatuh cinta digital ini. Mungkinkah ini yang terjadi dengan Rony dan Chery? Rasanya campur aduk memikirkannya. Jatuh cinta digital ini tak perlu bertemu fisik. Namun tak bisa dihindari semua akan dominan dengan asumsi-asumsi. Tapi untuk gelora asmaranya bisa jadi sama. Bagaimanapun aku tak habis pikir. Setelah kopi darat mereka bisa langsung klik dan celaka.

"Halo... iya... saya sudah bilang ke Rony dan ibunya. Mereka bilang 2 minggu lagi akan melamar", kata suamiku di telepon. Sepertinya pihak keluarga Chery meminta konfirmasi.

Setelah selesai bercakap-cakap di telepon, suamiku mengajakku kembali bicara.

"Yaaah... semua harus dihadapi. Tak ada yang menginginkan ini terjadi. Sudah terjadi, mau bagaimana lagi. Kubilang sama Rony bahwa siap atau nggak siap dia harus siap dan tanggung jawab sebagai laki-laki", kata suamiku.

"Neneknya Chery sampai nangis dan jatuh sakit dengar kabar ini. Aku nggak tega. Aku memang kesal sama Rony dan Chery ini. Sudah tahu masih saudara sepupu 2 kali, kok pacaran. Nggak bilang-bilang lagi. Tahu-tahu kayak gini ", lanjutnya.

"Ya sabar. Mau gimana lagi, bagaimanapun mereka juga harus belajar bertanggung jawab", sahutku.

"Seandainya bisa dicegah, kami pasti cegah. Tapi semua terjadi secara cepat dan kilat di luar dugaan. Tak ada yang menyangka Chery sama Rony seperti ini", suamiku berkata dengan nada getir.


"Sekarang orang tua pontang-panting ngurus pernikahan. Semua harus cepat. Tapi yang mau nikah malah banyak nggak jelasnya", lanjutnya. Kali ini tak dapat disembunyikan kejengkelannya sama Rony yang susah untuk dikasih tahu.

Aku hanya bisa mendengarkan ocehan suamiku. Aku tahu dia pusing. Apalagi ibu Rony dan keluarga besarnya --- karena shock dan marah --- justru memperkeruh keadaan dengan menuduh Chery ini yang mengganggu dan menggoda Rony yang masih masa percobaan di kantornya. Sedangkan keluarga Chery merasa Rony, laki-laki yang merusak anak perempuannya yang merupakan harapan besar mengangkat nama keluarga. Runyam pokoknya runyam, kataku dalam hati.

Kuputuskan untuk tidak ikut campur. Aku tahu suamiku bijak untuk menjadi penengah kedua pihak. That is life! Jalani saja apa yang menjadi bagian. Sebagai paman, suamiku harus mengambil alih peran almarhum abangnya.

Pikiranku terus berkecamuk. Pernikahan tidak semudah mengetik status di media sosial. Bagaimana jika cinta Rony dan Chery ini hanya cinta sesaat, sedangkan pernikahan itu satu dan tak terceraikan? Bagaimana Chery bisa merampungkan skripsinya jika sudah begini?

Kupandangi anak-anakku yang masih bersandar dan tidur pulas di kursi belakang. Diam-diam aku berdoa untuk mereka. Doa seorang ibu untuk kebahagiaan anaknya. 

Jika waktunya telah tiba akan kusampaikan kepada mereka : "Meskipun kalian hidup di era serba digital, jangan berpacaran digital, Nak! Karena tidak ada pernikahan digital! Kenalilah calon istri atau suamimu dan juga keluarganya dengan sebaik-baiknya".

Cikarang, Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun