"Kapan kita ke rumah Eyang, Ma?"
Begitu pertanyaan anakku 3 hari yang lalu. Dan sekarang kami sedang dalam perjalanan menuju ke rumah Eyangnya, yang tak lain dan tak bukan adalah ibuku.
Perjalanan ke rumah ibu tidaklah singkat. Meskipun kami tinggal di satu pulau, tapi kami berbeda provinsi. Sebelum ada pembangunan infrastruktur jalan tol yang signifikan seperti sekarang, ke rumah ibu adalah agenda yang merepotkan. Kemacetan yang tidak bisa diprediksi dan kondisi jalan yang seringkali rusak membuat waktu tempuh menjadi lama. Artinya kami sering sampai rumah ibu setelah setengah hari perjalanan.
Sampai di rumah ibu, seperti biasa ibu menyambut kami dengan senyum yang merekah. Berbagai hidangan sudah tersedia manis di meja. Itu berarti ibu sudah sejak pagi sibuk menyiapkan semuanya. Sebenarnya aku tidak ingin ibu repot memasak. Tapi bagaimana mungkin melarangnya. Beliau akan memberikan seribu alasan.
"Ibu tidak repot kok. Wong ayam motong punya sendiri. Bumbu tinggal ambil dari kebun. Wes rasah dipikir, pokoke saiki maem bareng!", ujarnya panjang lebar. Begitulah ibuku.
***
Hari ini adikku juga datang. Dia adalah adikku laki satu-satunya. Tentu saja lebih dekat ke ibu. Meskipun sudah berkeluarga, kalau ketemu ibu tak hilang manjanya. Paling sering dia "ngerjain" ibu. Menggoda dengan berbagai macam cara supaya ibu terpancing untuk marah. Jika ibu sampai marah, dia akan tertawa-tawa puas. Usil sekali dia!
Aku membatin pasti hari ini dia akan usil lagi. Dan ternyata dugaanku benar. Ketika ibu bercengkerama dengan ke-3 cucunya, adikku beraksi. Aku, suamiku, dan iparku duduk santai di depan TV.
"Gea... coba hitung, jari tangan eyang ada berapa? Gea kan sudah pinter hitung-hitung", katanya kepada Gea, anakku yang pertama.
Gea pun semangat menghitung jemari tangan ibu. Gea yang lucu langsung antusias menghitung jemari ibu.
"Satu.. dua.. tiga.. empat.. lima.. enam... "
Begitu Gea menghitung jemari tangan kanan ibu. Adikku tertawa-tawa. Dasar usil! Aku pun sebal melihat kelakuan adikku. Dia menggoda ibu dengan melibatkan anakku. Ampunnn...
Ibu tetap tenang. Santai dan tiada amarah. Jemari tangan kanan ibu memang spesial. Ada 6 jari. Jempol tangannya ada 2. Aku mengetahuinya sedari kecil. Bahkan kami ketiga anaknya semua hafal ciri khas jemari ibu.
Ibu tidak pernah bercerita tentang jemarinya. Dan aku sebagai anaknya, tak pernah juga menanyakannya. Aku ingin menjaga perasaan ibu.
Dulu sering aku mendengar cerita-cerita berupa mitos. Mitos-mitos orang kampung tentang jari yang tidak normal. Pernah suatu kali, tetanggaku melahirkan. Anaknya sehat, namun jari telunjuk dan jari tengahnya "gantet". Gantet itu artinya dempet atau dampit, menyatu. Setelah umur 2 tahun, barulah dilakukan operasi untuk memisahkan jari-jari itu.
Waktu itu aku masih kecil. Teman-temanku bilang katanya itu karena ibu si bayi makan pisang gantet (dampit). Makanya, pantangan bagi ibu hamil untuk makan sesuatu yang tidak normal. Aku percaya saja.Â
Di kampungku beberapa kali kulihat pisang yang gantet itu. Biasanya, teman yang punya pisang gantet membawanya saat main untuk ditunjukkan kepada semua temannya. Klop! Cerita itu nyambung dan masuk akal untuk saat itu.
Aku sempat berpikir apakah nenek makan pisang gantet saat hamil ibuku. Meskipun akan jadi aneh pertanyaanku, karena jari jempol ibu tidak gantet. Pada kasus ibu, ibu punya 2 jari jempol yang tidak biasanya. Akhirnya, aku pun selalu urung setiap kali ingin menanyakan hal itu. Jangan-jangan pertanyaanku "ora ilok" alias tabu.Â
Begitulah tahun demi tahun kulalui. Aku tak pernah lagi memikirkan jemari ibu. Jika saja adikku tidak usil, mungkin aku pun tak akan teringat lagi fakta tentang jemari ibu.
Selama hidupku, tak pernah kulihat orang yang mempunyai jempol 2 buah di salah satu tangannya. Baru ibuku saja yang punya. Entahlah. Mungkin di belahan dunia lain, ada orang lain dengan kondisi yang sama. Mungkin satu diantara seribu. Atau bahkan satu dari satu juta orang yang seperti ibu.Â
Jika orang lain melihat itu sebagai sebuah kekurangan atau mungkin dikategorikan sebagai cacat, aku sebaliknya. Aku merasa Tuhan memberi kelebihan pada ibuku. Bagaimana tidak. Bentuk jari jempol itu sempurna. Lengkap dengan kuku. Ukurannya sedikit lebih kecil. Tapi hanya sedikit saja. Seperti cabang dari jempol yang lebih besar. Karenanya, aku melihatnya Tuhan memberi "bonus" pada ibuku.
Ibu sepertinya tak pernah mengeluhkan jari itu. Tak pernah menyembunyikan juga. Aku pun tak pernah malu punya ibu dengan enam jari di tangan kanannya.
Gea berlari ke arahku. Kemudian duduk di sampingku.
"Ma, jari eyang ada 6. Bukan 5 loh... Kalau Gea hitung semuanya jadi ada 11. Punya Gea 10 aja ya, Ma?", ungkapnya padaku.
"Iya Gea...", jawabku singkat.
"Coba, Ma... coba Gea hitung punya Mama ada berapa", Â sahutnya sembari meraih kedua tanganku.
Dengan polosnya, Gea mulai menghitung jari-jariku. Dari tangan kanan, kemudian ke tangan kiri.
"Satu... dua... tiga.. empat... lima...", ucapnya dengan jelas.
Tak lama kemudian, dia kembali menghitung jari tangan kiriku. Setelah itu baru dia diam. Sepertinya mencoba berpikir.
"Ma, aku nggak salah hitung kan? Kenapa punya eyang saja yang beda? Punya eyang tadi, tangan kanan ada 6 jari. Terus tangan kiri ada 5. Jadinya semuanya 11", begitu cerocosnya.
Sementara itu, kulihat adikku ketawa-tawa. Ibu melirik ke adikku dengan lirikan yang bermakna. Mungkin batinnya : "Om-mu ini memang usil! Usil tenan!".
"Om-mu memang payah Gea! Kurang kerjaan!", kata suami sambil menepuk jidat. Suamiku tahu adikku suka bercanda tengil.
Aku santai saja menanggapi pertanyaan Gea.
"Iya, Gea. Tuhan kasih eyang jari lebih banyak, karena sayang sama eyang", jawabku susah payah pada Gea.
Gea hanya menganggukan kepala. Betapa polosnya hati anakku. Jika saja kau tahu, Nak, jemari eyang itu adalah kekuatan Mama. Dengan jemari itu, eyang mengelus Mama tiap malam, bercerita tentang kehidupan.Â
Cikarang, Feb 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H