[caption caption="Wajar tanpa Pengecualian/google image"][/caption]
Menurut Sukrisno Agoes (2012), dengan pendapat wajar tanpa pengecualian auditor menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas suatu entitas sesuai dengan SAK/ETAP/IFRS.
Hal sama juga berlaku bagi laporan keuangan pemerintah daerah yang harus sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran (LRA), neraca, dan catatan atas laporan keuangan (CaLK) berbasis kas menuju akrual sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2005. Pendapat WTP diperoleh setelah menyelesaikan seluruh program kerja pemerintah daerah yang sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan. Hasil usaha pemerintah daerah yang telah sesuai dengan apa yang nyatanya, kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan keuangan sesuai dengan SAP.
Laporan keuangan yang dinyatakan WTP berarti telah dapat terjamin bahwa penyusunan pelaporan dan bukti-bukti cukup memadai sehingga auditor dalam hal ini BPK mantap menyatakan pendapatnya atas LKPD. WTP juga berarti kewajaran laporan keuangan dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun kemungkinan terdapat kesalahan, hal ini tidak dianggap material sehingga tak berpengaruh pada kewajaran penyajian laporan keuangan. Selama kurun waktu lima tahun terhitung 2009-2013, LKPD yang mendapatkan pendapat WTP terus bertambah. Pada 2009 dari 504 LKPD yang diperiksa BPK, hanya tiga persen mendapatkan pendapat WTP. Peningkatan perbaikan LKPD mulai terlihat pada 2010 dengan didapatkannya pendapat WTP oleh 32 LKPD dari total 522 yang diperiksa. Pertumbuhan pesat terjadi pada 2011-2013  yang rata-rata naik lebih dari 100 persen tiap tahun. Hal ini diharapkan akan terus bertambah pada 2014 dan 2015, apa lagi terhitung 2015, seluruh LKPD diwajibkan menggunakan SAP berbasis akrual sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010.
Walaupun terjadi peningkatan jumlah LKPD yang mendapat opini WTP, namun persentasenya masih rendah yakni di bawah 30%. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran pemerintah daerah untuk memperbaiki kinerjanya dan mematuhi aturan yang berlaku.
WTP Tidak Mencerminkan Kinerja LKPD
Tingkat kewajaran laporan keuangan yang masih rendah di Indonesia, nyatanya tak menjamin pendapat WTP yang didapatkan segelintir LKPD membebaskan mereka dari korupsi atau inefisiensi dalam hal kinerja dan pengalokasian keuangan daerah.
Beberapa LKPD yang mendapatkan pendapat WTP misalnya, disinyalir mengalokasikan dana yang dimiliki dengan tidak bijak. Kabupaten Simalungun yang memeroleh pendapat WTP untuk LKPD 2011, nyatanya terbelit kesalahan pengurusan keuangan. Seperti data yang dikutip dari Majalah Gatra Edisi 39, 1 Agustus 2013 lalu, sebagian besar utang yang membelit Kabupaten Simalungun merupakan akumulasi beban utang sejak bertahun-tahun lalu. Memasuki tahun 2010, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun diwarisi utang Rp50 miliar kepada pemerintah pusat dan sejumlah instansi lain, termasuk badan usaha milik negara (BUMN).
Utang itu, antara lain, utang pengembangan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtalihou sebesar Rp 26 miliar melalui Kementerian Keuangan yang belum dibayar sejak tahun 1994. Selain itu, ada utang premi pembayaran kepada PT Askes periode 2004-2010 sekitar Rp 24 miliar (belakangan hingga tahun 2012, kabarnya, nilai utang ini membengkak hingga Rp 40,6 miliar). Pada tahun 2013 ini, ada lagi beban utang berjalan ke Bulog Pematangsiantar untuk kebutuhan beras bagi rakyat miskin (raskin) sebesar Rp 4 miliar.
Besarnya beban utang Kabupaten Simalungun itu terjadi lantaran pengelolaan keuangan daerah yang salah arah. Penggunaan dana yang tidak efektif, boros, dan tidak sesuai dengan peruntukannya menjadi penyebab utama tingginya beban utang tersebut. Hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemkab Simalungun tahun 2012 oleh Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan, ditemukan beberapa kasus ketidakpatuhan aparatur negara di pemkab itu terhadap peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan keuangan negara.
Kasus itu, antara lain, belum adanya laporan pertanggungjawaban penerimaan dana hibah Rp 3,2 miliar dan bantuan sosial Rp 900 juta. Ada pula kasus kekurangan volume pekerjaan pada tujuh paket kegiatan di Dinas Tata Ruang dan Permukiman sebesar Rp 503 juta. Ironisnya, meski pelaksanaan pekerjaan 13 kegiatan terlambat dilaksanakan, pihak dinas tidak mengenakan denda keterlambatan terhadap pelaksana pekerjaan, sehingga daerah kehilangan potensi pendapatan Rp 517 juta lebih.
Di luar itu, ada juga beberapa kasus pemborosan penggunaan anggaran, misalnya kelebihan pembayaran biaya langsung personel sebesar Rp 31,5 juta di Dinas Tata Ruang, Permukiman, Pertambangan, dan Bappeda. Dana perjalanan dinas di tujuh datuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebesar Rp 146,7 juta digunakan dengan melanggar peraturan. Selain itu, pihak pemda juga belum melaporkan siapa saja penerima alokasi dana nagori/desa (ADN) tahun anggaran 2012 senilai Rp 229 juta lebih, termasuk penggunaannya.
Dengan pengelolaan dana seperti itu, wajar jika Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memasukkan Kabupaten Simalungun di urutan pertama dari empat daerah yang terancam bangkrut di Indonesia pada tahun 2014. Empat daerah yang dimaksud adalah Kabupaten Simalungun, Kota Ambon, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Klaten.
Kefatalan masalah pengelolaan keuangan di kabupaten/kota ini disebabkan salah satunya oleh pengalokasian belanja pegawai yang terlampau besar. Persentase alokasi anggaran untuk pos belanja pegawai di empat daerah tersebut lebih dari 70%, yang merupakan persentase tertinggi di seluruh Indonesia.
Di urutan pertama ada Kabupaten Simalungun dengan beban belanja pegawai 74% dari APBD. Berikutnya secara berurutan ada Kota Ambon (73%), Kabupaten Karanganyar (72%), dan Kabupaten Klaten (72%).
Semestinya pengalokasian anggaran sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat lewat belanja modal, yang nyatanya tak kurang dari 10% dari anggaran yang dicanangkan Pemkab Simalungun. Kecilnya anggaran yang ditetapkan untuk belanja modal ini tentu berefek pada minimnya pembangunan yang dilakukan jajaran pemkab Simalungun.
Masih mengutip dari Majalah Gatra, celakanya lagi, sebagian besar pendapatan keempat daerah tersebut berasal dari dana perimbangan, yaitu dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH), yang merupakan dana transfer dari pemerintah pusat alias dari APBN. Sebagian besar daerah, terutama hasil pemekaran, memang masih mengandalkan dana perimbangan sebagai penopang utama, mencapai lebih dari 70% dari pendapatan. Dana itu kebanyakan malah digunakan untuk pos yang tidak produktif, yakni belanja pegawai. Proporsinya untuk Kabupaten Simalungun 78%, Kota Ambon 70%, dan Karanganyar 69%.
Sekali lagi, Pemkab Simalungun yang mendapatkan opini WTP atas laporan keuangan, nyatanya berkinerja sangat buruk. Hal ini mestinya mendapatkan sorotan khusus dari BPK untuk melakukan audit kinerja agar masyarakat tidak merasa tertipu dengan status WTP atas LKPD Kabupaten Simalungun, begitu pula LKPD lainnya.
Â
Kinerja LKPD yang Ideal Mendapatkan Pendapat WTP
Jelang akhir 2015, yang umumnya merupakan tahun ditutupnya anggaran dan masa penyelesaian LKPD oleh pemerintah kota/kabupaten/provinsi, tentunya banyak pemerintah daerah yang menargetkan pendapat WTP untuk pengelolaan keuangan yang dilakukan sepanjang tahun 2015 ini. Berkaca dari kondisi Kabupaten Simalungun, mestinya yang difokuskan pemerintah daerah bukan bagaimana mengejar status WTP LKPD, tetapi bagaimana pemerintah daerah mampu mengalokasikan sumber daya dengan bijak dan etis sehingga tujuan mendapatkan LKPD yang WTP dapat tercapai tanpa harus memaksakan hanya menuruti kriteria WTP LKPD tanpa mempedulikan esensi dari penyelenggaraan keuangan pemerintah, yakni mensejahterakan rakyat.
Berbicara mengenai LKPD yang ideal mendapatkan pendapat WTP, BPK sebagai auditor pemerintah harus melakukan audit kinerja atas pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah sekalipun LKPD sudah disajikan sesuai dengan SAP. Ketika LKPD sudah dinyatakan WTP, seyogyanya kesejahteraan masyarakat juga meningkat, fasilitas yang disediakan pemerintah sudah memadai, dan seluruh aset pemerintah terdata dengan dengan rinci. Masalah kinerja yang ditimbulkan oleh LKPD WTP seperti milik Kabupaten Simalungun, harusnya dapat dijadikan pelajaran agar pengalokasian belanja pemerintah tidak terfokus pada hal-hal yang tidak memberi nilai tambah dan cenderung hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
Secara teori, pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) merupakan cerminan dari kinerja pemerintah yang baik. Namun, pada kenyataannya pemerintah daerah lebih fokus mendapatkan pendapat WTP tanpa memperhatikan kinerja dan pengalokasian belanja secara ekonomis, efektif, dan efisien demi kesejahteraan rakyat.
Kabupaten Simalungun merupakan salah satu pemerintah daerah yang mendapatkan pendapat WTP dengan kinerja yang buruk. Hal ini mencerminkan WTP tidak menjamin kinerja pemerintah daerah yang ideal.
LKPD yang mendapatkan WTP idealnya telah menyajikan data yang mampu menggambarkan kinerja yang baik dilihat dari pengalokasian belanja modal yang tepat sasaran dan tidak hanya menghamburkan uang rakyat untuk belanja yang kurang produktif seperti belanja pegawai yang jumlahnya melampaui belanja modal.Â
Pemerintah daerah tidak hanya fokus pada hal-hal material dalam laporan keuangan guna mendapatkan pendapat WTP. BPK diharapkan melakukan audit kinerja pada pemerintah daerah. Terakhir, dengan dilaksanakannya audit kinerja, pemerintah daerah tak lagi terfokus pada mendapatkan pendapat WTP, namun juga memperhatikan kesesuaian antara belanja modal, belanja barang, dan belanja pegawai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H