Di luar itu, ada juga beberapa kasus pemborosan penggunaan anggaran, misalnya kelebihan pembayaran biaya langsung personel sebesar Rp 31,5 juta di Dinas Tata Ruang, Permukiman, Pertambangan, dan Bappeda. Dana perjalanan dinas di tujuh datuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebesar Rp 146,7 juta digunakan dengan melanggar peraturan. Selain itu, pihak pemda juga belum melaporkan siapa saja penerima alokasi dana nagori/desa (ADN) tahun anggaran 2012 senilai Rp 229 juta lebih, termasuk penggunaannya.
Dengan pengelolaan dana seperti itu, wajar jika Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memasukkan Kabupaten Simalungun di urutan pertama dari empat daerah yang terancam bangkrut di Indonesia pada tahun 2014. Empat daerah yang dimaksud adalah Kabupaten Simalungun, Kota Ambon, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Klaten.
Kefatalan masalah pengelolaan keuangan di kabupaten/kota ini disebabkan salah satunya oleh pengalokasian belanja pegawai yang terlampau besar. Persentase alokasi anggaran untuk pos belanja pegawai di empat daerah tersebut lebih dari 70%, yang merupakan persentase tertinggi di seluruh Indonesia.
Di urutan pertama ada Kabupaten Simalungun dengan beban belanja pegawai 74% dari APBD. Berikutnya secara berurutan ada Kota Ambon (73%), Kabupaten Karanganyar (72%), dan Kabupaten Klaten (72%).
Semestinya pengalokasian anggaran sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat lewat belanja modal, yang nyatanya tak kurang dari 10% dari anggaran yang dicanangkan Pemkab Simalungun. Kecilnya anggaran yang ditetapkan untuk belanja modal ini tentu berefek pada minimnya pembangunan yang dilakukan jajaran pemkab Simalungun.
Masih mengutip dari Majalah Gatra, celakanya lagi, sebagian besar pendapatan keempat daerah tersebut berasal dari dana perimbangan, yaitu dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH), yang merupakan dana transfer dari pemerintah pusat alias dari APBN. Sebagian besar daerah, terutama hasil pemekaran, memang masih mengandalkan dana perimbangan sebagai penopang utama, mencapai lebih dari 70% dari pendapatan. Dana itu kebanyakan malah digunakan untuk pos yang tidak produktif, yakni belanja pegawai. Proporsinya untuk Kabupaten Simalungun 78%, Kota Ambon 70%, dan Karanganyar 69%.
Sekali lagi, Pemkab Simalungun yang mendapatkan opini WTP atas laporan keuangan, nyatanya berkinerja sangat buruk. Hal ini mestinya mendapatkan sorotan khusus dari BPK untuk melakukan audit kinerja agar masyarakat tidak merasa tertipu dengan status WTP atas LKPD Kabupaten Simalungun, begitu pula LKPD lainnya.
Â
Kinerja LKPD yang Ideal Mendapatkan Pendapat WTP
Jelang akhir 2015, yang umumnya merupakan tahun ditutupnya anggaran dan masa penyelesaian LKPD oleh pemerintah kota/kabupaten/provinsi, tentunya banyak pemerintah daerah yang menargetkan pendapat WTP untuk pengelolaan keuangan yang dilakukan sepanjang tahun 2015 ini. Berkaca dari kondisi Kabupaten Simalungun, mestinya yang difokuskan pemerintah daerah bukan bagaimana mengejar status WTP LKPD, tetapi bagaimana pemerintah daerah mampu mengalokasikan sumber daya dengan bijak dan etis sehingga tujuan mendapatkan LKPD yang WTP dapat tercapai tanpa harus memaksakan hanya menuruti kriteria WTP LKPD tanpa mempedulikan esensi dari penyelenggaraan keuangan pemerintah, yakni mensejahterakan rakyat.
Berbicara mengenai LKPD yang ideal mendapatkan pendapat WTP, BPK sebagai auditor pemerintah harus melakukan audit kinerja atas pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah sekalipun LKPD sudah disajikan sesuai dengan SAP. Ketika LKPD sudah dinyatakan WTP, seyogyanya kesejahteraan masyarakat juga meningkat, fasilitas yang disediakan pemerintah sudah memadai, dan seluruh aset pemerintah terdata dengan dengan rinci. Masalah kinerja yang ditimbulkan oleh LKPD WTP seperti milik Kabupaten Simalungun, harusnya dapat dijadikan pelajaran agar pengalokasian belanja pemerintah tidak terfokus pada hal-hal yang tidak memberi nilai tambah dan cenderung hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.