Kementerian Pertahanan telah menggelar program Bela Negara yang ditujukan sebagai upaya menyadarkan warga negara tentang pentingnya cinta tanah air. Bela Negara menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meredam laju radikalisme akibat laju globalisasi yang kian deras. Ke depan, perang tidak lagi konvensional, melainkan juga akan melibatkan banyak sektor. Dengan Bela Negara di semua lini kehidupan masyarakat, maka cara pandang (world view) kebangsaan akan memainkan peran dan mereduksi cara pandang ekstrim yang dilandaskan agama.
Bela Negara memiliki definisi sebagai perilaku warga negara yang dibarengi dengan sikap sepenuh jiwa atas kecintaannya terhadap NKRI. Rasa cinta itu tentu didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Untuk mewujudkannya, warga negara harus memahami Bela Negara memiliki banyak spektrum, di antaranya menjaga solidaritas, toleransi dan hubungan baik sesama warga negara hingga akhirnya bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata.
Secara fisik, Bela Negara bisa juga diartikan mengangkat senjata menghadapi ancaman serangan dari negara lain (agresi). Namun, ancaman saat ini lebih banyak yang tidak nyata. Untuk menghadapinya, rakyat harus bersatu yang dilandasi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, nasionalisme dan kesadaran berbangsa serta bernegara. Selain itu, rakyat pun diminta untuk menanamkan kecintaan terhadap Bumi Pertiwi serta aktif terlibat dalam kegiatan sosial politik demi kemajuan bangsa.
Dalam hal ini apa yang dikatakan Carl Von Clausewitz sangat tepat, bahwa “War is the continuation of politics by other means”. Demikian juga perang asimetrik menunjuk pada konflik bersenjata untuk mencapai tujuan-tujuan politik, dengan melibatkan distribusi kekuatan yang tidak seimbang. Dalam hal ini pada umumnya inisiatif perang dimulai secara tidak biasa yaitu justru dari yang lemah kekuatannya sebagai strategi jalan terakhir (last resort) dari kelompok fanatik yang beranggapan bahwa tujuan politik merupakan keharusan untuk dicapai dengan cara apapun (contoh semangat Jihad) melawan musuh.
Dengan demikian ideologi membenarkan untuk melakukan tindakan anti sosial.Para analis psikologi beranggapan bahwa para pelaku baik kelompok maupun individual telah mengalami “future shock”. Terutama dalam masyarakat tradisional, perkembangan modernisasi dan globalisasi yang cepat di dunia saat ini ditopang oleh kemajuan luar biasa dalam teknologi transportasi, komunikasi dan informatika modern, serta ekonomi dan sosial yang bersifat universal dan sekular serta berbau nilai-nilai budaya Barat, dirasakan mengancam dan menggerus eksistensi masyarakat tradisional yang telah hidup berdasarkan nilai-nilai agama berabad-abad.
Mereka kemudian membangun solidaritas dalam organisasi asimetrik untuk menghadapi kekuatan luar tersebut agar bisa bertahan. Budaya “counter culture” yang fanatik dikembangkan dengan kode perilaku yang tidak dapat diterima akal sehat melalui indoktrinasi. Contoh pelaku bom bunuh diri (suicide bomber). (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H