Mohon tunggu...
Mohamad Sastrawan
Mohamad Sastrawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Matraman

http://malikbewok.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bela Negara, Ancaman Terorisme dan Perang Asimetris

12 Desember 2016   08:31 Diperbarui: 12 Desember 2016   09:11 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi Indonesia yang terus dihantui dengan terorisme membuktikan bahwa negara ini masuk dalam era Perang Asimetris. Dalam perang jenis ini nampak berbagai bentuk operasi yang tidak terlihat, tertutup, serangan cepat, mendadak dan tidak terduga. Selain bersifat operasional militer, serangan perang asimetris ini juga menggunakan benturan budaya, konflik agama dan hasutan atas nama moral.

Perang asimetris memiliki bentuk yang mencakup asimetri kekuasaan, sarana, cara, organisasi, nilai dan waktu. Artinya, perang jenis ini menggunakan semua potensi yang dijadikan vehicle (kendaraan) untuk menghancurkan musuh dan mencapai tujuan perang itu sendiri. Terorisme memiliki keterkaitan dengan perang asimetris karena kelompok teror memahami tidak akan menang jika menggunakan teknik konvensional.

Sehubungan dengan itu, perang asimetrik sebenarnya merupakan suatu pendekatan tentang perang (an approach to war). Sering dikatakan bahwa secara historis Perang Simetrik merupakan pendekatan tradisi militer Barat (Eropa dan Amerika Utara), sedangkan Perang Asimetrik merupakan gaya perang Asiatik termasuk Timur Tengah.

Bahaya asimetrik yang bersifat sosial politik terhadap “human security” baik individual, kelompok maupun masyarakat misalnya terorisme,   akan sekaligus dianggap sebagai perang asimetrik apabila targetnya adalah Negara sebagai keseluruhan atau “state centric security”.

Hal ini bisa difahami karena dalam perang asimetrik, “the military weaker party is tempted to have recourse to unlawful methods of warfare in order to overcome the adversaries strength”.

Persamaan antara keduanya adalah bahwa sesuatu yang asimetrik akan meningkatkan ketidakpastian (uncertainty), kejutan (surprised), sesuatu yang tidak diharapkan (unexpected), sesuatu yang tidak dikehendaki (unintended) dan tidak biasa (unfamiliar) serta tidak diketahui (unknown).

Carl von Clausewitz dalam bukunya “On War” menegaskan bahwa “uncertainty is fundamental to warfare”. Segala ketidakpastian tersebut diakibatkan oleh lemahnya fungsi intelijen untuk mendeteksi tentang tujuan musuh; waktu, lokasi atau bahkan rencana serangan; keberadaan senjata baru yang digunakan; dan perkembangan  bentuk baru perang (contoh Blitzkrieg Jerman).

Dengan perspektif lain perang asimetrik bisa dilakukan pertama, dalam kerangka perang konvensional (conventional warfare) atau perang simetrik, dimana mereka yang berperang berusaha menciptakan TTP (taktik, tehnik dan prosedur) yang tidak biasa dan  yang akan mengejutkan pihak lawan. Dalam hal ini yang terlibat adalah Negara sebagai entitas (warfare between nation states).

Yang kedua, bisa juga dalam kerangka perang non-konvensional atau perang asimetrik  antara  entitas Negara dan aktor-aktor non-negara (non-state actors).  Yang pertama digambarkan oleh Clinton dan Burke (2003), yaitu antara PD I dan PD II, AL Jepang telah mengembangkan “Type 93 Long Lance Torpedo”  yang dapat membawa hulu ledak yang besar  dan dapat menempuh 20.000 yards (1 yard = 0, 9144 meter) atau lebih dengan kecepatan sampai 40 knots  (1 knot = 1852 km/jam) yang dapat dioperasikan malam hari melalui manuver destroyers dan cruisers. Di sisi lain  torpedo AS sangat lambat (10.000 yards) dengan hulu ledak jauh lebih kecil.

Dengan uraian di atas, perang asimetrik menjadi bagian dari upaya teror yang dilakukan kelompok tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Kelompok teror mewujud menjadi aktor non negara yang memainkan perang asimetrik dengan taktik gerilyawan. Ingat, falsafah pelaku teror adalah melahirkan ketidakpastian akibat aksi terorisme mereka.

Bela Negara Sebagai Solusi Menghadapi Ancaman Terorisme

Kementerian Pertahanan telah menggelar program Bela Negara yang ditujukan sebagai upaya menyadarkan warga negara tentang pentingnya cinta tanah air.  Bela Negara menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meredam laju radikalisme akibat laju globalisasi yang kian deras. Ke depan, perang tidak lagi konvensional, melainkan juga akan melibatkan banyak sektor. Dengan Bela Negara di semua lini kehidupan masyarakat, maka cara pandang (world view) kebangsaan akan memainkan peran dan mereduksi cara pandang ekstrim yang dilandaskan agama.

Bela Negara memiliki definisi sebagai perilaku warga negara yang dibarengi dengan sikap sepenuh jiwa atas kecintaannya terhadap NKRI. Rasa cinta itu tentu didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Untuk mewujudkannya, warga negara harus memahami Bela Negara memiliki banyak spektrum, di antaranya menjaga solidaritas, toleransi dan hubungan baik sesama warga negara hingga akhirnya bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata.

Secara fisik, Bela Negara bisa juga diartikan mengangkat senjata menghadapi ancaman serangan dari negara lain (agresi). Namun, ancaman saat ini lebih banyak yang tidak nyata. Untuk menghadapinya, rakyat harus bersatu yang dilandasi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, nasionalisme dan kesadaran berbangsa serta bernegara. Selain itu, rakyat pun diminta untuk menanamkan kecintaan terhadap Bumi Pertiwi serta aktif terlibat dalam kegiatan sosial politik demi kemajuan bangsa.

Dalam hal ini apa yang dikatakan Carl Von Clausewitz sangat tepat, bahwa “War is the continuation of politics by other means”. Demikian juga perang asimetrik menunjuk pada konflik bersenjata untuk mencapai tujuan-tujuan politik, dengan melibatkan distribusi kekuatan yang tidak seimbang. Dalam hal ini pada umumnya inisiatif perang dimulai secara tidak biasa yaitu justru dari yang lemah kekuatannya sebagai strategi jalan terakhir (last resort) dari kelompok fanatik yang  beranggapan bahwa tujuan politik merupakan keharusan untuk dicapai dengan cara apapun (contoh semangat Jihad) melawan musuh.

Dengan demikian ideologi  membenarkan  untuk melakukan  tindakan anti sosial.Para analis psikologi beranggapan bahwa  para pelaku baik kelompok maupun individual telah mengalami “future shock”. Terutama dalam masyarakat tradisional, perkembangan modernisasi dan globalisasi yang cepat di dunia saat ini ditopang oleh kemajuan luar biasa dalam teknologi transportasi, komunikasi dan informatika modern, serta ekonomi dan sosial yang bersifat universal dan sekular serta berbau nilai-nilai budaya  Barat, dirasakan  mengancam dan menggerus eksistensi masyarakat tradisional yang telah hidup  berdasarkan  nilai-nilai agama berabad-abad. 

Mereka kemudian membangun solidaritas dalam  organisasi asimetrik untuk menghadapi  kekuatan luar tersebut agar bisa bertahan. Budaya “counter culture” yang fanatik dikembangkan dengan kode perilaku yang tidak dapat diterima akal sehat melalui indoktrinasi. Contoh pelaku  bom bunuh diri (suicide bomber). (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun