Kondisi Indonesia yang terus dihantui dengan terorisme membuktikan bahwa negara ini masuk dalam era Perang Asimetris. Dalam perang jenis ini nampak berbagai bentuk operasi yang tidak terlihat, tertutup, serangan cepat, mendadak dan tidak terduga. Selain bersifat operasional militer, serangan perang asimetris ini juga menggunakan benturan budaya, konflik agama dan hasutan atas nama moral.
Perang asimetris memiliki bentuk yang mencakup asimetri kekuasaan, sarana, cara, organisasi, nilai dan waktu. Artinya, perang jenis ini menggunakan semua potensi yang dijadikan vehicle (kendaraan) untuk menghancurkan musuh dan mencapai tujuan perang itu sendiri. Terorisme memiliki keterkaitan dengan perang asimetris karena kelompok teror memahami tidak akan menang jika menggunakan teknik konvensional.
Sehubungan dengan itu, perang asimetrik sebenarnya merupakan suatu pendekatan tentang perang (an approach to war). Sering dikatakan bahwa secara historis Perang Simetrik merupakan pendekatan tradisi militer Barat (Eropa dan Amerika Utara), sedangkan Perang Asimetrik merupakan gaya perang Asiatik termasuk Timur Tengah.
Bahaya asimetrik yang bersifat sosial politik terhadap “human security” baik individual, kelompok maupun masyarakat misalnya terorisme, akan sekaligus dianggap sebagai perang asimetrik apabila targetnya adalah Negara sebagai keseluruhan atau “state centric security”.
Hal ini bisa difahami karena dalam perang asimetrik, “the military weaker party is tempted to have recourse to unlawful methods of warfare in order to overcome the adversaries strength”.
Persamaan antara keduanya adalah bahwa sesuatu yang asimetrik akan meningkatkan ketidakpastian (uncertainty), kejutan (surprised), sesuatu yang tidak diharapkan (unexpected), sesuatu yang tidak dikehendaki (unintended) dan tidak biasa (unfamiliar) serta tidak diketahui (unknown).
Carl von Clausewitz dalam bukunya “On War” menegaskan bahwa “uncertainty is fundamental to warfare”. Segala ketidakpastian tersebut diakibatkan oleh lemahnya fungsi intelijen untuk mendeteksi tentang tujuan musuh; waktu, lokasi atau bahkan rencana serangan; keberadaan senjata baru yang digunakan; dan perkembangan bentuk baru perang (contoh Blitzkrieg Jerman).
Dengan perspektif lain perang asimetrik bisa dilakukan pertama, dalam kerangka perang konvensional (conventional warfare) atau perang simetrik, dimana mereka yang berperang berusaha menciptakan TTP (taktik, tehnik dan prosedur) yang tidak biasa dan yang akan mengejutkan pihak lawan. Dalam hal ini yang terlibat adalah Negara sebagai entitas (warfare between nation states).
Yang kedua, bisa juga dalam kerangka perang non-konvensional atau perang asimetrik antara entitas Negara dan aktor-aktor non-negara (non-state actors). Yang pertama digambarkan oleh Clinton dan Burke (2003), yaitu antara PD I dan PD II, AL Jepang telah mengembangkan “Type 93 Long Lance Torpedo” yang dapat membawa hulu ledak yang besar dan dapat menempuh 20.000 yards (1 yard = 0, 9144 meter) atau lebih dengan kecepatan sampai 40 knots (1 knot = 1852 km/jam) yang dapat dioperasikan malam hari melalui manuver destroyers dan cruisers. Di sisi lain torpedo AS sangat lambat (10.000 yards) dengan hulu ledak jauh lebih kecil.
Dengan uraian di atas, perang asimetrik menjadi bagian dari upaya teror yang dilakukan kelompok tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Kelompok teror mewujud menjadi aktor non negara yang memainkan perang asimetrik dengan taktik gerilyawan. Ingat, falsafah pelaku teror adalah melahirkan ketidakpastian akibat aksi terorisme mereka.
Bela Negara Sebagai Solusi Menghadapi Ancaman Terorisme