"Ibu tidak ingin menjadi penghalang di antara kalian,"
"Yang menjadi penghalang itu karena tak ada penerimaan darinya, Bu,"
"Kenapa tidak kalian lanjutkan saja rencana tersebut? Toh perlahan-lahan nanti ia pasti bisa menerima ayah dan ibumu ini,"
"Tak ada gunanya kata 'perlahan-lahan', Bu. Sebab aku tidak ingin mencoba-coba dalam hal pernikahan. Bagiku pernikahan adalah sakral dan hanya satu kali seumur hidup. Jadi aku sangat berhati-hati jika melangkahkan hati untuk memilih melepas kesendirian ini dengan pemuda yang mengaku mencintaiku,"
"Kembalilah padanya, sayang. Ibu ingin kau bahagia,"
"Aku lebih bahagia jika melihat ibu bahagia. Jadi aku tidak bisa memilihnya karena cintaku padamu, Bu. Cintaku ini tak terwakilkan pada apapun juga. Aku takut jika aku menjadi istrinya kelak, ia akan melarangku untuk bertemu dan bercengkerama seperti biasa denganmu, sebab setelah akad itu tertunaikan, aku memang harus berbakti padanya. Itulah yang tidak kuinginkan, Bu. Aku tidak ingin berbakti pada lelaki yang hatinya sangat jauh darimu. Yang hatinya tak bisa menerimamu. Ah, tidak. Sudah cukuplah. Aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri lebih lama dengan tetap bertahan di sisinya,"
Ibu pun memeluk Arshinta. Didekapnya putri kesayangannya itu. Dua perempuan yang larut dalam kesedihan masing-masing. Dua perempuan yang tak terpisahkan sejak kehidupan di alam pertama menyatukan mereka, yakni kehidupan di alam rahim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H