Rani mengernyitkan kening tanda tak paham penjelasan Arshinta.
"Maksudmu?
"Kau tahu bukan, bagaimana tak bisa bersatunya istri kakak laki-lakiku satu-satunya dengan ibuku?
"Iya, aku tahu. Sampai saat ini perempuan itu tak bisa menerima keberadaan ibumu di tengah-tengah mereka,"
"Itulah pemicu dari keretakan hubunganku dengan pemuda yang bersamaku kemarin. Bukannya aku tak cinta, tapi aku memang tidak bisa mencintai orang yang tidak bisa menerima dan mencintai kedua orangtuaku, terutama ibuku,"
"Tapi kan tidak seharus seperti itu keputusan yang kau ambil,"
"Aku tahu resikonya dan inilah pilihanku. Aku lebih memilih meninggalkannya daripada harus kutinggalkan ibuku dalam keterasingan yang diciptakan perempuan kakak laki-lakiku. Jika bukan aku, siapa lagi yang akan sangat peduli dengan ibuku? Tidak, Ran. Cukuplah cintaku pada ayah dan ibuku saja. Setelah itu, aku tak tahu siapa. Yang jelas, aku hanya mau menerima lelaki yang mau menerima keberadaan ayah dan ibuku. Itu saja. Tidak lebih,"
***
Sang ibu menangis mendengar keputusan anak perempuan satu-satunya. Ia tak menyangka keberadaannya akan membuat hubungan cinta antara sepasang kekasih yang sebentar lagi akan menikah tiba-tiba kandas hanya karena tak ada penerimaan yang tulus dari laki-laki terhadap dirinya sebagai seorang ibu.
"Kau tak menyesal, sayang? tanya ibu pada Arshinta seraya membelai lembut rambut yang panjang terurai itu.
"Aku lebih menyesal lagi jika harus menyia-nyiakanmu, Bu. Sudahlah, ini memang pilihanku dan aku takkan pernah menyesalinya," jawab Arshinta dengan getir.