Di ruang tengah nampak meja pendek yang sudah penuh dengan makanan berbuka. Tak nampak tikar atau permadani yang terhampar di sana. Hanya beralasan keramik coklat.
Nampak pula aneka makanan yang bercirikan orang desa. Ada kolak, ayam yang dibuat opor, nasi dan gorengan tahu. Semuanya terhampar di meja yang luasnya tak lebih dari dua meter persegi itu.
Bacaan tadarus Al Qur'an dari toa masjid desa masih mengiringi senja itu.Â
Jam dinding masih berdetik yang menunjukkan waktu pukul enam sore. Lima menit lagi waktu berbuka puasa pun tiba.
Di sisi mereka, dua anak tengah asyik bermain gadget. Udin bermain game tembak-tembakan, dan Mamat tengah menonton film anak-anak di sebuah kanal youtube kesayangannya.Â
"Mah, puasa ini aku merasa ada yang kurang!"Â
Tiba-tiba Mahmud mengutarakan sesuatu pada istrinya. Ada guratan kesedihan di sana. Kali ini ia mengungkapkan apa yang telah lama ia sembunyikan. Sebuah pergolakan batin yang terus dihantui rasa bersalah.
Istrinya hanya menoleh dan memandangi wajah suaminya yang menunjukkan wajah sedihnya. Sedangkan anak-anak pun seketika itu memandangi mereka berdua tanpa berkomentar sedikitpun.Â
"Ada apa Pah? Apa makanan Mamah  kurang lengkap?"
"Enggak!" Jawab Mahmud.Â
"Lalu, apa, Pah? Tanya istrinya lagi.
"Ngomong sih, Pah! Jangan diam saja! Kan, Mamah bingung dengan sikap Papah."
"Perasaan kalau mau berbuka puasa, papah selalu sedih. Apa ada yang salah dengan makanan ini ya? Padahal apa yang aku masak sudah seperti yang Papah mau. Lalu apa yang membuat Papah bersedih? Gumam sang istri dalam hati.
"Iya, Papah kenapa Pah, apa Papah lagi sakit?" Tiba anak-anak pun bertanya.Â
"Papah nggak sakit kok." Jawabnya singkat.
"Lalu apa Pah?" Tanya istrinya lagi.
Sejenak Mahmud terdiam, tiba-tiba ada embun yang membasahi sudut matanya itu.
"Aku ingat, ketika Ibuku masih ada di sini. Kita benar-benar sulit mencari rezeki. Jadi jangankan memberikan hidangan yang enak, memberikan obat untuk kesembuhan Ibu saja sulit Papah lakukan. Papah sedih, kenapa baru sekarang kita bisa menikmati ini semua."
Kata-kata Mahmud seperti memecah kebahagiaan sore itu.
Sebagai seorang ayah, Mahmud tentu tidak mau menampakkan kesedihan terlalu dalam. Ia pun kembali mengulas senyum di hadapan keluarganya. Ia tak ingin keluarganya turut merasakan kesedihan yang ia alami. Cukup dia saja yang merasakan.Â
"Iya, Mamah juga sedih, kenapa dulu kita nggak bisa membahagiakan Ibu ya? Perasaan setiap hari kita makannya ikan asin dan sayurnya daun singkong. Padahal kita tahu Ibu punya penyakit darah tinggi dan asam urat. Tapi karena kita kesulitan keuangan, kita sama sekali tak mampu memberikan makanan yang baik untuk ibu." Wajah sang istri pun sayu.
"Sekarang, ketika rezeki kita sudah mendingan, ternyata Ibu sudah nggak ada. Makanya Papah sangat sedih dan merasa berdosa tidak bisa membahagiakan Ibu."
Pada saat itu semua mata terlihat nanar. Wajah yang semula merona, kini pucat seperti es batu. Kesedihan yang awalnya dirasakan sang Papah, ternyata menyebar ke seluruh isi rumah.
"Tapi, semuanya sudah terjadi. Dan kini kita hanya bisa mendoakan Ibu dengan doa-doa terbaik. Mudah-mudahan di alam sana ibbu mendapatkan tempat yang terbaik."
Alhamdulillah, sampai hari ini, kita masih bisa menikmati nikmatnya kolak dan semoga apa yang kita rasakan saat ini, dirasakan oleh Ibu di sana.
"Iya, Pah. Semoga nenek mendapatkan surganya Allah ya, Pah". Anak pertama sedikit mengurai kesedihan.
"Benar sekali. Di bulan yang penuh ampunan ini, mari kita doakan Nenek kalian dengan doa-doa terbaik. Lanjut Mahmud.
Tak terasa, suasana semakin larut, dan warna jingga bertebaran di langit. Suara-suara Adzan mulai terdengar syahdu. Seperti syahdunya malam maghrib ketika kerongkongan yang kering teraliri oleh manis dari kolak yang sudah tersedia di meja.
Suasana yang nampak haru itupun berubah menjadi bahagia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI