"Ngomong sih, Pah! Jangan diam saja! Kan, Mamah bingung dengan sikap Papah."
"Perasaan kalau mau berbuka puasa, papah selalu sedih. Apa ada yang salah dengan makanan ini ya? Padahal apa yang aku masak sudah seperti yang Papah mau. Lalu apa yang membuat Papah bersedih? Gumam sang istri dalam hati.
"Iya, Papah kenapa Pah, apa Papah lagi sakit?" Tiba anak-anak pun bertanya.Â
"Papah nggak sakit kok." Jawabnya singkat.
"Lalu apa Pah?" Tanya istrinya lagi.
Sejenak Mahmud terdiam, tiba-tiba ada embun yang membasahi sudut matanya itu.
"Aku ingat, ketika Ibuku masih ada di sini. Kita benar-benar sulit mencari rezeki. Jadi jangankan memberikan hidangan yang enak, memberikan obat untuk kesembuhan Ibu saja sulit Papah lakukan. Papah sedih, kenapa baru sekarang kita bisa menikmati ini semua."
Kata-kata Mahmud seperti memecah kebahagiaan sore itu.
Sebagai seorang ayah, Mahmud tentu tidak mau menampakkan kesedihan terlalu dalam. Ia pun kembali mengulas senyum di hadapan keluarganya. Ia tak ingin keluarganya turut merasakan kesedihan yang ia alami. Cukup dia saja yang merasakan.Â
"Iya, Mamah juga sedih, kenapa dulu kita nggak bisa membahagiakan Ibu ya? Perasaan setiap hari kita makannya ikan asin dan sayurnya daun singkong. Padahal kita tahu Ibu punya penyakit darah tinggi dan asam urat. Tapi karena kita kesulitan keuangan, kita sama sekali tak mampu memberikan makanan yang baik untuk ibu." Wajah sang istri pun sayu.
"Sekarang, ketika rezeki kita sudah mendingan, ternyata Ibu sudah nggak ada. Makanya Papah sangat sedih dan merasa berdosa tidak bisa membahagiakan Ibu."