Di ruang tengah nampak meja pendek yang sudah penuh dengan makanan berbuka. Tak nampak tikar atau permadani yang terhampar di sana. Hanya beralasan keramik coklat.
Nampak pula aneka makanan yang bercirikan orang desa. Ada kolak, ayam yang dibuat opor, nasi dan gorengan tahu. Semuanya terhampar di meja yang luasnya tak lebih dari dua meter persegi itu.
Bacaan tadarus Al Qur'an dari toa masjid desa masih mengiringi senja itu.Â
Jam dinding masih berdetik yang menunjukkan waktu pukul enam sore. Lima menit lagi waktu berbuka puasa pun tiba.
Di sisi mereka, dua anak tengah asyik bermain gadget. Udin bermain game tembak-tembakan, dan Mamat tengah menonton film anak-anak di sebuah kanal youtube kesayangannya.Â
"Mah, puasa ini aku merasa ada yang kurang!"Â
Tiba-tiba Mahmud mengutarakan sesuatu pada istrinya. Ada guratan kesedihan di sana. Kali ini ia mengungkapkan apa yang telah lama ia sembunyikan. Sebuah pergolakan batin yang terus dihantui rasa bersalah.
Istrinya hanya menoleh dan memandangi wajah suaminya yang menunjukkan wajah sedihnya. Sedangkan anak-anak pun seketika itu memandangi mereka berdua tanpa berkomentar sedikitpun.Â
"Ada apa Pah? Apa makanan Mamah  kurang lengkap?"
"Enggak!" Jawab Mahmud.Â
"Lalu, apa, Pah? Tanya istrinya lagi.