Setiap warga negara dimanapun berada seringkali bersinggungan dengan persoalan suku. Bahkan beberapa tahun ke belakang, kasus perselisihan antar suku cukup memancing perhatian masyarakat global. Sebab, kasus kekerasan atas nama kesukuan atau daerah ketika menjadi berita akan mudah sekali memancing respon publik, khususnya pengguna internet. Seperti perundungan yang terjadi baru-baru ini di Sumatera Barat maupun di Sumatera Utara, tentu amatlah mudah memancing respon sosial.
Setiap akar masalah perselisihan antar daerah atau antar suku bisa jadi muncul dari sikap egosentrisme kedaerahan, yang seolah-olah masyarakat lokal memiliki hak yang lebih dibandingkan masyarakat lainnya (pendatang). Padahal sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-undang 1945 pasal 33, menyebutkan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya adalah milik negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat."
Pasal tersebut sangat jelas sekali tidak ada satu alasan pun untuk melakukan pembedaan-pembedaan, dikotomi, diskriminasi daerah, dan perlakuan yang istimewa ketika berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bidang apapun, termasuk bidang bidang pendidikan, seharusnya pelaku pendidikan (pemerintah, guru dan siswanya) selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan ini. Adanya nilai egaliter atau kesetaraan yang dimiliki oleh setiap warga negara yang juga harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.
Dengan kata lain, segala bentuk perundungan atau diskriminasi sosial yang dialami oleh guru maupun siswa merupakan sebuah kesalahan fatal dan merupakan pelanggaran perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi jika ada aksi pelecehan secara verbak maupun fisik, tentu ancamannya adalah pidana.
Namun, semua bentuk perundungan, diskriminasi dan egosentrisme kedaerahan dapat dicegah dengan proses pendidikan yang banyak menitikberatkan pada penyelesaian masalah (problem solving), diskusi, serta lebih banyak menggunakan metode project based learning. Dimana metode ini adalah pendekatan pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk merencanakan aktivitas belajar, melaksanakan proyek secara kolaboratif, dan pada akhirnya menghasilkan produk kerja yang dapat dipresentasikan kepada orang lain.Â
Sesuai dengan prinsip dan potret pelajar Pancasila yaitu selalu berfikir kritis, selalu mengupayakan kerjasama dengan orang lain dan melakukan komunikasi dengan siapapun lintas latar belakang, suku, agama, daerah serta lintas negara agar tercipta generasi Pancasila yang berwawasan global serta kreatif dalam membangun dirinya, lingkungan, bangsanya serta dunia.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H