Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Efektifitas Pembelajaran Pengembangan Diri (Membuat Keripik Pisang) Siswa Berkebutuhan Khusus di Masa Pandemi

26 Februari 2022   05:32 Diperbarui: 26 Februari 2022   06:11 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Siswa berkebutuhan khusus di SLB Negeri Metro sedang mengolah pisang menjadi keripik (dok. pribadi)

Ada peribahasa yang mengatakan bahwa sekeras-kerasnya batu bila tertimpa hujan secara terus menerus akan retak juga, yang jika disepadankan dengan sesulit apapun seseorang dalam menerima pengetahuan, secara perlahan ia akan mendapatkan pengetahuan yang diinginkan. Bahkan hasil dari pengetahuan itu akan sangat signifikan jika dilalui dan dilakukan dengan proses yang benar, tepat dan berkesinambungan.

Sebagaimana dipahami bahwa anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kecenderungan fisik, psikis, intelegensi dan sosial yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Khususnya anak-anak tunagrahita yang memang memiliki tingkat kemampuan menerima informasi relatif lebih rendah yang berakibat pada lambatnya proses perkembangan secara kognitif, afektif dan psikomotorik mereka.

Menurut  AAMD (American Association on Mental Deficiency) yang dikutip oleh Grossman (Kirk & Gallagher) yang diterjemahkan oleh Astuti dan Lismulyati bahwa "Tunagrahita mengacu pada fungsi intellect umum yang nyata berada di bawah rata-rata bersamaan dengan kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung dalam masa perkembangan." (Sumber: Astari) 

Senada dengan pendapat di atas, Amin menjelaskan bahwa anak tunagrahita adalah "anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, mengalami hambatan tingkah laku, penyesuaian dan terjadi pada masa perkembangan."

Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh anak-anak Tunagrahita di SLB Negeri Metro, dalam pembelajaran pengembangan diri khususnya mengolah makanan ringan, berdasarkan asesmen awal rerata mereka mengalami keterbatasan dalam memahami cara mengolah makanan ringan, khususnya membuat keripik pisang. 

Mereka belum mengenal jenis-jenis pisang yang bisa diolah menjadi keripik, cara mengupas, merajang pisang menjadi bentuk yang lebih tipis, cara menggoreng dan mengelola pasca pengolahan, berupa pengepakan dan penyimpanan. Selain itu, di antara mereka masih ada yang belum mengenal alat-alat yang digunakan dan bagaimana menggunakannya agar memenuhi keamanan standar kerja.

Dari jumlah siswa yang berjumlah 5 orang, tiga di antaranya sama sekali belum mengetahui bahan, alat dan cara mengolah, pengemasan dan penyimpanan keripik pisang, dan selebihnya sudah mengetahui tapi belum berani dalam menggunakan alat-alat serta belum bisa membuat keripik pisang secara mandiri.

Selain karena di antara mereka memang belum mengenal pengolahan pisang, kondisi fisik memang dianggap tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Padahal karena rerata anak-anak ini tidak dilibatkan dalam kegiatan apapun di rumah, dengan alasan karena anak-anak ini dianggap tidak mampu melakukan apa-apa dan karena khawatir sesuatu yang membahayakan terjadi pada diri mereka. 

Untuk alasan kedua bahwa orang tua khawatir akan keselamatan anak ini tentu karena sang anak perlu mendapatkan pendampingan dan bimbingan secara kontinyu agar suatu hari anak-anak benar-benar bisa melakukannya secara mandiri dan mengerti standar keamanan kerja seiring dengan pembiasaan yang telah dilakukan.

Hakekatnya, apa yang dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus ini juga dialami oleh anak-anak pada umumnya. Tanpa ada pembelajaran dan latihan pembiasaan, sang anak tidak akan mendapatkan pengalaman terbaik bagi kemandirian mereka.

Mengapa anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengalami perkembangan dalam segi kemandirian?

Pertama, anak-anak berkebutuhan khusus dianggap sebagai anak yang tidak tahu apa-apa (bodoh). Padahal tidak ada anak berkebutuhan khusus yang bodoh, melainkan mereka membutuhkan proses yang berbeda dalam menerima dan memahami informasi yang diberikan. Selain itu setiap anak memiliki kecenderungan, bakat dan kemampuan yang berbeda dan itu menjadi potensi yang bisa dikembangkan.

Kedua, kecenderungan orang tua yang khawatir jika anak-anak berkebutuhan khusus ini diberikan kemandirian di rumah, akan mengalami kecelakaan kerja atau merusak alat-alat yang digunakan. Padahal tidak ada kehidupan manusia yang tidak melakukan kesalahan. Bahkan seseorang yang dianggap jenius pun masih memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan kecelakaan dalam pekerjaan mereka.

Ketiga, orang tua siswa minder dan takut dengan kata-kata orang atau tetangga terkait kondisi anak-anak mereka, yang akibatnya orang tua menyembunyikan anak-anaknya di kamar dan menjauhkan mereka dari pergaulan. Kondisi ini mengakibatkan sang anak akan semakin minder dan mengalami stagnasi dalam kemandirian. Padahal semakin dini seorang anak mendapatkan layanan yang tepat, maka bakat, kebutuhan dan potensi yang ada akan semakin terasah dan dapat dioptimalkan dengan lebih baik.

Dengan tidak mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam pendidikan formal, non formal atau informal karena kesibukan, maka memberikan efek negatif yang justru membuat anak-anak mereka terpuruk ke dalam ketidak mampuan dan sulit mencapai kemandirian.

Pengembangan diri siswa dalam keterampilan membuat keripik pisang di era Pandemi

Siapa yang dapat menyangkal bahwa pandemi Covid-19 sedikit banyak telah memutus mata rantai kemajuan anak-anak berkebutuhan khusus dan peserta didik pada umumnya dalam mencapai kemandirian pribadi? Pasalnya karena pandemi ini hampir semua lini kehidupan mendapatkan imbasnya. 

Proses pembelajaran pun sempat terganggu serta mengurangi intensitas layanan bagi peserta didik karena belajar dan bekerja dari rumah. Meskipun demikian, dengan keadaan yang serba terbatas, pemerintah tetap memberikan alternatif yang paling sesuai bagi guru dan siswa dalam menyampaikan pengetahuan dan keterampilan bagi peserta didik. Salah satunya dengan pembelajaran Daring baik offline maupun online, dan pemberlakuan tatap muka terbatas (PTM). 

Demikian halnya dalam pembelajaran pengembangan diri yang menyangkut kemampuan anak dalam mengolah makanan ringan pun mengalami sedikit hambatan, meskipun semua hambatan bisa diminimalisir dengan bimbingan orang tua di rumah serta bimbingan guru di sekolah ketika pemberlakuan tatap muka terbatas.

Peserta didik masih bisa mengikuti segenap kegiatan pembelajaran secara lebih sederhana dan alat-alat yang sederhana pula dengan mematuhi protokol kesehatan meskipun dalam waktu yang amat terbatas.

Pada awal pembelajaran anak-anak diperkenalkan dengan jenis-jenis pisang yang bisa dibuat menjadi keripik, apa alat-alat yang digunakan, serta bagaimana cara pembuatannya serta cara menyimpannya.

Awalnya peserta didik sedikit mengetahui jenis pisang yang bisa dimanfaatkan untuk bahan pembuatan keripik, namun setelah dikenalkan jenis pisangnya, mereka secara langsung bisa mengenali nama-nama pisang tersebut berdasarkan contoh-contoh pisang yang ditunjukkan pada mereka.

Untuk mengenal alat-alat, bagi peserta didik perempuan, alat-alat yang digunakan sedikit banyak sudah diketahui. Meskipun ada pula yang sama sekali belum mengenalnya, lantaran memang belum pernah bersentuhan secara langsung dengan alat-alat masak tersebut. Jika mereka sudah mengenalnya, itupun ada di antara mereka yang tidak mengetahui namanya dan bagaimana menggunakannya.

Nah, pada tahap proses pembuatan, ketika diminta melakukannya, seperti diminta mencoba mengupas pisang pun masih kesulitan. Alasannya karena memang belum terlatih bagaimana mengupas pisang dengan benar.

Setelah melalui proses latihan pengupasan, pembersihan, pengirisan pisang menggunakan alat yang disediakan, kemudian secara bergantian anak-anak melakukan proses penggorengan pisang yang telah diiris tipis-tipis dengan tepat.

Mulanya diantara peserta didik mengalami ketakutan untuk menggoreng, namun dengan latihan berulang-ulang dan secara perlahan, kemampuan mereka melakukannya dengan baik seiring dengan kepercayaan diri dan pengetahuan dan pengalaman yang semakin meningkat.

Pada akhirnya, dengan bimbingan yang intens disertai latihan berulang-ulang dan memupuk rasa kepercayaan diri peserta didik, olahan keripik pisang pun bisa diciptakan. Selain bimbingan di sekolah, ternyata peserta didik pun mendapatkan latihan dan bimbingan dari orang tua di rumah, sehingga kemampuan mereka semakin baik seperti yang diharapkan, dengan kemampuan membuat makanan ringan ini bisa meningkatkan kemandirian peserta didik sekaligus bisa menjadi sumber penghasilan atau bagi penghidupan mereka setelah mereka menyelesaikan pendidikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun