Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kerikil Kecil

12 Agustus 2020   21:57 Diperbarui: 13 Agustus 2020   14:01 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai, Adi! Apa kabar? Sekarang tinggal di mana?" Seseorang menyapaku. Jalanan ramai dan orang-orang lalu lalang meninggalkan terminal ini. 

Bau keringat masih menyengat di tubuhku. Meski begitu, tak menyurutkan langkahku untuk melanjutkan perjalanan. Ada satu teman yang hendak kutemui di dekat pasar Tanah Abang.

Mataku terbelalak ketika kudapati seorang wanita elegan menyapaku. Awalnya aku terkejut karena kurang begitu familiar dengan wanita ini. 

Untuk beberapa saat aku rapihkan pakaianku yang agak kusut, karena berjam-jam melakukan perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Dengan bis kota aku habiskan dengan berteman debu jalanan.

"Siapa ya? Maaf saya lupa dengan Anda." Kataku untuk membuka obrolan tak sengaja ini.

Aku terpana, dan sesaat tidak bisa menjawab sapaannya. Takut si wanita ini salah orang. Maklum, banyak orang yang memiliki kemiripan wajah. Saat ini setiap orang bisa saja mengaku kenal. Apalagi orang kampung seperti diriku, tentu mesti waspada. 

"Kamu lupa dengan aku? Aku ini temanmu lho! Kembali wanita ini menyampaikan siapa dirinya. Kening saya mengkerut dan mencoba untuk mengingat-ingat kembali siapa wanita ini. 

"Aku Yana. Ingat nggak, dulu kita pernah sama-sama bersekolah di MTs Ma'arif 3 Taman Cari Purbolinggo? Waktu itu kamu naik sepeda warna hitam. Dan aku selalu berjalan kaki ke sekolah. Rumahku tak jauh dari sekolah kita. Mas kan pernah juga main ke rumah dengan teman kita, Yuni. Entah bagaimana kabar Yuni sekarang. Semoga saja beliau berbahagia dengan pernikahannya." Paparnya sekedar membagi kisah masa lalu ketika masih bersama.

Ketika wanita ini menyebut salah satu sekolah, aku seperti terseret arus ke masa lalu. Di mana kami merasakan kebahagiaan hidup bersama teman-teman sekolah. Hingga akhirnya kami berpisah setelah kami lulus. Aku melanjutkan sekolah di luar kota. Sedangkan Yana, ternyata dia menjadi sosok yang berbeda.

"Oh iya, aku ingat. Kamu Yana yang dulu selalu juara kelas, 'kan? Sedangkan aku, dapat rangking empat saja sudah empot-empotan." Kataku melanjutkan pembicaraan.

Akhirnya ingatanku kembali pada sosok wanita di depanku ini. Tanpa sadar aku lupa bahwa aku hendak menuju kompleks pasar Tanah Abang, menemui seorang sahabatku di sana.

"Ya Allah, kamu sekarang sukses? Berapa tahun kita nggak ketemu, sekarang penampilanmu beda." Nampak Yana juga tersenyum padaku.

Tak terasa suasana semakin menyengat, panas siang ini sangat menusuk kepalaku. Aku ajak Yana untuk berteduh sebentar, di sebuah warteg di pinggir jalan. Nampak ramai dengan para pembeli. Di antara mereka ada yang menatap kami dengan pandangan tajam, tapi kebanyakan cuek dan lebih fokus dengan aktifitas masing-masing.

Aku pesan dua botol Sosro. 

"Kamu sudah sukses. Beda sama aku, sampai sekarang hanya sebagai pekerja harian lepas." Keluhku.

"Kamu sudah menikah?" Tanya Yana padaku.

"Alhamdulillah sudah menikah. Meskipun akhirnya kandas gara-gara persoalan kecil." Ceritaku tanpa malu mengutarakan semuanya.

"Maaf, kalau aku membuatmu mengingat masa lalu."

Kutundukkan wajahku. Ku ingin nampak nyaman meskipun dalam keadaan galau. Melihat kehidupanku yang berantakan sedangkan kehidupan Yana yang begitu membanggakanku sebagai sahabatnya.

Kunikmati segarnya teh itu untuk menghapus rasa gundah yang kala itu tiba-tiba lahir. Airnya juga menyegarkan fikiranku yang kalut. 

Kupandangi wajah Yana, sungguh wajahnya membuatku terpana.

"Aku pernah merasakan bagaimana menikahi wanita yang cantik, dengan kecerdasannya menjadikan aku begitu memujanya. Seumur hidup aku selalu mengharapkan wanita yang sederhana dan menerima aku apa adanya. Sayangnya aku kurang beruntung" tak terasa aku menceritakan semuanya.

"Kenapa dengan pernikahanmu? Kandas? Maksudnya kalian berpisah?" Tanya wanita di depanku dengan pensaran. 

"Sebenarnya aku gak enak hati bercerita denganmu. Masa iya  aku begitu cengeng dan gagal dalam menjalin pernikahan?"

"Ya nggak apa-apalah, namanya juga takdir. Kita juga nggak pernah tahu kapan kita dipertemukan. Seperti sekarang ini, tiba-tiba di jalanan ramai begini kita dipertemukan Tuhan. 

Yana membuatku berani untuk mengutarakan semuanya. 

"Tahu nggak, meskipun aku kerja serabutan, semua uang belanja aku berikan pada istriku. Apapun aku kerjakan. Pekerjaan dapur sebagian aku kerjakan agar meringankan tugasnya mengurus anakku. Tapi suatu saat kami bertengkar hebat gara-gara pasir kecil." 

"Apa, pasir kecil? Kerikil maksudmu? Nampak Yana penasaran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa dia juga merasa aneh dengan apa yang terjadi padaku atau sebaliknya dia menertawakanku.

"Iya, jawabku jelas. Gara-gara kerikil di dalam beras yang aku masak membuat kami berpisah.

"Wajah Yana tiba-tiba tidak terlihat nyaman dengan apa yang aku katakan. Kemudian dia berkata "gara-gara kerikil saja kalian bercerai? Apa nggak kebangetan? Lalu kenapa kalian dulu menikah, jika persoalan kecil saja menjadi masalah besar?"

"Ingat, pernikahan itu sakral dan itu melibatkan banyak orang. Termasuk keluargamu, mau kamu bawa ke mana anak-anakmu?" Cecarnya.

"Aku nggak habis pikir, kenapa istrimu begitu keras wataknya padamu. Sampai-sampai minta cerai gara-gara sebutir pasir saja." Kata-katanya membuat aku malu. Benar-benar apa yang dikatakannya membuat aku tidak bisa berkata-kata lagi. Tapi aku coba menjelaskan semampuku.

"Aku juga bingung, kenapa dia begitu saja minta cerai. Apakah karena uang belanja yang sedikit, atau karena kelalaianku? Sampai sekarang aku masih belum mendapatkan jawabannya dengan pasti." Aku hela nafas dalam-dalam.

Siang itu memang terasa panas, dan suhu udara pun begitu tinggi. Sampai-sampai keringat membasahi kaosku yang berwarna gelap itu. Sesekali aku ambil tisu dan kulap wajahku yang basah kuyup oleh peluh.

"Lalu, bagaimana dengan kehidupanmu? Apakah kamu sudah menikah? Berapa anak-anakmu?" Kubalik bertanya. 

Aku merasa ada yang aneh dengan sikap Yana padaku. Kenapa dia begitu peduli dengan masalahku? Batinku masih bertanya-tanya. Sedangkan dia menunjukkan wajah yang datar saja. Tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Aku belum menikah. Aku juga belum mendapatkan apa yang aku harapkan selama ini. Seorang pria yang tegas yang bisa memimpinku. Yang bisa membimbing anak-anakku nanti. Dan ketika melihat kisahmu, aku jadi merasa enggan untuk melanjutkan harapanku untuk mendapatkan laki-laki sepertimu." Kata-kata Yana seolah-olah memojokkanku.

"Maaf, maksud Yana apa? Terus terang aku agak tersinggung." Aku heran kenapa tiba-tiba Yana menyudutkanku dan seolah-olah merendahkanku.

"Kenapa kamu tersinggung? Kini aku tahu kalau kamu bukan laki-laki yang aku kenali. Lagian kenapa aku belum menikah sampai saat ini. Itu karena kamu. Wajahmu selalu muncul dalam setiap mimpiku. Dan sampai saat ini sangat membekas. Bahkan ketika aku melihatmu, aku langsung ingat siapa kamu sebenarnya."

"Aku kecewa, ternyata kamu adalah laki-laki yang gagal. Kamu telah kalah dengan dirimu sendiri. Sebagai laki-laki seharusnya kamu bisa membimbing istrimu dan membuatnya menghormatimu, bukan sebaliknya." 

Yana seperti menaruh kecewa terhadapku. Entahlah, kenapa ia menyalahku, sedangkan masa lalu memang pahit dan saat ini ingin merajut lagi kehidupan yang lebih baik.

"Lalu, mau kamu apa? Kenapa kamu mengungkit rasa sakit yang pernah aku alami? Kenapa juga kau menyapaku dan duduk di depanku kalau akhirnya membuat aku kecewa." Tanyaku kemudian.

"Sudahlah, maafkan aku yang telah membuatmu kecewa. Maafkan aku yang terlalu mengharapkanmu sebagai lelaki idamanku. Kini aku ingin berlalu dari hadapanmu. Dan semoga saja kehidupanmu lebih baik dengan wanita yang lain." Pungkasnya seperti pesan untukku yang menyiratkan betapa dia adalah teman yang baik.

Yana meninggalkan tempat duduknya. Sedangkan botol minumannya masih terisi sepertiganya. Sedangkan di sisinya, gelas masih teronggok batu es kecil seperti kerikil . Sama seperti kisah yang telah membunuh kehidupan bahagiaku bersama istriku dan Yana yang kini telah berlalu dari hadapanku.

Biarlah semua berlalu, meskipun aku harus melupakan semuanya. Tapi aku tak harus lupa bahwa mimpiku masih panjang dan aku akan cari sampai aku temukan di sana.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun