"Aku pernah merasakan bagaimana menikahi wanita yang cantik, dengan kecerdasannya menjadikan aku begitu memujanya. Seumur hidup aku selalu mengharapkan wanita yang sederhana dan menerima aku apa adanya. Sayangnya aku kurang beruntung" tak terasa aku menceritakan semuanya.
"Kenapa dengan pernikahanmu? Kandas? Maksudnya kalian berpisah?" Tanya wanita di depanku dengan pensaran.Â
"Sebenarnya aku gak enak hati bercerita denganmu. Masa iya  aku begitu cengeng dan gagal dalam menjalin pernikahan?"
"Ya nggak apa-apalah, namanya juga takdir. Kita juga nggak pernah tahu kapan kita dipertemukan. Seperti sekarang ini, tiba-tiba di jalanan ramai begini kita dipertemukan Tuhan.Â
Yana membuatku berani untuk mengutarakan semuanya.Â
"Tahu nggak, meskipun aku kerja serabutan, semua uang belanja aku berikan pada istriku. Apapun aku kerjakan. Pekerjaan dapur sebagian aku kerjakan agar meringankan tugasnya mengurus anakku. Tapi suatu saat kami bertengkar hebat gara-gara pasir kecil."Â
"Apa, pasir kecil? Kerikil maksudmu? Nampak Yana penasaran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa dia juga merasa aneh dengan apa yang terjadi padaku atau sebaliknya dia menertawakanku.
"Iya, jawabku jelas. Gara-gara kerikil di dalam beras yang aku masak membuat kami berpisah.
"Wajah Yana tiba-tiba tidak terlihat nyaman dengan apa yang aku katakan. Kemudian dia berkata "gara-gara kerikil saja kalian bercerai? Apa nggak kebangetan? Lalu kenapa kalian dulu menikah, jika persoalan kecil saja menjadi masalah besar?"
"Ingat, pernikahan itu sakral dan itu melibatkan banyak orang. Termasuk keluargamu, mau kamu bawa ke mana anak-anakmu?" Cecarnya.
"Aku nggak habis pikir, kenapa istrimu begitu keras wataknya padamu. Sampai-sampai minta cerai gara-gara sebutir pasir saja." Kata-katanya membuat aku malu. Benar-benar apa yang dikatakannya membuat aku tidak bisa berkata-kata lagi. Tapi aku coba menjelaskan semampuku.