Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Sang Perokok

30 April 2016   05:56 Diperbarui: 30 April 2016   13:12 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

gambar : id.inter-pic.com

Di ruang tamu sendirian, Abi merebahkan tubuhnya di sebuah sofa ukiran Jepara itu. Di sana ia merasakan nikmatnya hisapan rokok bergabus dengan amat nafsunya. Sesekali ia memandanginya sambil merasakan sensasi yang ditimbulkan dari sebatang rokok itu. Sedangkan dirinya tengah memakai sarung dan singlet setelah beberapa saat melakukan shalat dzuhur.

Dialah Abi, seorang bapak dengan 1 istri yang cantik molek dan 2 orang anak yang juga riang gembira. Mereka menempati rumah (gubuk) kecil di sebuah kampung kecil. Meski pekerjaannya serabutan, ternyata tidak menyurutkan kebiasaan buruknya untuk merokok. Sehari bisa dua bungkus rokok enam belas batang ia habiskan.

Benda-benda mainan anaknya masih terserak di ruang tamu itu. Ia tidak perduli dengan semuanya. Ia nikmati sebatang rokok itu meski sekelilingnya sudah dipenuhi oleh asap yang sudah mulai pekat. 

Gambar organ yang rusak di bungkus rokok itu tidak berpengaruh pada pendirian si Abi. Gambar serem itu ia anggap seperti hiasan semata, lantaran di tempat lain masih banyak yang merokok tapi masih sehat-sehat saja.

Ada segelas kopi yang masih hangat teronggok di depannya, tersisa setengahnya. Sesekali ia menyeruputnya perlahan-lahan agar merasakan nikmatnya kopi hitam dari Lampung itu. Kopi yang menjadi primadona dirinya dan keluarganya saat ini. Meskipun ada banyak jenis kopi, tak mengurangi kesetiannya akan kopi yang dihasilkan dari perkebunan di mana ia kini tinggal.

Seorang istri memandanginya dengan raut kecewa, lantaran sudah bertahun-tahun suaminya menghabiskan berbungkus-bungkus rokok. Semakin tua bukannya berhenti merokok, justru kebiasaan itu semakin menjadi-jadi.

Ia menghela nafas dalam-dalam, muncul kesedihan dalam batinnya, karena dua hari yang lalu pak Pardi telah berpulang menghadap Sang Kholiq. Tetangga dekat yang ramah itu ternyata begitu cepat pergi meninggalkan dunia fana ini, setelah sepekan dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Metro. Semua tidak menyangka kenapa pak Pardi begitu cepat berpulang, padahal usianya masih relatif muda untuk ukuran bapak-bapak.

Dengan usia 45 tahun masih terlalu muda untuk segera berpulang. Tapi hidup dan mati adalah kehendakNya tidak ada yang meminta untuk dicepatkan atau dimundurkan. Meskipun semua orang ingin memiliki usia yang panjang, tapi takdir tidak ada yang bisa mengubah ketentuan itu.

Begitupula Abi, meskipun nafasnya sudah terengah-engah karena jantungnya sudah mulai terganggu karena penyakit yang dideritanya, serta paru-parunya yang kini juga mulai rusak. Ia tahu karena dokter menyebutkan bahwa paru-parunya menghitam seperti hitamnya bokong wajan lantaran saking lamanya tak dicuci. Hasil rongent itu terlihat sekali kalau mungkin tidak lama lagi nyawa Abi tidak tertolong, paru-parunya gelap sekali, hampir tiga puluh persennya rusak oleh asap rokok yang sampai saat ini menjadi primadona. Primadona para perokok lain dan juga dirinya.

Kecewa dan sedih manakala di malam hari Abi terbatuk-batuk tiada henti-hentinya. Istri dan anak-anaknya jadi tidak bisa nyenyak tidur, belum lagi ternyata asap rokok pekat itu juga sudah merusak paru-paru istri dan kedua anak-anaknya. Jadi selayaknya kodok yang bersautan di musim hujan. Semua terbatuk-batuk tanpa diatur sebelumnya ala bunyi kendang di pertunjukan wayang kulit di kampungnya.

"Bapak, mbok ya berhenti merokoknya." Istrinya mengingatkannya. "Lihat tuh, pak Pardi dua hari lalu meninggal di rumah sakit, lantaran terkena penyakit jantung dan paru-paru. Padahal ia sudah berobat di rumah sakit berhari-hari, tapi penyakitnya itu tidak sembuh juga. Malah akhirnya harus meregang nyawa."

Istrinya semakin mengomel, lantaran si Abi justru semakin kencang menghisap batang rokok yang tinggal sepertiganya itu. Rokok bergabus yang ia dapatkan dari rewang di salah satu tetangganya.

Setiap hari istrinya selalu mengingatkan suaminya itu untuk tidak merokok. Ia menyadari bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Penyakit jantung, struk, darah tinggi, kangker paru-paru, dan penyakit-penyakit lain saat ini sudah banyak menjangkiti para perokok aktif. Tak hanya perokok aktif, perokok pasifnya saja harus menjadi korban. Padahal mereka sudah tahu bahwa merokok itu amat berbahaya. Selain merugikan karena merusak tubuh, asap rokok itu juga merusak isi dompet.

"Tahu nggak, Pak, uang belanja kita selalu kurang? Jadi aku ngutang lagi di warung pak Somad." 

Tapi Abi merokoknya gak berhenti kayak cerobong asap saja. Istrinya mengeluh. Nampak sekali wajah istrinya ingin marah sejadi-jadinya, tapi apalah daya, dia hanya bergumam dalam hati: "Pak, andaikan saja Bapak bisa berhenti merokok, betapa bersyukurnya aku pada Allah, karena telah menyembuhkan kebiasaan Bapak." 

"Loh, jadi Ibu melarang Bapak merokok gara-gara uang belanja yang kurang, atau karena sakitnya meninggalnya Pak Pardi? Abi jadi heran dengan pernyataan istrinya. "Kalau melarang aku merokok gara-gara pak Pardi, ya aku terima, tapi kalau uang belanja, bukannya Kamu yang boros? Kemarin saja sudah tak kasih lima juta gak sampai sebulan sudah raib."

"Beli apa, sih?" Abi ganti mengejek. Ia mengejek sang istri lantaran uang belanja yang kemarin dikasih dari bagi hasil tanah warisan orang tuanya sudah ludes terpakai. Gak sepeserpun tersisa.

Ia terlihat heran dengan istrinya, kenapa hobinya itu dilarang. Padahal ia membeli rokok dari kerja sendiri, gak nyopet, nyolong, apalagi korupsi. Kenapa yang dibeli dari uang halal itu dilarang?

"Kalau belinya dari nyolong wajar di larang, lah ini dari uang halal kog ya dilarang?" Dalam batinnya Abi masih berpihak pada pikirannya sendiri. 

Ia beranggapan kalau merokok itu boleh-boleh saja. Asal dibeli dari uang halal ya kenapa dilarang. Lagian dalam Islam hukumnya hanya makruh. Meskipun para ustad bilang merokok itu haram. Tapi bagi Abi yang penting ia bisa menikmati asap rokok itu sepuasnya.

"Oalah, Bapak. Ibu itu cuman mengingatkan, kalau merokok itu berbahaya, kog malah ngeyel!."

"Ya sudah, terserah Bapak sajalah, mau merokok atau enggak terserah!" Nada suara istrinya lumayan meninggi.

Dengan wajah masam, beringsut istrinya meninggalkan dirinya yang kini masih juga merokok. Kali ini rokok yang dihisapnya sudah yang ketiganya. Meski sesekali terbatuk-batu karena nafasnya yang sesak, tapi merokok adalah kebiasaannya sehari-hari. 

Tidak hanya istri yang mengkritik habis-habisan, karena anak yang pertama saja sering jengkel sama Abinya. Pernah sekali waktu anaknya itu marah, karena asap yang keluar dari mulut Abinya justru terhisap, dan iapun terbatuk-batuk sampai semalam.

'Pak. Emang merokok itu rasanya apa sih, Pak? Anak sulungnya gantian menanyai bapaknya. Sedari tadi ia memperhatikan perdebatan orang tuanya itu. Dia tidak terlibat takut kena marah. Apalagi dia sedang asik membaca buku. Buku itu mengisahkan seorang perokok yang harus tewas karena serangan jantung. Meninggal setelah jantungnya berhenti mendadak.

"Kamu lagi, dah nggak usah nanya-nanya.! Anak kecil tahunya apa." Bapaknya malah melotot, sekejap itu pula anaknya terdiam tak berani lagi bertanya-tanya.

"Uhuk uhuk uhuk." Abi terbatuk-batuk. Batuknya semakin lama semakin keras, hingga beberapa saat batuknya tidak juga berhenti.

"Tuh... sudah dibilanginmbok ya berhenti merokok, eeh malah ngeyel." Lah itu batuk-batuk lagi.

Abi perlahan-lahan membuang puntung rokoknya ke asbak. Meski ia masih belum ikhlas membuangnya lantaran masih ada beberap hisap lagi rokok itu bisa ia nikmati. Tapi ada keanehan yang ia rasakan, tubuhnya tiba-tiba melemah, dadanya sakit sekali. jantungnya tiba-tiba serasa mau copot. Ia memegang dadanya yang semakin lama rasa sakitnya tidak tertahankan. Sesekali ia mengaduh karena kesakitan yang saat itu dideritanya.

"Nduk, panggil Emakmu! Perintah Abi kepada anaknya sedang ia masih memegang dadanya.

Anak yang ada di sebelahnya itu terlihat heran dengan apa yang terjadi dengan bapaknya. Ia menghampirinya.

"Ada apa, Pak? Kog megang-megang dada begitu? Dadanya sakit ya, Pak?"

Ia panik, kenapa orang tuanya itu justru tidak menjawab dan malah terebah kembali di sofa itu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya melemah dan tiba-tiba terdiam.

"Emak, ada apa dengan Bapak, Mak?" Anaknya memanggil-manggil sang ibu sambil memegangi bapaknya.

"Pak, Bapak.................!" Ibunya berteriak-teriak memanggil sang bapak, tangannya menggoyang-goyang tubuhnya tapi tak juga bergerak.

"Bapak kenapa, Nduk?" Tanya sang ibu.

"Nggak tahu, Mak. Tadi bapak bilang kalau dadanya sakit."

Sang ibu mencoba memegang dada suaminya, ia memegang denyut nadi di tangannya, ternyata tidak ada lagi. Ia panik sekali. Keduanya berteriak-teriak memanggill-manggil bapaknya berharap bangun kembali. Tapi usahanya sia-sia lantaran kini orang tuanya itu sudah tidak bernapas lagi. Ia tewas terkena serangan jantung.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiuun." istri dan anaknya mengucapkan kalimat itu, karena mengetahui bapaknya sudah tiada.

"Paaak, Bapaaak, Bangun Pak! Jangan tinggalin kami!" 

Air mata tertumpah, suara meraung-raung lantaran kehilangan sang bapak membuat mereka tak percaya. Ia berharap orang tuanya itu bisa bangun lagi. Tapi sia-sia, semua sudah terlambat.

Baru saja percakapan mereka tentang pak Pardi, ternyata bapaknya justru mengikuti kepulangan tetangganya itu. Entahlah, mereka belum menerima kenyataan ini, mengapa orang tuanya begitu cepat meninggalkan mereka.

End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun