Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gabah Mahal, Berkah Bagi Petani atau Pembeli?

22 Agustus 2015   16:26 Diperbarui: 6 September 2015   04:23 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: print.kompas.com

Tulisan ini berawal dari percakapan saya dengan salah satu petani di Sumbersari Bantul, terkait musim panen padi yang sebentar lagi menghampiri. Terlihat wajah petani ini sangat gembira lantaran usahanya selama tiga bulan masa panen hampir membuahkan hasil. Apalagi tanah garapannya itu saat ini tidak rusak oleh si tikus rakus yang biasanya menghabiskan tanamannya tanpa bersisa. Mengenang kala itu sewaktu padinya habis dilalap oleh hewan pengerat ini. Tak pelak, uang modal jutaan rupiah harus lenyap tanpa sisa. Malang tak dapat ditolak mujur belum diraih.

Itu kisah beliau saat merasakan pahitnya masa penantian panjang yang harus gagal karena hama tikus yang menyerang begitu massif. Ia menjadi korban bersama ratusan petani lain yang juga merasakan nasib yang sama.

Tapi kini, ketika mendekati masa panen bulan Agustus ini, beliau merasakan kebahagiaan lantaran padinya sudah mulai menguning dan bulir-bulir padi sudah memancing hasrat untuk memetikknya tuk persediaan pangan beberapa bulan kemudian.

Saya ikut merasakan aura bahagia, meskipun setelah saya tanya lagi setelah panen benar-benar dilakukan, padi sudah ditimbang dan uang sudah tangan, ternyata hasilnya jauh dari panen sebelumnya ketika musim penghujan.

Sewaktu ku tanya, "berapa sih pak hasil panen padi seluas seperempat hektar?" Biasanya bisa nyampek 1,2 ton gabah bersih, tapi di musim ini dapatnya cuman tujuh kwintal. Jadi saya merugi di modal. Meskipun begitu masih beruntung masih mendapatkan hasil. Jawab pak tani dengan wajah nampak menyimpan kesedihan.

Sekilas percakapan saya dengan petani ini menyiratkan rasa bahagia karena hasil pertanian yang ditunggu-tunggu ternyata jauh dari yang diharapkan. Meskipun setahu saya memang musim gaduh hasil pertaniannya jauh dari yang diharapkan. Maklum sedari kecil saya sudah terbiasa bermain-main dengan lumpur sawah dan tahu persis betapa hasil pertanian di musim gaduh tidak sesuai untuk ukuran modal yang dikeluarkan.

Coba saja dihitung, jika di musim rendeng petani yang memiliki garapan seperempat hektar minimal bisa mengantungi uang dari penjualan dua kwintal karena itu dianggap untungnya. Sedangkan yang lain sudah dipotong upah pengolahan hingga panen. Termasuk ongkos membeli pupuk yang juga tak murah. Maka untuk pendapatan untung dua kwintal sudah sangat tipis lantaran belum dipotong biaya obat-obatan yang juga tak kalah mahalnya. Masih beruntung jika di kelompok tani obat-obatan itu tersedia, lantaran beberapa petani yang saya tanya ada juga yang mengeluhkan pupuk dan obat-obatan yang langka. Imbasnya, ketika masa tanam sudah 30 hari yang semestinya sudah selesai pemupukan, ternyata tanaman terlambat memperoleh nutrisi lantaran kelangkaan pupuk.

Demi mencegah kerugian yang lebih fatal, mereka lebih memilih membeli pupuk di luar kelompok tani daripada rugi besar.

Di satu sisi, keberadaan kelompok tani yang semestinya bisa mengendalikan harga dan kebutuhan pupuk serta obat-obatan petani, ternyata tidak juga mencukupi kebutuhan petani. Karena faktor lambatnya pupuk ini, mereka pun harus memberikan pupuk dengan harga yang lebih mahal dan sudah pasti masa pemupukan agak terlambat.

Dampaknya, pertumbuhan padi yang semestinya normal harus terhambat lantaran pupuk yang tidak tersedia.

Itu dari faktor pupuk dan obat-obatan yang kadang terlambat. Belum lagi harga jual yang karena dijual borongan (tebasan) para petani menanggung kerugian.

Jika petani mujur, maka padinya laku mahal, tapi jika buntung maka ia akan kecewa lantaran harganya terlalu murah jika dihitung perolehan dari pemborongnya.

Musim Gaduh Harga Gabah Naik, Petani Masih Saja Terjepit

Sekali lagi tatkala saya tanya terkait kenaikan harga gabah di musim panen ini yang mencapai 4.600 ternyata petani juga masih merasa rugi, lantaran kebanyakan petani langsung menjual hasil panennya dan sedikit yang disimpan. Tentu saja disebabkan karena rata-rata petani saat ini terjebak ulah spekulan yang memberikan pinjaman modal tinggi dengan konsekuensi merugi di masa panen. Mereka mendapatkan suntikan modal dari bos gabah, demi bisa menanam padi, meskipun akhirnya petani ini juga merugi.

Ada lagi lantaran karena mereka sudah kadung terjerat kredit kendaraan, jadi ketika gabah sudah di tangan, maka tak lama pun terjual demi melunai kendaraannya. Masih beruntung jika panennya tidak gagal, lah kalau gagal sudah dapat dipastikan kendaraannya turut disita dealer.

Di antara petani yang ikut kelompok tani, ternyata tak semua bisa mengamankan padinya di lumbung padi, karena padi yang seharusnya bisa menjadi simpanan, harus raib dalam sekejab karena kebutuhan tersebut.

Mereka menyebutnya untung sesaat lantaran gabah berharga tinggi, tapi merana kemudian lantaran mereka pun akhirnya membeli beras demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan harga beras di atas 10.000 semestinya berkah buat petani, tapi faktanya justru petani malah menjerit lantaran beras yang seharusnya dihasilkan dari tanah sendiri, ternyata harus dibeli dari pedagang.

Sebenarnya jika hasil panen mereka normal, maka petani sedikit mendapatkan untung dengan kenaikan harga gabah itu, lantaran mereka masih bisa menyimpannya separuh dan separuhnya lagi dijual untuk modal.

Berbeda halnya bagi para tengkulak, pembeli gabah borongan (tebasan) lantaran mereka bisa mengendalikan harga beli ke petani lantaran petani dalam keadaan butuh dana. Padi yang semula bisa berharga empat juta untuk seperempat hektar ternyata hanya laku tiga juta lantaran kebutuhan yang mendesak.

Petani buntung, pembeli gabah dan penjual beras yang untung besar. Boleh jadi fenomena petani yang selalu merugi ini juga dialami oleh sebagian besar petani di negeri ini.

Masih beruntung karena padi masih bisa dipanen, lebih kasihan lagi jika ternyata padinya lenyap disantap si kepala hitam. Tikus-tikus serakah.

 

Musim Kemarau Tiba, Saatnya Petani Sulit Mendapatkan Pasokan Air

Bantuan pemerintah berupa sumur bor pun ternyata belum bisa mengentaskan persoalan kekeringan di sawah petani. Seperti di Lampung, ketersediaan sumur bor sejatinya sudah merata karena memang hampir di setiap desa bahkan RW sudah disiapkan sumur bor untuk mengatasi kekeringan.

Tapi ternyata setelah diusut, keberadaan sumur bor tersebut juga tidak bisa mewakili kebutuhan petani. Mereka tetap saja berebut air irigasi lantaran debit air sumur bor sangat kecil. Hal ini juga dikeluhkan oleh warga RW 04 ketika bersilaturrahmi di rumah beliau.

Saya awalnya optimis lantaran dengan keberadaan sumur bor itu bisa menanggulangi persoalan air, tapi setelah ditanya jawabnya keberadaan sumur bor tidak membantu lantaran untuk mencukupi kebutuhan air seperempat hektar saja menunggu semalam suntuk tidak juga penuh, apalagi harus puluhan hektar, tentu sama saja disebut pekerjaan yang sia-sia.

Belum lagi sumur bor tersebut membutuhkan minyak untuk menghidupkan genset. Dalam semalam jika dihitung tentu membutuhkan puluhan liter yang tak mungkin dapat dipenuhi lantaran petani akan semakin merugi.

Maka, sampai sejauh ini, keberadaan sumur bor tersebut tetap saja "ngangkrak" tak digunakan lantaran tak sesuai modal dengan hasil yang akan didapatkan.

Karena sulitnya mendapatkan air, otomatis perolehan padi petani juga turut berkurang lantaran padi merupakan jenis tanaman yang tidak boleh mengalami keterlambatan pasokan air. Jika itu terjadi maka sudah dapat dipastikan padi akan mengalami gagal panen (puso) dan petani akan gigit jari.Semoga saja, pemerintah semakin tanggap terkait persoalan petani, karena dari merekalah kebutuhan dasar masyarakat Indonesia dari sektor bahan makanan pokok dapat dipenuhi. Tak harus bergantung pada sektor import jika para petani bisa menjadi andalan pemenuhan kebutuhan pangan khususnya beras di dalam negeri. Salam

 

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun